Anin membuka pintu kamar temaramnya dengan tatapan gamang setelah matanya tak berhasil menemukan sosoknya di antara desakan orang-orang dalam commuter line pukul 20.40 menuju Tanah Abang. Sepertinya memang mustahil menemukan seseorang diantara orang-orang dalam kereta yang terdiri dari 12 gerbong.
“Mungkin besok,” gumamnya pelan, kemudian melangkahkan kakinya masuk.
Catat ini, Anindhita Prameswari masih belum menyerah. Belum
Matanya mengedarkan pandangan pada sekeliling kamarnya. Sudah tak pernah dia melihat jejak tulisan yang dulu sering ditinggalkannya di sana, di antara malam-malam panjangnya.
Dulu dia sering merayu abu dan sendu untuk digoreskan di atas kisahnya sendiri pada halaman-halaman kertas kecoklatan yang tak pernah mau mencampurnya dengan kumpulan kisah Tuan Putri yang pernah didengarnya. Bukan karena dia tak suka kisah Tuan Putri tertulis di sana, tapi rasanya tak pernah barang sejumput pun dia rasakan selain abu dan sendu pada kisah miliknya sendiri. Kisah Tuan Putri bukan jadi konsumsi pokok dalam kisah hidupnya. Dia hanya mampu mendengar, tak mampu menulisnya karena tak pernah merasa.
Jika ditanya yang mana yang lebih disukainya, dia akan menjawab seperti ...
'Aku lebih suka abu dan sendu untuk ditulis'
'Aku lebih suka kisah Tuan Putri untuk didengar'
Sudah jelas, dia berada pada kasta yang berbeda dari orang kebanyakan. Barang tentu, dia termasuk kaum minoritas yang masih suka mendengar kisah para putri, namun sering merajut abu dan sendu di setiap goresan halaman yang menyimpan kisah akan dirinya.
Tapi itu dulu. Kini jika ditanya yang mana yang lebih disukainya, dia akan menjawab seperti ...
'Aku lebih suka kisah Tuan Putri untuk didengarkan di antara malam-malam panjang penuh abu dan sendu.'
Karena dirinya pernah berucap ...
'Aku lelah menunggu dia mau membaca kisahku'