Langkahnya begitu tergesa. Bahkan dia memutar kunci dengan begitu agresifnya, seakan-akan dia harus memperhitungkan waktu untuk menaklukan sebuah bom yang sebentar lagi akan meledak.
Ketika pintu itu berhasil dibukanya dengan kunci dan sedikit dorongan, tubuhnya ikut terdorong dan terjatuh ke lantai. Dengan segera juga dia bangkit, menanggalkan tas kerjanya dan flat shoes-nya yang sedikit terlempar saat melepasnya. Tangannya meraba dinding, mencari saklar lampu dan menekannya dengan kasar.
Langkah cepatnya mengarah ke sudut kamarnya, ke sebuah kardus berisi catatan dan buku-buku ketika dia masih kuliah.
Anin langsung membukanya dan mengeluarkan isinya. Mata dan tangannya bekerja bersamaan memilah-milah, mencari buku catatannya dulu. Catatan mengenai kisah abu dan sendunya yang dulu sering ditinggalkan jejaknya di dalam sana.
Buku itu bersampul coklat. Berupa buku jurnal seperti milik backpacker dalam sebuah film berbahasa hindi yang pernah dilihatnya. Anin menemukannya tidak berdebu sedikitpun. Walaupun bau apak menguar darinya, tapi tidak terlalu parah. Bukan masalah untuk Anin, karena yang terpenting isinya masih bisa terbaca.
Anin mulai membukanya dengan tangan gemetar. Gurat wajahnya menunjukkan ekspresi seperti dia sedang mengalami hal menegangkan dengan jantung yang berdegup kencang.
15 Agustus 2015
Tanggal itu tertulis di halaman pertama. Catatan pertamanya.
Aku ingin sekali sendiri di padang rumput yang luas. Menenangkan pikiranku yang kacau balau. Setiap ada yang menanyakan "An, kenapa Ayahmu tidak pulang?", Aku ingin menangis.
Anin membaca paragraf pertama, yang tentu saja soal kisah abu dan sendunya. Matanya memerah.
"Orang-orang itu, selalu saja menanyakan hal itu," rintihnya.
Pertanyaan itu begitu memuakkannya. Pertanyaan yang sering ditanyakan orang-orang ketika dia masih SD dan dia menuliskan pertanyaan itu di sana ketika SMA. Sudah lama, tapi dia masih mengingatnya. Sudah tergurat di hatinya, menjadi bagian yang membentuk abu dan sendunya.
Anin kembali membuka halaman selanjutnya.
11 Juli 2016
Di saat umurku menginjak 6 tahun, Allah memberiku hukuman entah atas kesalahanku yang mana. Hukuman yang bahkan tidak boleh dilihat oleh anak sekecil itu. Meninggalkan bekas luka di hati sampai sekarang, bahkan saat masalah itu benar-benar sudah berakhir.
Catatan itu kembali tentang kisah yang membentuk abu dan sendunya. Menjadi bagian jawaban dari tebak-tebakkan yang diajukannya kepada orang tuanya.
"Aku seperti tertinggal."
Dia kembali membuka halaman.
23 Januari 2017
Kebahagiaan yang masih samar-samar. Senyum yang aku sendiri tak tahu itu sebuah hal yang nyata atau tidak. Hidup dengan hantu-hantu memori masa lalu. Aku masih bertanya mengapa Allah menuliskan sederetan takdir itu untukku?
"Lagi, soal abu dan sendu." Suaranya bergetar. Air di matanya mulai menggenang.
6 Februari 2017
Angin berhembus membelai kulitku. Aku ingin ia menghembuskan rasa yang aku tak tahu kuinginkan atau tidak.
"Akhirnya!" Air itu mengalir dan jatuh.
Catatan itu soal harapannya akan sebuah kisah Tuan Putri di antara abu dan sendu yang dia miliki, soal perasaannya pada si Baskara yang disembunyikannya. Dia membalikkan halamannya, lagi.
Isaknya mulai terdengar
20 Februari 2017