Hata-Hata Ni Dodo

Linggarjati Bratawati
Chapter #1

Chapter 1

“Semoga operasinya lancar, aku tidak punya teman bermain catur di rumah sakit ini, kebanyakan pasien disini laki-laki, dan itu membosankan,” Miwa seorang wanita paruh baya, menuangkan teh hijau untukku, asap menguap begitu teh hijau tersebut dituangkan. Aku tersenyum tipis, kemudian menoleh ke tumpukan hadiah disamping ranjangku.

“Kamu belum membukanya?” tanya Miwa

Aku menggeleng, “belum,” sebenarnya sudah kutebak isi dari hadiah tersebut, seperti ungkapan mengerikan dari kebencian seseorang, atau bisa saja benda aneh yang dilumuri oleh darah hewan. Pada awalnya itu menakutiku, tapi karena terlalu sering menerimanya membuatku jadi terbiasa. Alih-alih takut, aku hanya merasa kesal karena harus membuang barang-barang yang tidak henti-hentinya dikirim padaku.

“Skakmat!” Miwa baru saja mengalahkanku, setelah 10 kali kekalahan yang ia dapatkan, wanita itu tidak pernah menyerah. Meski usianya lebih tua dariku, pembawaan Miwa malah seperti anak muda yang energik. Aku selalu bertanya-tanya, seberapa kuat punggung rentanya bisa mengimbangi pergerakannya yang susah ditebak.

“Jangan salah paham, aku sengaja kalah, biar kamu enggak sedih,” ujarku.

“Apapun alasannya, kali ini aku menang, sekarang sesuai janji, coba katakan bahwa aku ini awet muda, hanya sedikit longgar bukan berarti sudah tua, paham,” Miwa masih dendam dengan perkataanku, saat pertama kali seruangan dengannya, aku tidak sengaja mengejeknya dengan sebutan nenek tua, ia terlalu berisik ketika menonton idol kesayangannya, aku yang sedang tertidur harus terjaga gara-gara itu.

Aku menghela nafas, “Baiklah, kamu tidak tua dan hanya sedikit muda, begitu?”

Miwa tidak terima dan terlihat marah, “Apa-apaan itu? lakukan dengan benar, aku ini seniormu dalam kehidupan ini,”

“Baiklah, kamu masih muda, dan sangat energik, aku yakin Acchan akan suka dengan gayamu,” jelasku sambil menyebutkan nama salah satu idol favoritnya dari AKB48. Miwa tersenyum puas, ia merasa lebih percaya diri sambil membusungkan dadanya. Ia tetap menjadi penggemar Acchan, meski idol tersebut sudah lama berpisah dari grup itu.

“Maaf menganggu kesenangannya, tapi kalian harus segera tidur, terutama kamu Lesi, besok operasi jam 10 pagi, mengerti,” Suster Maria dengan tegas mengingatkanku.

Aku dan Miwa kembali ke ranjang masing-masing, suasana menjadi hening. Jujur saja, aku merasa cemas, besok adalah operasiku dengan kemungkinan berhasilnya kecil. Namun, Dokter Bharat mengatakan padaku, bahwa obat yang paling kuat untuk segala penyakit adalah rasa percaya diri. Sebenarnya aku tidak terlalu peduli, berhasil atau tidak, karena yang kucemaskan dari operasi, hanyalah rasa sakit, dari proses kematianku karena pisau-pisau yang membedah tubuhku.

“Kamu gugup?” tanya Miwa menghadap padaku.

“Tidak, hanya saja aku kepikiran sesuatu, bagaimana jika besok aku tidak bangun lagi?”

Miwa sontak tertawa, sambil menampilkan gigi-gigi ompongnya,”kamu tidak takut melawanku, tapi takut dengan kematian,”

“Bukankah itu hal yang wajar?”

