“Fal, ayo. Semua udah pergi.” Arka membujuk Falisha yang masih berjongkok di sisi pusara Mirna supaya lekas bangkit. Dia tidak ingin berlama-lama tinggal begitu prosesi pemakaman selesai dilaksanakan.
Falisha belum juga bergerak. Perempuan itu tentu merasa sangat kehilangan, karena baginya, Mirna adalah Ibu kedua setelah mamanya meninggal dalam kecelakaan bersama sang Papa. Falisha sangat menyayangi Mirna yang sering memanjakannya seperti anak sendiri.
“Fal ....” Arka kembali bersuara karena melihat Falisha hanya bungkam. “Kamu denger, kan?”
“Fal masih mau di sini. Mas Arka duluan aja.” Singkat, padat, dan jelas. Falisha sama sekali tidak menoleh saat membalas kalimat suaminya. Wajahnya masih basah dan kedua mata menatap kosong ke arah pusara.
Arka mendecak kesal. Bagaimana bisa perempuan itu berucap dengan entengnya? Bisa-bisa dia kena marah Salma karena lagi-lagi akan dianggap tidak perhatian terhadap Falisha, bukan?
“Kamu harus lekas istirahat. Atau ... kamu sengaja, nyiksa diri dengan berlama-lama di sini biar nanti Mama minta aku lebih perhatian lagi ke kamu, gitu?”
Seketika Falisha bangkit dan mendekati Arka saking kesalnya.
“Mas, tolong ngerti. Fal baru aja kehilangan Bude Mirna yang udah Fal anggap seperti Mama sendiri. Salahnya di mana kalau Fal masih mau di sini? Fal kangen sama Bude Mirna, kangen pelukannya, kangen candaannya, tapi Bude Mirna udah enggak ada dan Fal enggak akan lagi dapatin itu semua dari Bude Mirna. Harusnya Mas Arka paham apa yang Fal rasain.”
Dada Falisha naik turun seiring dengan napasnya yang tidak beraturan. Perempuan itu semakin tersedu tanpa peduli di mana dia berada sekarang.
“Minum dulu, Kak, supaya lebih tenang.”
Falisha dan Arka sama-sama menoleh. Mereka mendapati Arsya yang entah sejak kapan kembali ke sana. Laki-laki itu dengan santai menyorongkan sebotol air mineral yang sudah dibuka tutupnya ke arah Falisha.
Setelah merasa lebih tenang, Falisha mengambil botol dari genggaman Arsya dan menyesapnya.
“Makasih, Arsya.” Falisha menyerahkan botol kepada Arsya, kemudian kembali ke posisi semula.
Arka mendesah lelah melihat Falisha yang kini mendaratkan tangannya di pusara Mirna, meraba ke sana-kemari. Dalam hati perempuan itu berandai-andai jika saja wanita yang dianggapnya mama kedua itu masih ada.
“Kita pulang, ya, Kak? Bersih-bersih badan, makan, minum obat, terus Kakak bisa doain Bude Mirna.” Arsya mencoba membujuk. “Pulang dari Singapore kan Kakak belum istirahat sama sekali.”