Aku tertidur setelah menggeledah seisi lemari untuk mencari dompet itu. Namun, sayang hasilnya tetap mengecewakan. Aku mencoba mengingat-ingat apakah pernah sembarangan menaruhnya, atau membawa dompet tersebut ke suatu tempat? Rasa-rasanya tidak. Aku menyimpan rapi dompet kulit itu karena isinya adalah barang-barang yang kubawa dari markas. Emas-emas logam, tadinya juga ada shuriken berbentuk kartu nama yang sudah kubuang. Niatku menyumbangkan emas tersebut pada pondok terpaksa harus pupus.
Pagi ini, aku akan berpamitan pada Bu Nyai dan keluarga dengan tangan kosong. Maksudnya, tanpa meninggalkan apa-apa untuk mereka. Bu Nyai yang sedang menyiram tanaman tomatnya di teras, terperangah melihatku yang sudah rapi dan menenteng tas besar.
"Kamu mau ke mana, Nduk?" Itulah kalimat yang keluar dari bibirnya setelah menjawab salamku. Dia lalu melambaikan tangannya, memberi isyarat agar aku duduk di kursi yang ada di teras.
"Mau ke mana?" ulangnya.
"Saya mau pamit dari sini, Bu Nyai. Sudah saatnya saya pamit. Maaf atas segala perbuatan saya yang tidak berkenan di hati Bu Nyai selama ini," ucapku dengan wajah tertunduk.
Bisa kudengar helaan napas berat Bu Nyai. Dari ekor mataku, aku melihat beliau mengurut keningnya yang berkerut.
"Hasana ... Ibu yang minta maaf," ujar Bu Nyai lirih. "Kamu mungkin bertanya-tanya kenapa akhir-akhir ini Ibu seperti menghindari kamu, ya, tho?" sambungnya.
"Ibu cuma sedang memikirkan semuanya. Jujur saja, Nduk, cerita tentang kehidupanmu membuat Ibu syok dan tidak percaya. Bagaimana mungkin gadis ayu seperti kamu melakukan ..." Perkataannya terhenti. "Ah, sudah, Nduk, tidak usah kita bahas lagi."
Sorot mata Bu Nyai sarat kepedihan saat beliau menambahkan, "Kadang, kita, manusia, sering lupa kalau kita sendiri juga banyak dosa. Ibu ... setelah mendengar ceritamu, setelah reda rasa kaget Ibu, Ibu bahkan sempat mengecammu, Nduk, menghakimimu macam-macam. Maaf ya, Nduk."
Aku menelan ludah susah payah. Tak lama, Wina muncul dari rumah Bu Nyai sambil membawa secangkir teh yang masih mengepulkan uap tipis di atas nampan. Begitu melihatku, dia buru-buru masuk ke dalam lagi.