“Memang wajar sih, tapi jangan tunjukkan itu didepanku, seenggaknya buat ungkapan atau harapan keren untuk besok, biasanya anak-anak seumuranmu sering melakukannya,” protes Miwa.

Selama sejenak aku terdiam, mencoba mengingat kapan terakhir kali aku membuat permohonan, kemudian pikiranku tertuju pada masa SMA tahun pertama. Aku ingat betul bahwa saat itu, menjadi awal dari semuanya. Rasa sakit yang sama masih kurasakan, meski itu sudah terjadi beberapa tahun yang lalu.

“Aku tidak memilikinya, lagi pula aku tidak percaya dengan hal begitu,” ujarku di sela tawaku yang terasa getir dan menyayat hati.

Miwa menatapku lama, seakan memastikan sesuatu dalam diriku. Sorot mata yang biasa memancarkan keceriaan. Kini hanya menguarkan aura yang terasa menenangkan. Wanita itu mengamatiku dengan rasa iba.

“Entah apa yang kamu alami selama ini, tapi mata cantik yang kamu miliki, sayang jika digunakan hanya untuk melihat hal yang menyakitkan, kenapa tidak coba membuat permohonan, mungkin kali ini Tuhan akan mendengarmu, ini bukan nasihat, tapi perintah dari orang yang lebih tua, paham,” Miwa memperjelas ucapannya, seakan jika aku tidak menurutinya, akan dihukum olehnya.

Aku mengangguk, “akan kucoba, tapi aku tidak terang-terangan sepertimu,” tiba-tiba aku menguap,”aku mengantuk, besok saja kita bicara jika sempat, selamat malam Miwa,” kutarik selimut hingga menutupi setengah tubuhku. Aku meringkuk membelakangi Miwa.

Keesokan harinya, aku berbaring di ruang operasi dengan pakaian berwarna hijau. Aku bisa melihat dokter dan perawat yang melakukan persiapan. Obat bius itu mengalir ke tubuhku, kedua mataku terasa berat. Karena merasa ini momen yang tidak datang dua kali, bisa saja aku tidak pernah bangun atau mendadak koma, aku pun berdoa.

“Tuhan untuk kali ini, biarkan aku jalani hidupku dengan benar,” batinku.

 Kemudian samar-samar aku mendengar suara rusuh, diantara dokter dan perawat, muncul seseorang dengan jaket hoodie hitam, satu hal menarik perhatianku adalah gelang berbentuk bulan sabit dengan insial nama seseorang, aku seperti pernah melihatnya tapi tidak tahu dimana. Ia menerobos pintu masuk operasi. Aku tidak bisa melihat dengan jelas, karena begitu pria itu mendekatiku, semua pandanganku menjadi hitam.

 

...


5 tahun yang lalu, 28 Oktober 2016

 

“Sudah kubilang, aku cukup sibuk untuk mengurus anak, kenapa tidak kamu saja yang ambil hak asuh itu!” teriak pria itu. Kemudian disambut dengan tatapan geram wanita memakai setelan blazer abu, yang dipadukan dengan syal motif bunga.

Aku masih tidak bisa mencerna apa yang sedang terjadi, bukankah tadi aku berada di ruang operasi? Mengapa sekarang malah ada di rumah? Kulihat Ibu dan Ayah bertengkar membicarakan perceraian, aku merasa pernah melihat ini. Ah bukankah kejadian ini seharusnya terjadi 5 tahun lalu. Ini pasti mimpi karena efek bius.

“Bisakah kalian tidak bertengkar di depan anak-anak?” Kakek mencoba melerai, “kita dengarkan pendapat Lesi dan Arai, biar mereka berdua yang putuskan mau ikut siapa,”

Kulihat Arai hanya menunduk sambil memegangi jemarinya, anak itu jelas saja menghindari pembicaraan orang dewasa. Kepalaku terasa sakit, ini terlalu lama jika disebut mimpi. Rasa gugup menyeruak dalam diriku, membuatku ingin muntah, lalu aku buru-buru ke kamar mandi. Semua orang terkejut.

