“Mas, Mas Arka kenapa, Mas?”
Malam sudah menunjukkan pukul 00.30 waktu setempat, tetapi Falisha yang belum bisa tidur, memutuskan untuk duduk di tepi jendela, memperhatikan gemerlap lampu-lampu kota.
Perhatian Falisha kini tertuju ke arah pintu kamar yang baru saja dibuka. Dia melihat Arka memasuki kamar dengan sudut bibir berdarah. Tidak peduli lagi dengan rasa sakit di kepala, Falisha lebih memilih untuk mendekati Arka.
“Mas, kenapa bibirnya berdarah?” Jemari Falisha terangkat, hendak menyentuh wajah Arka, tetapi laki-laki itu menepisnya.
“Enggak usah sok peduli. Seneng, kan, lihat aku kayak gini?”
“Mas, Fal cuma mau lakuin kewajiban Fal sebagai istri Mas Arka. Sekarang Mas Arka duduk dulu, ya, biar Fal ambil air hangat buat kompres memar sekalian ambil kotak P3K.”
Arkatama duduk di tepi tempat tidur sembari menghela napas panjang. Dia menarik lengan Falisha kuat-kuat hingga perempuan itu terduduk di pembaringan.
“Diam aja di situ! Aku bisa obati sendiri.”
Falisha mendesah lelah. Dia membiarkan Arka melenggang menuju kamar mandi. Jika memang laki-laki itu sama sekali tidak membutuhkannya, lantas kenapa Falisha harus memedulikan sang suami?
Apa Mas Arka bener-bener enggak bisa buka hati buat Fal? Apa Fal memang enggak pantes jadi istrinya Mas Arka?
Mencintai secara sepihak memang menyedihkan. Namun, sepanjang hidupnya mengagumi sosok Arkatama, Falisha sama sekali tidak pernah menyangka jika menikah dengan laki-laki itu, rasanya akan lebih menyakitkan.
Falisha jadi tidak sabar untuk mencari tahu pada Arsya, apakah benar, dia yang mengadukan perihal Sabrina kepada kedua mertua? Falisha akan sangat kecewa jika memang Arsya yang melakukannya.
Tidak lama kemudian, Arka terlihat keluar dari kamar mandi, sementara Falisha masih terduduk di tempat yang sama. Perempuan itu mengabaikan rasa tidak enak badan dan lebih memilih untuk memberi perhatian kepada Arka meski berulang kali ditolak mentah-mentah.
“Mas Arka mau dibuatin kopi? Atau teh mungkin?”
Arka mendecak. “Kamu itu bener-bener enggak ada capeknya, ya?”