Kepulan asap itu tertiup pelan dan kemudian hilang begitu saja. Anin menyesap kopi hitam itu perlahan. Kopi yang sangat dan paling tidak disukainya. Tapi akhir-akhir ini keadaan membuatnya candu menenggak minuman pahit itu. Ini lebih aneh daripada kesan aneh yang ditinggalkan ketika dia menenggak teh di hari itu dan lebih aneh ketika dia menenggak french vanilla di malam beberapa hari lalu.
Tangannya kembali mengetik dan mengetik. Ternyata kebohongannya di hari itu, pada telepon, yang dia katakan kepada Ibunya menjadi kenyataan. Desakan jadwal dan kejaran deadline telah berhasil mengekornya beberapa hari ini yang membuatnya meninggalkan ruang kosong di bangku taman itu.
Malam-malam penuh abu dan kebisingannya kini sedang terhenti sejenak. Dia tidak ke sana lagi setelah french vanilla itu habis diminumnya. Dia juga tidak tahu, apakah Dhani masih mengecek kehadirannya di bangku itu atau tidak. Mungkin Dhani telah sempurna menganggapnya tak datang lagi setelah sesi perkenalan yang belum diselesaikan itu.
Anin melirik jam di layar laptopnya, tapi matanya malah membawanya mengarah ke sebuah kertas, surat dari orang tuanya yang datang kemarin berisi tentang...
Anin, kamu sudah memutuskannya belum? Pulang saja dan kita diskusikan ini bersama-sama.
Mereka kembali mendesak keputusannya.
Anin mendengus ketika membacanya.
Ayah dan Ibu sudah berkali-kali membaca surat itu, tapi belum bisa menebaknya Anin. Ibumu juga sudah berulang kali meminta adik-adikmu mengartikannya, tapi sama saja hasilnya.
Kalau kamu masih ingin Ayah dan Ibu menebaknya, tulis saja kembali dengan bahasa yang lebih sederhana, Anin. Itu surat, bukan puisi.
Sebuah konfirmasi ketidakpahaman orang tuanya akan permainan tebak-tebakan yang dibuat Anin.
Dia hanya menghela napas ketika itu.
Dia menghubungi lagi, Anin. Dua kali. Kembali meminta kejelasan. Cepatlah putuskan selagi mereka masih mau bersabar. Ayah dan Ibu berharap kamu menyetujuinya setelah sudah lama berpikir.
Soal pemuda itu yang baru-baru ini kembali menghubungi orang tuanya.
Kamu mau jadi perawan tua?
Dan soal pertanyaan menjengkelkan orang tuanya di akhir surat itu.
Dia menghela napas. Pikirannya makin sibuk saja dengan pekerjaan, dengan surat beserta desakan-desakan orang tuanya dan ...
"Mungkin kalau tidak keberatan, kau bisa bertanya ke teman-temanmu. Barangkali mereka tahu."
Perkataan itu kembali mengusiknya. Membuatnya penasaran.
Gawainya bergetar dan Anin meliriknya. Pesan yang ditulisnya 20 menit lalu akhirnya dibalas seseorang.
Anin :
|Kalian tahu Dhani gak? Dhani Althaf Shabaz? Sungguh nama yang sulit diingat.|
Pada akhirnya dia benar-benar bertanya. Membiarkan rasa penasaran itu mendorongnya untuk mencari tahu, tapi tidak dengan bertanya langsung pada orang itu.
Bila :
|Dhani? Dhani mana? Kenapa memangnya?|
Anin sedikit merasa lega, bahwa bukan dirinya saja yang tidak bisa mengingat nama itu. Sahabatnya juga. Dia tidak sendirian.