Hasrat Abu

Tiara Khapsari Puspa Negara
Chapter #7

Hasrat Dengan Harap Pada Suratnya

Senin, 28 September 20xx

Assalamualaikum Wr. Wb.

Aku bertanya pada huruf-huruf dengan pikiran yang masih ganjil mengenai kabar Ibu dan Ayah. Mereka bilang baik dan semoga benar. Panggilan-panggilan gawai yang tak ku jawab cukup jadi buktinya.

Anin memberanikan diri kembali memberi kabar melalui surat dengan tinta yang tidak seperti milik kerajaan atau bangsawan di kisah-kisah yang pernah didengarnya. Dia hanya punya tinta biasa dari pena biasa yang telah jadi usang.

Pukul 4 sore dengan guntur yang terdengar pelan di langit yang mendung, Anin berhasil menyelesaikan pekerjaannya sesuai dengan target yang untuk hari ini dipercepatnya. Bukan karena dia yang tiba-tiba mendapat kabar dari cerita yang dilihatnya di Instagram tentang kisah si Baskara, tapi karena janji temu dengan sahabat-sahabatnya di kampus dulu.

Aku sehat dengan segala hal yang masih mengelilingiku sejak hari itu. Tak usah pikirkan aku dulu ketika cuaca Jakarta masih jauh lebih bersahabat daripada tanah Jawa yang menuntut keputusanku. Masih aku usahakan cari pada malam-malam penuh abu dan sendu dan jika kalian bertanya, aku akan menjawab 'belum kutemukan barang sekalipun'. Bilang saja seperti itu pada pemuda yang memberi lamaran padaku jika dia masih menunggu. Jika tak yakin, biarkan saja dia pergi.

Anin tersenyum kecut setelah akhir kalimat selesai ia tulis. Dia memang tak berharap orang itu mau menunggu setelah mendengar teriakannya itu. Lucu saja rasanya ketika pemuda itu telah melihat calon lamarannya berteriak di depan orang banyak. Anin yakin dirinya telah mendapatkan penilaian sebagai orang yang tak tahu sopan santun. Dia terkekeh memikirkannya. Masih dengan kekehan yang sama seperti yang sudah-sudah.

Dia menoleh menatap keluar jendela resto di salah satu mall di Jakarta. Hujan sudah turun setelah gelegar guntur terdengar sejak tadi.

Masih jauh lebih bersahabat apanya? Senyum kecut itu kembali.

Aku juga belum punya sekotak kabar yang layak untuk diberikan pada Ibu dan Ayah selain soal kesehatanku yang bisa kuselipkan di setiap surat yang ku tulis.

Kuharap Ibu dan Ayah mau maklum, mau tabah tanpa perlu menyambung pesan lewat panggilan gawai lagi, mau bersikap seperti biasa tanpa risau soal ucapan dan kebingunganku. Mereka milikku jadi aku yang akan selesaikan juga. Ibu dan Ayah cukup sabar menunggu yang entah kapan datangnya, doakan saja secepatnya.

Aku harap kali ini mereka mau mengerti. Anin menghela napas.

Diliriknya jam pada layar gawainya, pukul 4.15. Mungkin teman-temannya akan sedikit terlambat karena hujan. Memberi waktunya untuk menyendiri walau sebentar.

Anin meneguk teh dalam cangkirnya. Rasa pahit menjulur lidahnya dengan kesan yang aneh. Tapi entahlah, dia sedang tidak pandai merasa.

Ibu dan Ayah tahu? Aku punya abu dan sendu yang tak pernah aku bagi pada siapapun. Pelitnya aku. Sungguh pelit. Bahkan pada Ibu dan Ayah pun aku tak pernah membaginya. Tapi kali ini akan aku bagi sedikit, karena aku ingin Ibu dan Ayah tahu soal teriakan itu datang dari mana.

Abu dan sendu itu selalu saja menemaniku sejak kecil, telah melekat dalam kisahku. Aku bahkan berhasil menemukan abu dan sendu yang sama menyedihkannya dengan kisahku dalam kisah-kisah berbahasa hindi, pada kisah Paro dan Deva, Heer dengan Ranjha, Mirza dan Sahebaan. Tapi abu dan sendu dari kisahku sudah pasti sangat berbeda. Mereka datang dari hal yang berbeda. Mereka datang dari hal yang kalian bagi ketika aku kecil.

Aku harap mereka mengerti dengan maksud yang aku tulis, mengerti dengan petunjuk yang aku tuangkan.

Matanya kembali membaca ulang tulisan yang telah ditulisnya. Semua kata-kata yang tergores di sana terlalu pahit untuk di rasa. Dia tak yakin dengan abu dan sendu yang terpaksa ditulisnya lewat surat itu. Kata-kata itu hanya yang dia punya untuk saat ini. Dia masih tak mampu, karena kata-kata yang dia punya masih terbatas. Nyatanya dia masih membatasi diri dari kata-kata berbau abu dan sendu yang dulu sering digoreskan pada kamarnya.

Anin yakin kata-kata dalam suratnya bisa dibaca orang tuanya, tapi dia tak yakin dengan maksud yang telah dituangnya. Dia tak yakin orang tuanya bisa mengerti dengan tulisannya.

Lihat selengkapnya