Suasana pesantren sangat meriah mendekati acara Panggung Gembira. Panggung luas didirikan di halaman pesantren dua hari sebelum puncak acara. Para santri bergotong royong, bahu membahu membantu tukang dekor untuk membuat panggung tersebut. Hasil keringat dan keceriaan mereka terbayar tuntas saat panggung telah berdiri kokoh. Lampu sorot dan berbagai aksesori lainnya membuat panggung tampak megah.
Panggung Gembira merupakan acara yang diadakan tiap satu tahun sekali di pesantren. Ini adalah kegiatan meriah yang dilaksanakan sebagai pelepasan santri akhir yang sudah merampungkan pengabdian mereka untuk pondok. Dalam acara Panggung Gembira, para santri akan memberikan pertunjukan seni Islami seperti nasyid, drama tentang tokoh-tokoh besar Islam, dan sebagainya.
Tak hanya terbuka untuk santri saja, Panggung Gembira merupakan acara umum yang bisa dihadiri siapa saja. Pesantren terbuka untuk siapa pun di hari tersebut. Biasanya, para wali santri akan hadir, juga donatur-donatur pondok. Tak ketinggalan warga sekitar yang ikut menonton atau menjadi pedagang dadakan untuk menjemput rezeki dengan memanfaatkan keramaian. Para alumni yang sudah bertahun-tahun lulus juga turut memeriahkan suasana.
Intinya, pesantren begitu semarak dan hidup di setiap acara Panggung Gembira.
*
Dialah Imam Syafi'i, ulama besar Islam yang namanya tercetak dengan tinta emas di sepanjang peradaban. Sang Imam yang sampai kapan pun akan menjadi simbol bagi muslimin dan muslimah yang selalu dahaga akan ilmu.
Inilah kisah perjalanan Imam Syafi'i ...
Suara narator yang menggema disambut tepukan riuh oleh semua penonton, tak terkecuali aku. Ada getaran yang berdentam-dentam dalam dada saat tirai panggung terbuka diiringi alunan musik yang menyayat hati. Latar panggung yang semula lengang, berganti dengan set rumah sederhana. Di dalamnya, seorang pemuda sedang duduk bersimpuh di hadapan ibunda. Dialah santri yang berperan sebagai Imam Syafi'i. Ibunya juga merupakan santri yang didandani menyerupai perempuan tua demi totalitas peran.
"Pergilah, Nak, pergilah engkau untuk menuntut ilmu di jalan Allah tanpa sedikit pun keraguan. Kelak kita akan berjumpa lagi di akhirat," lirih sang ibu tatkala sang putera mencium punggung tangannya dan berpamitan.
"Wahai, Ibunda, alangkah berat hatiku meninggalkanmu seorang diri di sini, jika saja guruku di Makkah ini tidak menyuruhku untuk menuntut ilmu sampai ke Madinah. Semoga engkau rida terhadap puteramu ini, Ibunda ..."
"Aku rida, Nak, demi Allah, janganlah engkau pulang kemari sebelum engkau memperoleh semua ilmu dan mengajarkannya pada sesama. Jangan engkau pulang sebelum aku memanggilmu pulang."
Drama terus bergulir dengan set yang berganti-ganti demikian apiknya. Kali ini, penonton disuguhi bentangan padang pasir Madinah, tempat Imam Syafi'i menimba ilmu pada Imam Malik. Berkat kecerdasannya yang luar biasa, tak butuh waktu lama baginya untuk menjadi murid kesayangan Imam Malik.