"Rabi'ah Al-Adawiyyah adalah seorang sufi wanita yang sangat terkenal akan kezuhudannya." Itu adalah suara dosennya yang sedang memberi kuliah khazanah sastra Islam. Materi mereka minggu ini masih pada biografi-biografi sastrawan yang tentu saja bergerak dalam genre religi, memasukan unsur dakwah agama Islam di setiap karyanya.
"Beliau tidak tertarik sama sekali dengan kenikmatan duniawi dan hanya selalu beribadah kepada Allah. Bahkan beliau dijuluki sebagai 'The Mother of the Grand Master' atau Ibu Para Sufi Besar. Kalian bisa mencari syair-syairnya di internet dan sekarang bentuk kelompok untuk berdiskusi mengenai pemaknaan syair-syair Rabi'ah Al-Adawiyyah, kemudian perwakilan kelompok maju ke depan untuk menjelaskan hasilnya. Silahkan."
Untuk sesaat Anin termenung. Matanya asik menelisik baris-baris dari syair Rabi'ah Al-Adawiyyah yang didapatnya. Matanya lebih asik membaca syair itu daripada sibuk mencari teman yang mau dijadikannya kelompok. Bahkan kisah yang sedang dibacanya belum bisa disebut setengahnya atau seperempatnya, masih berupa syair yang ditulis Rabi'ah. Tapi goresan maknanya berhasil membuatnya terpaku padanya.
Dia merasa telah menemukan sebuah kisah Tuan Putri yang berbeda yang pernah didengarnya dari mulut ibu. Kisah itu juga tidak seperti kisah abu dan sendu yang ditemukannya pada alunan isak berbahasa hindi. Sama sekali tidak ada jejak abu dan sendu yang melekat di setiap barisnya.
"Oh iya, untuk minggu depan silahkan cari kisah Rabi'ah Al-Adawiyyah yang mendapatkan sebuah lamaran dari Hasan Al-Bashri. Kita akan mendiskusikannya lagi di pertemuan berikutnya." Dosen itu menambah daftar tugasnya dan telinganya menyimak tanpa kepala yang menoleh.
Dirinya mendapatkan petunjuk untuk kisah seorang Rabi'ah Al-Adawiyyah sepenuhnya. Dia harus menemukannya ketika pulang kuliah nanti.
Untuk pertama kalinya seorang Anindhita Prameswari mendengar namanya dan berhasil membuatnya seperti mendengar nama seorang Tuan Putri layaknya pada kisah-kisah yang pernah didengarnya.
~•~•~
"Hasan Al-Bashri ditanyai empat pertanyaan oleh Rabi'ah Al-Adawiyyah. Jika dia bisa menjawab keempat pertanyaan tersebut maka Rabi'ah bersedia untuk dinikahi. Setiap pertanyaan yang diajukan Rabi’ah, Hasan Al-Bashri hanya menjawabnya dengan satu jawaban yang sama, yaitu 'Hanya Allah yang maha mengetahui apa yang akan terjadi nanti'. Rabi'ah mengatakan bahwa seseorang yang tidak mengetahui akan keempat hal itu, bagaimana bisa melangsungkan sebuah pernikahan. Dia lantas mengajukan pertanyaan lagi 'berapa bagian Allah membagi nafsu pada manusia?'" Dosennya kini sedang menjelaskan, seperti yang dikatakan minggu sebelumnya.
Anin bertopang dagu. Suhu dingin dari ac kelas yang kerap kali menjadi sebuah keluhannya sudah ia kesampingkan. Dirinya berusaha memfokuskan inderanya untuk merasakan kisah yang menjadi sorotannya akhir-akhir ini.
Dia adalah salah satu mahasiswi yang sudah tahu kisah ini, karena pada dasarnya materi minggu ini sudah dipersiapkan seperti yang ditugaskan dosennya. Tapi mendengarkan orang lain menceritakan kisah ini, seperti menjadi hal yang berbeda baginya.
"Lalu Hasan Al-Bashri menjawab 1 bagian untuk laki-lagi dan 9 bagian lainnya untuk perempuan. Mendengar jawaban Hasan Al-Bashri, Rabi'ah lantas mengatakan bahwa dia mampu menjaga 9 nafsunya hanya dengan 1 akal, lalu kenapa Hasan tidak mampu menjaga 1 nafsunya hanya dengan 9 akal? Setelah itu, Hasan pun pergi."
Mendengar akhir kisah itu di ruang kelas RA 407, program studi pendidikan bahasa dan sastra Indonesia, semester 3 dalam mata kuliah khazanah sastra Islam di hari senin pada rentang waktu 08.40-10.20, pemikiran seorang Anindhita Prameswari sedikit berubah.
Dia mulai mendambakan seorang Rabi'ah Al-Adawiyyah.
~•~•~