Hasrat Abu

Tiara Khapsari Puspa Negara
Chapter #16

Epilog

Bagian gaun putih itu terseret pelan di lantai ketika kakinya melangkah maju. Tangannya memegang buket bunga yang tak dapat diidentifikasi jenisnya. Tapi harumnya menyeruak hingga mampu ditangkap oleh indera penciumannya.

Dia menatap nanar ke depan. Sebuah penglihatan yang mengisyaratkan bahwa dia masih tak percaya akan semua ini. Kini dirinya sedang berjalan menuju pelaminan, tempatnya akan melihat bagaimana tamu undangan berharap akan kebahagiaannya setelah ini, di samping seseorang yang telah menjadi suaminya. Meninggalkan kisah abu dan sendu yang dia punya, tapi tidak benar-benar ditinggalkan.

Matanya melirik, agak menengadah dan dilihatnya dia tersenyum. Maka Anin membalas senyuman itu. Membuat haru jatuh dari matanya.

"Terima kasih,"

"Untuk?"

"Untuk pemahamanmu," lirihnya.

Malam itu, setelah surat ditulisnya untuk pemuda yang jadi suaminya ini. Anin telah memutuskan sesuatu, menjelaskan perkara jawaban dari pertanyaan yang diajukannya kepada orang tuanya. Asal teriakan itu, abu dan sendunya, penyebabnya.

"Assalamualaikum, ibu. Ibu dan Ayah sudah menemukan jawabannya? Jika belum, aku akan memberi tahu." Anin menghela napas berusaha meredakan getaran pada suaranya.

"Jawabannya, asal teriakan itu, penyebab abu dan sendu yang aku punya, berasal dari bentuk traumaku akan rusaknya sebuah kepercayaan."

Anin ingat ketika itu dia berbicara pada gawainya, dia tidak terisak. Bahkan getar dari suaranya telah hilang begitu saja. Dia hanya membiarkan mulutnya mengeluarkan kata semaunya dengan pandangan kosong. Seakan-akan ada seseorang yang mengendalikannya.

"Aku masih tertinggal di sana Bu. Aku tak pernah bilang kalau aku masih tertinggal kan? Sedangkan Ayah dan Ibu, aku tak tahu menyadarinya atau tidak."

"Tertinggal maksudnya apa, An?" tanya Ibunya, tak mengerti dengan ucapan Anin.

"Aku, Ibu. Aku tertinggal di waktu itu. Ketika..." Anin menyisakan jeda, lalu dia menghela napas. "Ketika Ayah menjalin hubungan dengan wanita lain, ketika Ibu dan Ayah terus berkelahi, ketika aku yang masih kelas 1 atau 2 atau 3 SD terus melerai Ibu dan Ayah di antara tidur malamku. Setiap malam pada waktu itu." Satu tetesan air di matanya jatuh, tapi Anin tidak menyadarinya. Tatapannya masih kosong.

"Mendengar jeritan Ibu, makian Ayah, dan Ibu yang membenturkan kepala ke tembok, juga barang-barang yang terlempar dan sebagian pecah. Aku juga masih bisa melihat asapnya sekarang, Ibu. Asap baju Ayah yang Ibu bakar. Bau minyak tanah, aku juga masih bisa menciumnya, Bu. Ibu yang menumpahkannya ke diri Ibu sendirikan?" Anin terkekeh, seakan itu adalah hal yang lucu. Tetesan air itu kembali jatuh. “Aku juga masih bisa menginjak pecahan-pecahan beling dari alat makan yang sudah tergolek tak terbentuk di lantai. Tapi anehnya kakiku tidak terluka, Bu. Tapi mentalku,” kekehnya lagi. Kembali memberi jeda.

Lihat selengkapnya