Aku tidak pernah membaca teori tentang seberapa cepat peluru bisa menikam sasaran setelah lepas dari pistolnya. Yang jelas, mungkin hanya sedetik setelah Master Don menarik pelatuk itu, aku merasakan nyeri tiada tara menghujam dada sebelah kiriku. Anehnya, di antara gigil yang terasa amat lambat merambat mulai dari kakiku tersebut, aku juga sempat mengacungkan revolver yang kupegang. Tanpa sempat membidik dengan cermat, aku pun melakukan hal yang sama seperti Master Don.
Kutarik pelatukku dan mendengar lenguhan berat. Bersamaan dengan itu, tubuhku ambruk. Kepalaku membentur lantai semen yang keras, hingga membuat mataku berkunang-kunang. Segalanya seperti berputar.
"Na, Na ..." Suara Bang Hasan terdengar jauh. Semakin jauh.
Lalu, langkah-langkah kaki mendekat. Mataku yang sayup-sayup mulai tertutup, bisa menangkap raut wajah Adam yang penuh kecemasan. Kemudian, telingaku yang entah kenapa berdenging-denging, sedikit banyak menangkap percakapan-percakapan Adam pada Bang Hasan.
Pesantren sudah aman. Bom sudah dijinakkan. Benar, ada penyusup, San. Sudah ditangkap.
Aku ingin mendesah lega, tapi yang terasa justru sesak. Sesak sekali. Tolong! Paru-paruku sesak seperti dihimpit beban berton-ton. Aku tidak sanggup bernapas.
"Astaghfirullah ... as-taghfi-ru-llah ..." Bibirku bergetar.
Bang Hasan mengangkat kepalaku di pangkuannya yang hangat. Aku bisa merasakan itu. Rasanya seperti pangkuan Ibu. Namun, kehangatan tersebut hanya sekejap saja. Selanjutnya hanya ada dingin. Sungguh dingin. Jantungku seperti membeku. Nyerinya sudah tidak terasa, karena kini seluruh tubuhku terasa kebas. Gigiku bergemeletuk. Ini dingin sekali.
"As-tagh-fi ..."
Aku tidak tahu apakah semua yang ada di kepalaku ini nyata. Aku bisa merasakan air mata Bang Hasan berjatuhan membasahi wajahku. Raungannya seperti bocah TK yang tidak diajak ibunya pergi ke pasar. Bang Hasan lucu sekali, aku tersenyum. Kenapa dia menangis? Bukankah kami sudah selamat? Ini sudah berakhir, bukan?
Aku kembali merasakan dingin yang luar biasa. Kemudian sakit yang luar biasa. Luar biasa saja mungkin tidak cukup menggambarkannya. Rasa sakit itu menjalar perlahan dari kaki, lutut, perut, hingga dadaku. Rasa sakit apa yang maha dahsyat ini, ya Allah?
"Astagh-fi-ru ..."
Napasku tersengal. Rasa sakit apa ini, ya Allah? Seperti ada ribuan jarum yang akan ditarik paksa dari kerongkonganku. Gigilku semakin menjadi. Air mataku berleleran di pipi.
Ya, Allah ...
Ya, Allah ...