"Tolong siapin kamar. Sabrina tidur di apartemen kita malam ini. AC di apartemennya lagi bermasalah dan teknisinya baru bisa perbaiki besok."
Falisha menghela napas panjang. Dia pikir, Arka menelepon untuk bertanya basa-basi, barang kali ada sesuatu yang dia ingin untuk dibelikan. Ternyata dugaannya salah.
"Tapi, Mas, bukannya ... dia bisa nginap di lain tempat? Fal cuma enggak mau kalau nanti Mama tahu dan—"
"Enggak usah banyak alasan! Mama enggak akan tahu kalau kamu enggak kasih tahu! Lagi pula kamu enggak ada hak untuk memutuskan boleh atau enggaknya Sabrina nginap di apartemen kita," sahut Arka dari seberang.
Sesak, tetapi Falisha tidak bisa melakukan apa-apa. Perempuan itu masih mencoba untuk bertahan di tengah situasi yang sama sekali tidak dia inginkan. Bagaimanapun, Falisha tidak ingin keluarga Mirna yang sudah berekspektasi tinggi tentang Arka, kecewa karena laki-laki itu tidak memperlakukan Falisha sebaik yang mereka kira.
“Denger enggak, kamu?”
“Iya, Mas. Fal siapin kamarnya.” Falisha dengan terpaksa mengiyakan meski dengan berat hati menjalankan perintah Arka yang sama sekali tidak peduli dengan perasaannya.
“Oke.”
Usai mengucap kalimat singkat itu, Arka mengakhiri panggilan begitu saja. Bahkan tidak ada ucapan terima kasih untuk Falisha yang sudah bersedia melakukan apa maunya.
Malam harinya, tepat pukul 22.00 waktu setempat, Falisha sedang menutup laptop ketika Arka datang bersama Sabrina. Kali ini, entah drama apa lagi yang akan ditunjukkan perempuan itu kepada suaminya, yang jelas Falisha harus mempersiapkan diri meski dirinya tahu, tidak ada pembelaan yang bisa dilakukan, karena bagaimanapun, di mata suaminya, dia tetaplah yang bersalah. Berbeda dengan Sabrina yang selalu dibela meski jelas dia yang memulai drama.
“Bisa siapin air hangat? Aku mau mandi.” Arka memerintah begitu melihat Falisha keluar kamar. Perempuan itu hanya mengangguk tanpa berkata apa pun.
“Di kamar mandi kamu ada bathtube, kan, Sayang? Boleh, kan, kalau aku yang mandi dulu? Enggak tahan kulit aku udah lengket semua.” Sabrina mengeluh dengan manja seraya mendekati Arka yang baru mengempaskan diri di sofa ruang tamu.
“Ya udah, boleh.” Arka dengan lembut mengusap surai panjang Sabrina yang mendaratkan diri di sampingnya. Tatapannya berpindah ke arah Falisha yang harus menahan pilu melihat pemandangan yang tidak seharusnya. “Kamu siapin air hangatnya buat Sabrina dulu, ya? Jangan terlalu panas, sekalian tambahin aroma terapi, tapi jangan banyak-banyak juga.”
Bisa dibayangkan, bukan, bagaimana remuknya hati Falisha saat ini? Dia berada dalam apartemen yang sama dengan Arka, di mana dia sangat mengharap keindahan momen antara mereka berdua, tetapi justru Arka menghancurkannya dengan membawa Sabrina ke tengah-tengah mereka. Laki-laki itu juga seakan memperlakukan Sabrina bak primadona, sedangkan Falisha diperlakukan hanya seperti budak yang bisa dengan seenaknya diperintah kapan saja.
Setelah memenuhi permintaan Arka, Falisha sengaja kembali ke kamarnya. Dia tidak ingin melihat Arka yang terang-terangan bersikap penuh perhatian kepada Sabrina. Dalam hati ingin sekali menjerit, tetapi kenyataan tidak semudah itu. Falisha hanya meratapi kepedihan hatinya seorang diri.