“Kamu itu dari mana aja, Arka? Istri kamu sakit, tapi kamu malah keluyuran?” tegur Salma begitu melihat kedatangan anak pertamanya.
Wanita itu sudah satu jam tiba di apartemen bersama sang suami, tetapi di dalamnya hanya menemukan Falisha yang terbaring lemah di kamar, ditemani Arsya yang duduk di sofa sudut sembari fokus menghadap laptop.
“Papa sama Mama betul-betul kecewa sama kamu, Arka,” timpal Wilis. Laki-laki yang rambutnya mulai memutih itu duduk di sofa ruang tamu, berhadapan dengan Salma.
“Maaf, Ma, Pa. Ini ....” Arka menaikkan tinggi-tinggi tas belanja di tangan. “Aku cuma tinggalin Falisha sebentar buat belanja dan bukan keluyuran seperti yang Mama kira,” elaknya dengan alibi yang dirasa tepat.
“Mama tahu banget gimana kamu, Arka. Jadi enggak perlu banyak alasan.” Salma to the point. “Di mana dia? Nginap di mana? Biar Mama kasih tahu supaya dia enggak ganggu kamu lagi! Kamu udah jadi suami Falisha dan seharusnya kamu bertanggung jawab penuh atas istri kamu, bukan malah sibuk ngurusin perempuan pengganggu rumah tangga kamu.”
Arka meletakkan tas belanja dengan serampangan di meja terdekatnya. “Ma, ini enggak ada hubungannya sama Sabrina. Mama enggak usah ungkit-ungkit Sabrina,” pintanya dengan raut kesal.
Dalam hati Arkatama bersumpah akan memberi pelajaran kepada Falisha karena tidak mendengarkan kemauannya yang sudah berkali-kali ditegaskan sebelum Salma dan Wilis menyambangi apartemen.
“Apa yang dikatakan Mama kamu itu benar, Arka. Lalu apa sebutan yang pantas untuknya kalau bukan perempuan pengganggu?” Jemari Wilis tergerak untuk mengambil remote, menekan salah satu tombol dan mengarahkannya ke televisi LED yang menempel di dinding tidak jauh dari mereka.
Arkatama ternganga saat layar televisi menunjukkan aktivitas dalam apartemen. Bagaimana dia membawa Sabrina datang dan perempuan itu terlihat marah, memperlakukan Falisha dengan tidak baik. Di sana juga terlihat jelas bagaimana raut Arka ketika sedang berdua saja dengan Falisha, terlihat begitu angkuh dan dingin.
Salma menggeleng-geleng dengan bulir hangat yang meluncur begitu saja dari kedua sudut mata.
“Mama baru sadar, ternyata selama ini Mama udah gagal mendidik kamu, Arka,” lirihnya yang mulai terisak. “Kamu tahu gimana sayangnya Mama ke Falisha? Dia udah Mama anggap seperti anak Mama sendiri. Lagi pula, Falisha itu ... udah enggak punya orang tua. Gimana bisa kamu memperlakukan menantu kesayangan Mama seperti itu, Arka?” Salma betul-betul kecewa.
Geram. Arkatama sungguh geram. Dia merasa bodoh karena tidak menyadari adanya CCTV di dalam apartemen tersebut. Laki-laki itu seperti pencuri yang tertangkap basah. Dia terduduk lemah di salah satu bangku yang mengitari meja makan. Kemelut di hatinya semakin menjadi.
“Seharusnya kamu enggak pernah lupa kalau kita bisa seperti sekarang, itu karena bantuan mendiang orang tua Falisha. Jadi apa enggak bisa, kamu membalas kebaikan mereka dengan menyayangi istri kamu sepenuhnya? Kamu sendiri yang janji, kalau kamu akan belajar mencintai Falisha dan meninggalkan Sabrina. Mana buktinya?”
Bukan hanya Salma yang kecewa terhadap Arkatama, tetapi Wilis juga. Dia tidak pernah menyangka dampak perjodohan anak pertamanya dengan Falisha akan menjadi seperti ini.