"Tidak perlu diceritakan ya? Anggap aja kayak kisah Rabi'ah yang dapet lamaran dari Hasan Al-Bashri. Aku gak tahu harus cerita apa." Anin menghela napas untuk yang kesekian kalinya. "Dan mulai dari mana."
Anin merasa tidak punya cerita yang menarik dari lamaran yang datang padanya itu. Cerita itu bukanlah hal yang menarik seperti yang diharapkan banyak orang, melainkan hanya sebuah kekacauan. Haruskah ia bercerita tentang kekacauan itu? Apakah kisah macam itu yang diinginkan sahabat-sahabatnya?
“Tidak apa-apa. Ceritakan saja pelan-pelan.”
Anin mengangguk pelan.
Bukan itu poinnya, melainkan Anin tidak bisa menceritakannya karena yang dia punya hanya penggambarannya saja. Bukan rentetan alur, tapi hanya satu gambar dalam satu frame. Dia tak punya kata perintah cut to [3] untuk mengganti satu gambar itu dengan gambar yang lain. Sudah dikatakan, Dia hanya punya satu gambar, perasaannya.
Tapi Anin yakin bukan itu yang ingin didengar sahabat-sahabatnya. Sedangkan hujan masih turun di luar sana, dia tidak bisa begitu saja mengatakan ada urusan mendadak. Sudah dikatakan di chapter sebelumnya, dia benar-benar terjebak. Anin kembali menghela napas, lagi.
"Kalian tahu kan? Dari dulu aku kaku kalau soal cowok dan entah apa yang aku pikirkan ketika dengan sendirinya aku membantu persiapan yang aku sendiripun gak tahu untuk apa, tapi ketika seseorang dengan sekelebat mengatakan 'lihat! Lamaranmu sudah datang', seakan-akan kesadaranku kembali dengan segala perasaan asing yang timbul."
Anin sungguh benci jenis percakapan seperti ini. Terlalu sensitif, terlalu pribadi, dan setelah ini berakhir, dia akan merasa canggung. Bercerita dengan kesan seperti ini bukanlah kebiasaannya. Sekarang dia benar-benar ingin cepat pulang dan duduk di bangku tamannya. Berharap malam ini bisa 'sendirian'.
"Aku hanya bisa menjelaskan bagaimana tiba-tiba aku berdiri, kepala yang sejak awal terus menunduk seketika terangkat dengan pandangan penuh air yang nggak bisa aku kontrol, badanku gemetar hebat melebihi kekhawatiran soal presentasi di mata kuliah penulisan skenario film dan naskah iklan; atau kewirausahaan; atau pengembangan materi ajar bahasa Indonesia; atau ditunjuk secara spontan pada keterampilan berbicara dan kajian prosa dulu, kedua tanganku dingin, perutku mual, dan tekanan hebat pada kepala bagian belakang hingga tengkuk. Aku ketakutan. Aku terkena serangan panik dan saat itu pula..."
Anin menunduk, berusaha mengistirahatkan matanya sejenak dari terus melihat semua pandangan sahabatnya yang hanya mengarah padanya. Sesekali matanya mencuri pandang ke arah luar, seperti yang dilakukannya saat ini. Masih hujan dan 'beruntungnya' bertambah deras.
Sejak awal tangannya masih mencengkram tasnya dengan kuat. Jari dan kuku-kukunya semakin menekannya. Dia tidak peduli akan seberapa lusuhnya surat itu ketika ia keluarkan di kamarnya dan kemudian langsung membekapnya lagi dalam amplop.
Dia kembali menghela napas.
"Dan saat itu pula dengan spontan aku berteriak lantang tanpa peduli akan penilaian orang lain lagi. Mereka sudah pasti menilai ketidak sopananku dan menertawai teriakan itu selama perjalanan pulang."
"Apa kamu gak suka sama cowoknya?" Seseorang bertanya, Anin tidak lagi tahu itu siapa. Dia masih menunduk dengan telinga yang sedang tidak mampu mengidentifikasi suara seseorang.
"Bukan! Bukan karena itu. Bahkan aku yakin kalau seandainya cowok itu si Baskara, tindakanku akan tetap sama. Serangan panik dan teriakan spontan itu."
"Lalu karena apa?"
Itu karena sisi abu dan sendunya. Tapi Anin tidak bisa menjawabnya seperti itu. Mereka hanya akan semakin bertanya sebagai tanda tidak mengerti. Membuatnya semakin rumit untuk dijelaskan.
"Aku..." Dengan masih menunduk, Anin hanya menggelengkan kepalanya, menghindar dari pertanyaan itu, juga pandangan mereka.
"Lalu reaksi orang tuamu, dan pihak yang melamarmu?"