Anin melangkahkan kakinya masuk ke dalam gerbong commuter line pukul 20.40 menuju Tanah Abang. Harapannya masih dia tinggalkan di kereta ini. Harapannya yang semu.
Tangannya sibuk memeriksa catatan hasil diskusi mengenai naskah yang dia ampu dan kemudian memasukkannya ke dalam tas kerjanya. Ketika commuter line itu mulai bergerak maju, tangannya meraih pegangan yang tergantung. Gerbong ini sepi, tapi tidak juga.
"Kalau begitu kau tinggal telusuri jejak-jejak itu untuk mencari jawaban atas kebingunganmu, atas keinginanmu, hasratmu yang abu."
Anin tersenyum kecut. Kalimat itu terdengar di telinganya secara tiba-tiba. Entah kenapa kata-kata Dhani selalu muncul dalam benaknya akhir-akhir ini. Memenuhi kepalanya dan membuat semua ini terasa konyol. Terasa seperti benaknya yang memikirkan Dhani, tapi tentu saja tidak.
Tidak akan pernah! Anin menggemakan lagi perkataannya tempo hari dalam benaknya. Dia menanam mantra itu dalam dirinya.
Bagaimana jika cara tersebut tidak berhasil dan masa lalu itu kembali menempel padaku? Terlalu beresiko, benaknya kemudian.
Anin sadar akan hal itu. Dia tidak memiliki keberanian sebesar itu untuk menghadapi masa lalunya hanya untuk mencari jawaban soal kebingungannya. Bahkan dia tidak pernah punya keberanian untuk menghadapi orang-orang yang telah salah menilainya dulu. Membuatnya mendekam di dalam rumah. Menghindar. Seperti yang dilakukannya akhir-akhir ini dan malah datang pada malam-malam penuh abunya di bangku taman yang sudah jelas bukanlah rumahnya.
Setelah percakapan itu, di bangku itu, pada malam itu, Anin kembali hening seakan sebelumnya dia pernah berkelakar mengobrol dengan benar bersama Dhani. Tapi tidak! Kelakar yang dia punya hanya sejumput itu, sejumput kata-kata yang pernah diucapkannya pada Dhani yang menjadikannya hening kembali. Dan yang dilakukan Dhani akhir-akhir ini ketika duduk di sampingnya hanyalah berpikir dengan ekspresi yang aneh, seakan dia memusatkan semua kekuatan yang dia punya hanya untuk itu, berpikir. Ketika dia menemukan sebuah ide, maka Dhani akan meracau seakan itu sebuah gagasan yang brilian. Membuat Anin sesekali menahan tawanya, tapi nyatanya dia lebih banyak diam, pura-pura tuli, pura-pura bisu.
"Kalau kau mau minta saran lain atau sejenisnya, bilang padaku saja. Aku akan berusaha untuk membantu,"
Teriakan yang didengar benaknya itu membuatnya menggelengkan kepala.
Aku tidak akan pernah melakukan itu! Mantra itu kembali memenuhi kepalanya. Walaupun ada setitik hasrat yang menyuruhnya untuk mencoba, tapi sayangnya keberanian tidak pernah berpihak padanya. Bertingkah seperti seorang musuh bebuyutan.
Memupuk keberanian hingga jalan keluar lain datang? Anin menggelengkan kepalanya lagi. Raut sendu muncul pada guratan wajahnya. Dia menghela napas.
"Aku berani bertaruh hanya untuk melakukan itu!"
Anin menoleh. Suara yang didengarnya itu yang jadi penyebabnya, seakan suara itu menjawab apa yang dia katakan dalam benaknya barusan.
"Kau menantangku?" Dia kembali bersuara di antara bunyi commuter line yang berjalan di perlintasannya. Suara yang dia kenal, suara yang sudah begitu familiar di telinganya dulu. Anin bisa melihatnya dan mata miliknya mulai memerah.
Dia berdiri di sana sedang berbicara dengan gawai di telinganya. Berdiri dengan jarak beberapa orang yang tidak bisa Anin hitung. Bukan tidak bisa, tapi Anin tidak mau menghitungnya. Yang mau dilakukannya sekarang hanyalah menatapnya diam-diam, seperti dulu, di dalam kelas, di lapangan, atau kantin, kadang di sampingnya ketika upacara, atau di depan baris mejanya saat perputaran kursi, dimanapun dia melihatnya yang sudah jadi kebiasaannya sejak kelas 11.
Dia tinggi dengan rambut yang mirip seperti milik Ayahnya. Dulu Anin sering melihat matanya menjadi sebuah sabit ketika dia tersenyum dan kini dia dapat melihatnya lagi, hari ini, malam ini, detik ini, sekarang pada wajah si Baskara yang berdiri di sana, dalam gerbong yang sama.
"Kalau begitu, begini saja. Coba kau pikirkan jalan lain selama kau memupuk keberanian untuk menelusuri jejak-jejak itu."