“Kita di mana, Arsya?”
Falisha terbangun dan melihat sekitar. Pemandangan hijau di hadapan tertangkap indra penglihatan. Perempuan itu tidak sengaja tertidur setelah lelah menangis dalam perjalanan usai Arsya membawanya bertolak dari kantor.
“Di hatimu.”
Jawaban asal Arsya membuat Falisha menoleh ke arah lelaki yang masih terduduk di balik kemudi. Terlihat senyum tipis terukir di bibirnya.
“Arsya ....” Falisha menghela napas panjang. Kedua matanya masih terlihat sembab.
Laki-laki yang disebut namanya itu tidak segera membalas ucapan singkat Falisha. Dia justru meraih tisu dari dasbor dan menggunakannya untuk menghapus sisa-sisa air mata Falisha.
“Fal bisa sendiri, Arsya. Mmm ... maaf, tapi Kakak bisa sendiri.” Falisha mengambil tisu dari tangan Arsya. “Maaf, kalau udah ngerepotin, Arsya.”
“Fal?” Arsya menggumam sembari mengalihkan pandang dari Falisha. “Kenapa enggak aku-kamu aja sih, Kak? Kenapa harus selalu sebut nama?”
Falisha tertunduk. “Udah biasa begini, apa ... Arsya enggak suka?”
Pertanyaan itu justru membuat Arsya terkekeh.
“Apa ada yang lucu?” tanya Falisha yang melihat Arsya dengan tatapan bingung.
“Kalau aja Kakak jadi milik aku,” celetuk Arsya.
“Maksudnya?”
“Enggak, jokes aja, lupain.” Arsya membuka pintu mobil dan segera turun. Ternyata, dia menghampiri pintu mobil sebelah kiri dan membukanya untuk Falisha. “Ayo, turun, Kak!”
“Tapi Arsya belum jawab. Kita di mana sekarang?”
“Kita lagi ada di tempat favorit aku. Makanya ayo, turun. Nanti Kakak juga tahu kita di mana.” Arsya mengulurkan tangan hendak membantu Falisha turun dari mobil. Namun, kakak iparnya tersebut tidak kunjung menyambut uluran tangan.
Sejenak, Falisha tertegun. Lelaki yang dia inginkan sejak lama adalah Arka. Namun, kenapa justru Arsya yang memperlakukannya dengan jauh lebih baik?
“Kenapa malah lihatin tangan aku? Kakak tenang aja, tangan aku bersih, kok. Higienis, aku jamin. Tuh lihat, aku selalu bawa pembersih tangan ke mana pun. Tisu basah juga enggak pernah ketinggalan. Kakak aman kalau sama aku.”