Hasrat Abu

Tiara Khapsari Puspa Negara
Chapter #12

Hasratnya Bergumul Kelabu

Assalamualaikum Warrahmatullahi Wabarakatuh

Apa kabar Anin? Saya orang yang melamarmu.

Awal dari surat itu mengejutkannya. Membuat rasa asing itu datang lagi padanya. Rasa yang sama ketika akhirnya dia tidak mampu menahan teriakannya, rasa yang sama soal satu gambar yang berhasil dideskripsikan kepada sahabatnya. Serangan paniknya.

Bagaimana bisa?

Anin melorot, terduduk di lantai dengan wajah yang kentara menunjukan kebingungan dan ketakutannya. Matanya mulai memerah dan dia berusaha mengatur serangan paniknya untuk kembali membaca surat itu.

Maafkan aku jika aku mengirimkan surat ini dan membuatmu tidak nyaman. Aku tahu dari orang tuamu, kau hanya mau memberi lebih perhatianmu lewat surat ketimbang lewat panggilan gawai.

Tangannya mencengkram rok panjangnya dengan kuat. Seharusnya dia bisa menduganya lebih awal bahwa ini semua karena orang tuanya, atau dia yang malah salah memperkirakan? Bahwa ini adalah salahnya? Karena kebingungannya? Karena hasratnya?

Mengapa mereka tidak pernah mau mengerti?

Mungkin orang tuamu sudah mengatakan padamu bahwa aku menghubungi mereka akhir-akhir ini untuk menanyakan keputusanmu dan mereka menyampaikan bahwa kau masih belum bisa memutuskan. Mereka juga membacakan surat itu dengan lengkap kepadaku, termasuk bagian jika aku tak yakin, kau boleh membiarkanku pergi. Maka aku meminta alamat kemana surat ini bisa dikirimkan. Ya! Aku meminta alamat kantor tempatmu bekerja, karena jika aku meminta alamat kosmu, aku tahu itu terlalu privasi.

Untuk apa mereka membacakan semua isi surat itu kepadanya?

Kedua matanya telah genap berair dan pada detik kemudian air itu jatuh. Anin cepat-cepat menyekanya dan mengatur deru napasnya.

Setidaknya dia berusaha mengambil sisi positifnya, orang itu tidak tahu dimana dia sekarang tinggal.

Hanya kantor, hanya kantor saja. Dia berusaha meredakan serangan paniknya. Dia bisa merasakan badannya gemetaran dan kepala bagian belakangnya kembali berat seperti hari itu dan ini sungguh membuatnya tidak nyaman.

Semua yang ada pada surat itu, mengenai abu dan sendu, mengenai kebingunganmu, mengenai hasratmu, kau boleh membicarakannya denganku. Akan aku usahakan untuk membantumu menyelesaikannya.

Tidak akan! Anin menggeleng kencang dan pada akhirnya dia tidak bisa mengatur napasnya. Dia sudah tersedu-sedan.

Kau boleh menghubungiku, kapanpun kau mau membicarakan ini. Barangkali kita bisa bertemu dan membicarakan ini tanpa kau harus pulang ke rumah tempat orang tuamu. Aku akan sangat senang jika kau mau berbagi soal kebingunganmu padaku.

Tidak akan! Aku tidak akan melakukannya! Tidak akan pernah.

Mungkin setelah surat ini selesai kau baca, kau boleh langsung menghubungiku ke nomor 0852-7891-xxxx.

Barangkali hanya itu saja yang bisa ku tulis. Terima kasih bila kau sudah menyempatkan diri untuk membaca surat ini.

Aku akan menunggu panggilan darimu.

Wassalamualaikum Warahmatullahi wabarakatuh

Surat itu berhasil selesai dibacanya dan pada detik berikutnya, surat itu sudah diremukannya dan dilemparkannya ke tempat sampah. Dia benar-benar tidak membutuhkan nomor itu sama sekali.

Dengan gusar tangannya mengacak-ngacak tasnya, mencari gawai dan berakhir dengan menumpahkan segala isinya ke lantai. Dia memutuskan buru-buru meminta kejelasan dari orang tuanya.

"Ibu! Kenapa Ibu dan Ayah kasih tau semuanya ke dia? Dan kenapa kasih tau juga soal alamat kantor ku? Aku kan udah bilang, Ibu dan Ayah cuma cukup lakukan seperti yang aku minta di surat itu. Kenapa? Aku belum siap Ibu. Aku ketakutan. Kenapa kalian gak pernah mau mengerti dan selalu saja melakukan hal yang..."

Anin tak mampu menggenapkan perkataannya. Batinnya sudah tak mampu menahan isak lagi dan suara tangis serak itu keluar, tersedu-sedan. Beberapa kali tangannya memijat pelipis, beberapa kali juga berusaha menghapus air matanya dan mengusap wajahnya dengan kasar, seakan kulitnya tidak akan membiarkan wajahnya kering. Kelelahan dalam kebingungannya ini sudah genap meledak.

Ibunya berbicara sesuatu di seberang tapi gawai itu sudah tergeletak di lantai dan Anin tak mau mendengarnya lagi. Semua ocehan yang tak pernah punya tempat untuk melihat perasaannya dan ketika dia mulai berprotes, mereka cuma menanggapi dengan singkat tanpa merubah sikap. Sudah terjadi sejak dulu, sudah jadi bagian yang menempel di hidupnya.

Anin mendongak. Dia merasa butuh malam-malam penuh abunya, mungkin juga dengan kebisingannya dan dia berlari, mencoba meraih apa yang masih bisa dia lakukan walaupun akan berakhir dengan tidak mendapatkan jawaban apapun. Setidaknya hanya menenangkan buatnya. Dia ingin rasa panik dan ketakutannya ini hilang dalam malam-malam penuh abunya, juga kebisingannya.

Lihat selengkapnya