Di kamar mandi, aku menarik nafas pelan. Kulihat diriku dicermin, penampilanku sangat berbeda, lebih muda dan sehat. Bahkan aku masih punya rambut, padahal sebelumnya aku memangkas habis rambutku karena kerontokan akibat efek kemoterapi.

“Ini pasti mimpi,” ujarku disela tawa. Aku tidak menyangka bahwa aku akan melihat kilas balik seperti ini sebelum kematianku. Aku pun terpaku dengan bekas luka dipergelangan tanganku. Luka yang kudapatkan ketika aku gagal mengakhiri hidup di rumah sakit. Bagaimana mungkin luka itu muncul lebih dulu sebelum perceraian orang tuaku?

“Kak, apa masih lama? Kakek menyuruhmu segera ruang tamu,” panggil Arai. Aku membuka pintu lalu menghampiri Arai, memegang lengannya.

“Tahun berapa sekarang?!”

“2016, memangnya ada apa?” Arai terlihat bingung. Mendengar hal tersebut, aku melepaskan tanganku dari Arai, kupegang kepalaku. “Perjalanan waktu? Yang benar saja!” batinku.

Aku ke ruang tamu dalam keadaan linglung, Ibu dan Ayah beranjak berdiri. Semua orang menunggu keputusanku. Di kehidupan sebelumnya, aku memilih tinggal dengan Ibu, karena Ayahku yang pemabuk dan punya catatan kriminal. Tapi, itu tidak berjalan lancar, hidup dengan wanita yang tidak pantas disebut Ibu itu, terasa seperti neraka. Tidak sekali pun wanita itu melihatku, bahkan menganggapku anak saja enggan.

Entah apa yang kupikirkan ini benar atau salah, tapi aku harus menghindari kemungkinan terburuk, bukankah ini adalah kesempatan untuk mengubah hidupku agar lebih baik, kulihat Tanteku Akarin, yang sedang meminum kopi dengan santai, saat itu terlintas sebuah ide dipikiranku.

“Aku dan Arai ingin tinggal bersama Tante,” ucapanku sontak membuat Akarin menyemburkan kopi saking terkejutnya.

“Eh? Tunggu dulu, kenapa harus aku, kamu pasti bercanda,” Akarin menuntut jawabanku, berharap bahwa yang kuucapkan tidak benar.

“Aku serius, aku dan Arai ingin tinggal dengan Tante, Kek,” ujarku dengan muka memelas.

Kakek tampak bingung, kemudian mendekatiku mengelus lembut kepalaku,”apa Kakek boleh tahu alasannya?”

“Aku tidak bisa tinggal dengan Ayah, karena ia pasti akan sibuk dengan pekerjaan juga perempuan lain, sementara Ibu tidak mampu mengurus kami berdua, bahkan ia tidak tahu apa yang aku dan adikku butuhkan, aku sering ditinggal berdua dengan Arai, kami kesepian, jadi aku ingin tinggal dengan Tante, karena kupikir Tante akan sering dirumah, ditambah kantornya juga yang tidak terlalu jauh dari sekolah, tapi alasan utamanya, aku dan Arai menyukainya,” Aku memberikan penjelasan sedikit menohok, Ayah dan Ibu tersulut emosi sampai wajah keduanya memerah. Karena di depan Kakek, mereka tidak berani bicara banyak.

“Bagaimana kalau Kakek yang urus kalian berdua?” usul Kakek seperti yang aku duga.

“Tidak, aku ingin dengan Tante,” ucapku dengan tegas.

Kakek terus membujukku untuk tinggal bersamanya, namun karena aku tetap pada pendirianku, Kakek pun akhirnya mengalah dan memutuskan memberikan hak asuh pada Akarin. Wanita itu tidak banyak protes, meski awalnya terlihat keberatan.

Lihat selengkapnya