"Anin, apa aku boleh duduk di sini lagi?"
Anin hanya menoleh singkat dan tidak menjawab apapun. Percuma jika dia bilang 'iya' atau 'tidak' sekarang, dulu atau nanti. Tidak ada bedanya sama sekali. Laki-laki ini akan tetap duduk di sana dan kemudian menyuruhnya untuk kembali ke rumah pada akhirnya. Hal itu sudah terbukti kemarin.
Sekarang dia tak lagi bersedekap pada lututnya. Hanya bersandar dan menatap nanar dengan helaan napas yang sesekali keluar secara acak. Bersedekap pada lututnya hanya akan membuat rasa nyeri berbekas di kaki dan tangannya. Hal itu juga menjadi percuma ketika telinganya terus mampu menangkap bunyi dari orang di sebelahnya.
Laki-laki itu sudah duduk di sebelahnya dan menoleh padanya. Anin tak mau menoleh sekalipun.
"Kamu ini kenapa sih hening mulu? Apa mulutmu tidak bisa berbicara selain mengucapkan kata 'iya'? Dan baru kemarin aku dengar kata 'tidak' dari mulutmu."
Apa dia benar-benar mendengar kata 'tidak' kemarin? Anin hampir menoleh. Hanya hampir.
"Kau tahu? Aku hanya pura-pura tidak mendengarnya kemarin."
Anin menoleh.
Oh bagus! Seharusnya aku mengatakan 'tidak' lagi tadi, kalau dia memang benar-benar mendengarnya kemarin. Bodo amat dengan dia jika akan tetap duduk di sini pada akhirnya. Setidaknya sudah mencoba. Anin hanya bisa mendengus dan menyesal.
"Kau siapa? Apa aku mengenalmu?"
"Dia berbicara," ucap laki-laki itu dengan keterkejutan yang sudah jelas dibuat-buat.
Menggelikan sekali. Anin memutuskan tak lagi menatapnya. Tidak lagi dan dia menyesal telah bertanya sesuatu padanya. Apakah dengan bertanya seperti itu artinya dia mau menerima keberadaan laki-laki di sampingnya? Anin menggeleng.
"Oke, aku hanya bercanda. Aku hanya heran saja. Kau tidak ingat aku? Sungguh? Aku kira waktu mengalir dengan sangat cepat empat tahun terakhir atau..." Dia nampak berpikir, menggantung ucapannya. "Entahlah, aku tidak tahu. Tapi sepertinya itu tidak berlaku padamu, hingga bisa melupakan seseorang."
Hening, Anin tidak merespon apapun seperti biasanya. Dia sungguh berharap dapat menarik kembali pertanyaan yang sudah ditanyakannya tadi.
"Kalau kau ingin aku mengingatkanmu siapa aku, tolong jawab dulu pertanyaanku kemarin dan yang tadi."
Anin kembali menoleh. Wajahnya menunjukkan ekspresi bingung. Dia hampir menepuk dahinya karena sudah terlanjur menoleh ketika sebelumnya sudah bertekad untuk tidak menoleh (lagi).
Pertanyaan yang mana? Alisnya mengkerut.
Laki-laki itu melipat tangannya di dada dengan ekspresi datar menunggu sesuatu. Pada akhirnya dia menghela napas.
"Baik aku ingatkan pertanyaannya. Pertama, kenapa kau selalu duduk di sini? Kalau kau menjawab pertanyaan yang satu itu, mungkin aku akan membiarkanmu duduk di sini hingga larut tapi tetap tidak sendirian. Kedua, Kenapa kau selalu hening? Aku mengajak berbicara, kau hening. Aku bertanya sesuatu, kau hening. Kau hanya menjawab pertanyaan 'apa aku boleh duduk di sini?'. Hanya itu, selebihnya hening. Kenapa?"