Hasrat Abu

Tiara Khapsari Puspa Negara
Chapter #2

Hasrat Di Antara Semu

Ekspresinya kembali menunjukkan kengerian, ketika malam ini dirinya kembali melihat sesosok yang bersedekap di atas bangku taman. Duduk di bangku yang sama, membelakanginya dan lagi-lagi menenggelamkan kepalanya pada lutut yang dipeluknya. Sosok yang entah mengapa membuatnya takut akan hal yang berbau mistis, padahal umurnya sudah kepala dua mendekati tiga. Sudah tidak cocok lagi bagi dirinya punya rasa takut akan hal seperti ini.

Mulutnya ingin berujar ‘tiga kali’ setelah hitungan dalam hatinya selesai, namun ketakutan mencegahnya. Takut-takut sosok itu mendengar dan menengok kepadanya dengan tatapan yang tidak bisa dibayangkan benaknya.

Ada keinginan dalam hatinya untuk mendekati sosok hening itu, hanya untuk memastikan pikiran bodohnya. Tapi dirinya lebih menuruti ketakutan yang bilang ‘tidak’ padanya. Mungkin rutinitas lari malamnya akan sekaligus menjadi rutinitas yang menegangkan untuk kedepannya selama dirinya masih belum memiliki keberanian untuk menghampiri sosok itu.

Suara kekehan kecil yang didengarnya secara tiba-tiba dari sosok itu sudah genap membuatnya merinding dan berhasil membuatnya memeluk dirinya sendiri, namun matanya masih enggan mengalihkan pandangannya apalagi kembali berlari.

Harus ku hampiri besok! batinnya berucap, berusaha memberanikan diri. Seperti yang sudah dilakukannya di hari-hari sebelumnya. Tapi tak juga dia punya keberanian untuk menghampiri sosok itu. Mungkin mengawasi dari belakang adalah hal yang mampu dia lakukan untuk saat ini dan entah sampai kapan.

"Ah… mereka memang tidak mengerti." Sosok yang masih bersedekap itu berucap pelan setelah sebelumnya menghela napas berat dan kali ini kembali terkekeh kecil.

Suara gadis yang didengarnya itu membuatnya mematung. Bukan karena ketakutan makin menumpuk padanya, melainkan kesadaran bahwa sepenuhnya sosok itu hanyalah seorang perempuan yang sedang menyendiri. Ketakutannya sudah sia-sia.

Setelah selama ini dirinya berhenti berlari hanya untuk mengawasi sosok itu, baru kali ini matanya sadar bahwa yang sedang bersedekap pada lutut itu memiliki tubuh yang begitu mungil, mengkerut memeluk lututnya sendiri dan terkadang hijab yang dikenakannya tertiup angin malam, membuat sosok itu makin mengeratkan pelukannya pada kedua lutut. Membuat sosok gadis itu tambah mungil. Mungkin ketakutannya selama ini telah membuatnya mengawasi dengan cara yang salah.

Sosok yang awalnya dilihat dengan segala ketakutannya hanya berhasil menyimpulkan bahwa yang bersedekap pada bangku itu adalah sosok yang hening. Kesimpulan itu memang benar adanya dan selain itu adalah kesimpulan yang salah, termasuk hal-hal yang membuatnya merinding.

Kini yang dilihat tanpa rasa takutnya hanyalah seorang gadis kosong, berusaha mengais-ngais sesuatu pada malam dan menenggelamkan kepalanya pada kegelapan yang dirinya buat di sela-sela dekapan pada lututnya. Mungkin kegelapan malam kurang membuatnya tidak bisa melihat sekitar. Gadis itu perlu kegelapan yang absolut.

Harus ku hampiri besok! Lagi-lagi dirinya berujar untuk kedua kalinya pada malam ini. Terhitung sudah empat kali pada tiga hari terakhir. Tapi untuk pertama kalinya dengan keyakinan penuh, tanpa rasa takut.

Di hari ketiga, dengan mendengar ucapan yang terdengar dari gadis itu, seorang Dhani Althaf Shahbaz ingin bertepuk tangan, berhasil memastikan bahwa pikirannya selama ini hanyalah sebuah ketakutan yang bodoh.

Terhitung sudah tiga kali pada tiga hari terakhir dirinya melihat sosok itu dan untuk pertama kalinya di malam ini, seorang Dhani Althaf Shahbaz, berlari untuk mengejar malam keempat.

~•~•~

"Anin, saya duluan ya." Seseorang di samping meja kerjanya, berdiri, hendak pergi.

Lihat selengkapnya