HASANA (Jalan Hijrah sang Gadis Mafia)

Ayu Fitri Septina
Chapter #44

44 - Reuni

Untuk beberapa detik, otakku terasa kaku. Perkataan Jarwo tidak dapat kucerna dengan baik. Entah pilihan katanya yang membuatku bingung---diculik---maksudku, diculik? Diculik seperti anak kecil? Sampai pekikan cemas Bu Nyai yang akhirnya menyadarkanku dari slow motion barusan.

"Ngomong apa kamu, Wo? Yang jelas!" ucap Bu Nyai.

Akhirnya, setelah Jarwo duduk dan dibuatkan secangkir teh hangat supaya tenang, cerita pun mengalir lebih runut dari bibirnya. Adam juga sudah bergabung bersama kami, mendengarkan penuturan Jarwo dengan saksama.

"Kami sudah selesai belanja, Bu Nyai. Sudah masukkan semua belanjaan ke pick up. Baru jalan ke parkiran, ke mobil, di sana sudah ada tiga orang. Laki semua, Mbak. Badannya gede-gede." Jarwo menoleh ke arahku sambil bergidik. Dia tidak tahu perkataannya barusan membuat perutku seolah dihantam gelombang maha dahsyat.

"Kejadiannya cepat sekali, Mas Adam. Mereka meringkus Mas Hasan. Saya langsung bantu nyerang mereka, tapi ini yang saya dapat." Jarwo menunjuk sudut mulutnya. "Mas Hasan sudah melawan sekuat tenaga, tapi tetap kalah jumlah. Saya minta tolong, tapi entahlah Mbak, nggak ada orang yang nolong. Padahal kejadiannya di tempat ramai. Mas Hasan sepertinya tadi pingsan." Sopir pesantren itu menunduk. Wajahnya terlihat ngeri.

"Pak Jarwo sempat lihat mobilnya? Plat nomornya?" Adam menyela.

Jarwo menanggapinya dengan gelengan pelan. "Saya panik setengah mati, Mas. Pikiran saya langsung mau pulang kemari dan lapor sama sampean, terus kita lapor polisi ... eh, apa bisa begitu, Mas?"

Entah apalagi yang dibicarakan mereka, aku tidak lagi mendengarnya. Jiwaku sudah tidak berada di teras rumah Pak Kyai sekarang, melainkan seperti sedang melakukan perjalanan jauh menyusuri ruang dan waktu. Sudah berapa lama aku ada di sini? Satu setengah, hampir dua tahun? Sesabar itukah Master Don menungguku, membuatku terlena, membuatku nyaris merasa aman dari ancamannya, untuk kemudian telak meninjuku di saat-saat terakhir?

Aku bahkan tidak menyangka dia bisa serapi itu. Apa susahnya langsung membunuhku sejak dulu? Apakah dari awal dia sudah tahu aku bersembunyi di pesantren ini? Berbagai pertanyaan menyelusup dalam rongga kepalaku, menjejalinya tanpa ampun.

Tidak perlu bukti apa-apa untuk mengetahui siapa dalang di balik penculikan ini. Ini pastilah ulah Master Don. Bang Hasan ... hatiku mencelus. Andai saja sejak awal aku tidak pernah melibatkan dia. Kenapa aku bisa begitu yakin kalau Master Don akan melepaskanku begitu saja? Aku mempertaruhkan banyak sekali nyawa. Ya, Allah ...

"Hasana? Bagaimana?" Suara Adam menyentakku.

Aku buru-buru menyusut air mata yang entah sudah sejak kapan menyembul sebelum menjawabnya. "Bagaimana apanya?"

"Kita lapor polisi sekarang?" Wajah Adam tampak sangat gusar. Di sampingnya, Bu Nyai tak henti beristighfar.

Lihat selengkapnya