Hasrat Abu

Tiara Khapsari Puspa Negara
Chapter #10

Hasrat Dengan Langkah Untuk Mengingat

"Anin, kamu pulang ya. Kita bicarakan ini baik-baik. Hal kayak gini gak bisa dibicarakan lewat telepon atau ditulis lewat surat nak."

"Ibu..." Anin meninggalkan jeda. Dia menghela napas dan mengusap wajahnya dengan gusar. Hati kecilnya telah menyesal memutuskan untuk menerima panggilan masuk yang sebelumnya dibiarkan hingga 6 suara dentingan secara berurutan terdengar di telinganya. Dia benar-benar menyesal.

"Ibu udah terima su..."

"Iya, iya! Ibu sudah menerima dua suratmu. Ibu dan Ayah ingin membicarakan itu setelah kau mau pulang nanti. Lusa Ayah akan menjem..."

"Ih, Ibu! Gak usah. Aku udah bilang kan, aku akan pulang kalau pekerjaanku udah gak padet lagi."

Mungkin ini akan menjadi sebuah percakapan saling memotong satu sama lain. Tidak mau kalimat yang hendak disampaikan lawan bicara digenapkan. Sungguh ajaib, maksud yang ingin disampaikan sudah dipahami sebelum kalimat itu sempurna selesai diucapkan.

"Kapan gak padetnya? Dia terus menghubungi Anin."

Anin menghela napas. Telah mengetahui satu fakta tentangnya tanpa disengaja, tanpa bertanya. Telah berhasil menjawab pertanyaan sahabatnya ketika ia berhasil membuka kisahnya sendiri hanya dengan satu penggambaran yang dia punya. Sungguh tidak bisa dipercaya oleh dirinya sendiri.

Orang itu masih menunggu keputusannya.

"Kan aku udah tulis di surat ibu. Bilang saja aku masih mencari keputusan yang tepat. Kalau dia tidak bisa menerima, tinggalkan saja lamaran yang tidak pernah terjadi ini."

"Bagaimana Ibu bisa bilang begitu nak? Orang tuanya masih mau nerima kamu setelah teriakan itu. Kamu mau jadi perawan tua?"

Satu fakta lagi telah diketahuinya. Orang tua pemuda itu masih mau menerimanya setelah teriakan anehnya. Lagi-lagi, tidak dapat dipercaya.

"Haduh! Ibu dan Ayah gak pernah baca suratku? Gak ngerti dengan apa yang aku ucapkan?" ujar Anin, setengah berteriak. Setidaknya dia sedang berusaha menahan dirinya untuk tidak berteriak.

"Ibu dan Ayah selalu baca suratmu, Anin. Memangnya kamu sungguh-sungguh mau jadi seperti Rabi'ah itu? Memangnya bisa?"

"Ibu, aku sadar kemampuan mengajiku masih terbatas. Bahkan di umur segini belum hafal hukum tajwid di luar kepala. Aku terlalu sering mendengarkan lagu-lagu berbahasa hindi itu dari pada membaca Al-Qur'an. Hafizah pun bukan. Mangkanya Ibu gak usah pikirin itu. Biar aku yang menyelesaikan ini. Ibu cukup bilang saja seperti yang di surat itu."

"Anin, ayo pikirin ini bar..."

"Ibu baca juga kan apa yang aku suruh tebak? Asal teriakan itu? Penyebab aku berteriak seperti itu? Soal abu dan sendu?" Kini matanya mulai memerah, tapi dia masih mampu mengontrol suaranya.

"Ibu gak ngerti soal itu, Ayah juga. Kamu kan tinggal kasih tahu aja, kenapa minta Ibu dan Ayah menebak?"

"Kalau Anin yang kasih tahu soal itu, Ibu dan Ayah gak akan sadar apa yang salah. Petunjuknya ada di surat kemarin. Ibu dan Ayah baca terus saja."

"Kalau kamu sudah tahu jawabannya kenapa gak pulang nak?"

Lihat selengkapnya