Mungkin laki-laki itu akan menganggapnya aneh. Mungkin laki-laki itu akan menganggapnya sombong. Mungkin laki-laki itu akan menganggapnya sebagai perempuan dingin dan masih banyak kata 'mungkin' yang dapat mendeskripsikan sikapnya yang berlalu begitu saja tanpa menghiraukan orang yang ingin mengatakan sesuatu padanya.
Anin akan merasa bersyukur jika kata 'mungkin' itu telah membuat laki-laki itu tidak datang padanya dan berani untuk duduk di sampingnya lagi di malam-malam berikutnya. Dia akan sangat amat bersyukur. Setidaknya label-label yang tersemat padanya bisa berguna. Pada akhirnya.
Tapi tak ada satupun kata 'mungkin' itu yang benar. Anin hanya tidak bisa bersikap di depan laki-laki. Tubuhnya terlalu kaku ketika inderanya melihat atau mendengar laki-laki berbicara padanya. Walaupun terkadang dia akan bersikap sebaik mungkin di depan laki-laki yang akan terus ada di sekitarnya-seperti teman satu kelas, atau teman satu kantornya-dengan batin yang terus menariknya untuk menjauh dari laki-laki yang sedang berusaha dihadapinya, untuk kabur dengan kakinya yang berlari.
Anin ingat ketika para tetangganya mengeluhkan sikapnya yang tidak pernah menyapa mereka ketika mereka saling berpapasan kepada Ibunya. Mereka akan bilang kalau dia sombong atau yang lebih parah menyebutnya dengan tidak memiliki mulut untuk berbicara dan keluhan-keluhan mereka membuatnya benar-benar tidak pernah keluar rumah lagi selain berangkat atau pulang dari sekolah, kampus, atau urusan dengan teman-teman satu sekolahnya, atau hanya pergi ke halaman rumah untuk menjemurkan pakaian. Dia bahkan tidak memiliki teman di lingkungan rumahnya, selain satu teman sekolahnya yang menjadi tetangganya.
Anin tidak akan pernah mau keluar rumah jika Ibu menyuruhnya untuk membeli sesuatu di warung. Dia tidak akan pernah mau ikut dalam pengajian remaja-dewasa di masjid. Dia tidak akan pernah mau ikut menjadi panitia penyelenggara acara di lingkungan rumahnya.
Dia pernah ikut andil dalam sebuah grup qosidah ketika remaja dan itu adalah hasil dari paksaan Ibunya, juga salah satu tetangganya hanya karena dia pernah sekali menjadi vokalis grup qosidah ketika semasa peralihan taman kanak-kanak ke sekolah dasar.
Semua keluhan tetangga tentangnya yang mendeskripsikan dirinya bahwa dia sombong atau tidak memiliki mulut untuk berbicara adalah salah besar. Anin hanya tidak memiliki keberanian untuk menyapa mereka lebih dulu dan ketidak beranian itu membuatnya berjalan menunduk tanpa melihat sekitar. Hal itu telah berhasil membuat orang-orang di sekitar rumahnya salah dalam menilai dirinya.
Helaan nafas berat itu terdengar. Matanya masih awas melihat ke luar jendela dengan bertopang dagu. Dia masih ingin duduk di sana jika saja laki-laki itu tidak ada dan jika saja tebakannya terhadap angin yang sempat menyentuh kulitnya itu salah. Setidaknya suara hujan ini bisa menenangkannya sama seperti dia menghabiskan malam dengan bersedekap pada lututnya.
"Orang itu tidak akan datang lagi kan besok?" bisik Anin pada keheningan kamar kosnya.
"Aku akan datang lagi besok." Ujar Dhani. Tangannya bergerak merapikan rambutnya yang basah.
Untuk pertama kalinya dia menemui perempuan aneh seperti itu. Dia bisa melihatnya ketika perempuan itu tiba-tiba berdiri dan setengah berlari menjauh darinya, bahkan tidak memperlihatkan wajahnya sama sekali kepadanya. Terlihat seperti orang yang terburu-buru.
Apa dia mengira kalau yang baru saja duduk di sampingnya adalah hantu? Kalau benar, Dhani sungguh merasa bahwa ini adalah karmanya. Pertama, dia mengira gadis itu hantu dan kedua, gadis itu mengira dirinya hantu. Dhani menggelengkan kepalanya memikirkan hal itu.