"Kenapa melongo begitu? Kaget, ya?" Suara Nur menggema di ruang bawah tanah ini. Dia lalu tertawa mendengking-dengking.
"Sejak kamu datang ke pesantren, aku sudah tidak suka padamu. Apalagi melihat Bu Nyai begitu perhatian sama kamu, cih! Penjilat!" Dia meludah.
Hari ini, entah sudah berapa kali otakku terasa kebas dan tidak bisa berpikir. Aku tidak bisa mencerna apa yang sedang terjadi. Nur? Kenapa bisa dia ...
Dan kesadaran seolah merasukiku saat otakku bisa kembali bekerja. Dompetku yang hilang. Ya, tentu saja. Namun, aku masih belum menemukan jawaban kenapa dia bisa sampai di sini.
"Kamu tahu kan, aku cinta sama Mas Adam? Kamu tahu itu kan, Hasana? Kenapa kamu tanpa tahu malu merebut dia begitu saja? Seberapa cantik sih, kamu? Dasar murahan!"
Sisi lembut yang dulu kukenal telah hilang sama sekali dari perempuan ini. Dia sekarang sudah ada di sampingku, menekankan moncong revolver di pipiku hingga terasa nyeri. Aku meringis kesakitan saat si botak ikut campur dengan memiting kedua tanganku lagi.
"Sialnya, kamu juga yang menangkapku, membuatku kehilangan harga diri di depan semua orang! Bedebah kamu, Hasana! Bedebah!" Teriakan Nur memekakkan telingaku. Tekanan revolvernya menguat.
Aku memejamkan mata. Mengucap nama-Nya.
"Tapi, tapi, tapi, seperti kecurigaanku sejak awal, rupanya kamu memang penipu. Aku ambil dompetmu yang isinya emas, hahaha! Aku pikir, dari mana kamu mendapatkannya, hah! Jual diri?Ooh, rupanya bukan. Aku juga menemukan ini!" Nur merogoh saku jaketnya, melemparkan kartu nama yang sebenarnya adalah shuriken ke lantai.
Ketemu sudah benang merahnya.
Ya Allah ... kenapa masih ada kartu nama yang tersisa di dompetku? Kenapa aku bisa seceroboh itu? Jadi selama ini aku bagaikan bersembunyi di depan cermin? Di kartu nama itu terdapat chip yang menyerupai GPS yang bisa melacak keberadaanku meski di lubang sumur sekalipun!
"Aku baru tahu apa fungsi kartu namamu itu setelah aku pergi dari pesantren. Anak buah Master Don meringkusku karena mereka mengira kamulah yang kabur dari penjara suci terkutuk itu! Setelah aku menjelaskan pada mereka kalau aku mencuri dompetmu, dibawalah aku ke sini, menjadi bagian dari kerajaan raksasa Master Don, hahaha!" Nur terbahak lagi, sementara kakiku menyenggol-nyenggol kaki Bang Hasan pelan. Meski presentasenya sangat kecil, aku harap dia masih punya kekuatan untuk melakukan apa pun yang dapat mengalihkan perhatian Nur agar aku bisa balik menyerangnya.
Bang Hasan menggeliat sebagai jawaban atas reaksiku barusan. Sekarang, aku mencurahkan konsentrasi untuk menyerang Nur. Aku yakin Nur yang sekarang bukan lagi Nur yang dulu. Dia pasti sedikit banyak sudah bisa beradu fisik. Namun, emosi yang menguasainya sekarang adalah keuntungan bagiku. Seseorang yang sedang dikendalikan amarah tidak akan bisa seimbang dalam peraduan fisik. Serangannya akan membabi buta tak terkendali, seperti Pengkor dulu.
"Dan kamu tahu apa tugasku di sini, Hasana? Cuma satu. Menghabisimu! Hahaha!"
"Kamu salah jalan, Nur!" Adrenalinku makin terpompa saat Bang Hasan membuka mulut. Meski parau, ada kekuatan magis dalam suara itu. Nur langsung menghentikan tawanya. Tekanan revolvernya di pipiku mengendur.
Perempuan itu menggeram, lalu tangannya yang bebas menarik rambut Bang Hasan kuat-kuat. Lenguhan Bang Hasan membuat perutku tergelitik hebat oleh emosi. "Terus kamu kira jalan yang benar itu jalanmu, San? Jalan orang-orang di pesantren yang sok suci itu? Kalau iya, mungkin perlu kamu ingat, San, adikmu sialan ini yang menyeretku dari sana!" Teriakan Nur kembali membahana.