Hata-Hata Ni Dodo

Linggarjati Bratawati
Chapter #2

Chapter 2

“Cepat habiskan sarapannya, nanti kau akan terlambat,” Akarin mengambil suapan besar dari telur omelet yang baru saja kubuat. Padahal hanya tinggal makan saja, wanita itu bersikap seakan ia yang memasaknya. Namun jujur saja, aku tidak bisa lepas dari pikiran tentang pertemuanku dengan Obi dan Aru. Setelah mereka menawariku untuk bergabung, aku pergi begitu saja tanpa mengatakan apapun.

Sebenarnya klub ini baru dibuat, setelah ditangguhkan karena kekurangan anggota, jadi kami berniat untuk menghidupkan kembali, oleh karena itu, aku butuh keberadaanmu disini, Lesi,” Mata berbinar Aru terlihat jelas, sambil mengenggam tanganku.

Aku terus menerus menghela nafas panjang, tapi ini bukan kesalahanku. Wajar jika aku tidak bisa mengingat wajahnya, itu bahkan sudah terjadi beberapa tahun yang lalu. Daripada, memikirkan masa lalu yang menyakitkan, bukankah lebih baik melangkah kedepan tanpa memikirkan apa-apa. Aku mempelajari ini dari Miwa, tapi entah kenapa justru malah menjadi boomerang untuk momen seperti ini.

“Katanya saat masa orientasi, sambutanmu banyak dipuji,” komentar lolos dari mulut Akarin, wanita itu selain tidak bisa diandalkan, ia mahir memanfaatkan timing menyebalkan, ia bahkan terlihat seperti menahan tawa. Mendengar hal itu, aku menusuk telur omelet sambil memberikan tatapan tajam padanya.

“I-tu luar biasa, kamu sebagai perwakilan siswa bisa bicara di depan orang banyak, Ayah yang bilang,” Akarin gelagapan, lalu ia meminum segelas air. Sementara Arai, hanya kebingungan menyaksikan perselisihan kecilku dengan Akarin.

Kemudian, aku mengayuh sepedaku. Aku berangkat lebih pagi, udara sejuk terasa segar menelusuri hidung. Suasana sekolah masih sepi begitu aku sampai disana. Ada Pak Burhan, petugas kebersihan yang menyapaku, dan kubalas dengan anggukan.

“Lesi,” panggil Aru sambil melambaikan tangan, dengan diikuti Obi dari belakang. Aku lalu berlari membuat mereka bingung. Sebisa mungkin, aku harus menghindari sumber masalah.

Awalnya kupikir, Aru dan Obi akan menyerah. Namun, mereka berdua terus mengikutiku kemana pun aku pergi. Saat di toilet, Aru dengan keberadaan misteriusnya tiba-tiba muncul disampingku.

“Tidakkah kau pertimbangkan lagi?” tanya Obi, “Aku jamin kau akan betah setelah bergabung,” Aku hanya tersenyum kikuk, lalu menghindarinya.

Kemudian ketika aku menikmati bekal makan siangku di belakang gedung sekolah, Aru menghampiriku dengan kotak makan siang yang dibungkus oleh kain bermotif bunga Sakura.

“Bukankah lebih enak jika makan siang bersama, di ruang klub?” Wajah Aru berseri-seri dengan menampilkan gigi gingsulnya.

Aku tersenyum canggung, “Mungkin lain kali saja,”

Jam pulang sekolah telah tiba, aku lega karena bisa melewati hari tanpa terlibat dengan hal merepotkan. Meski, harus diteror oleh Aru dan Obi yang mengikutiku seperti anak bebek. Aku tidak tahu, bahwa mereka bisa segigih ini. Memang apa hebatnya mempertahankan klub yang sepi peminat seperti itu? itu membuang-buang waktu, seorang pelajar seharusnya lebih memikirkan masa depan, jika mereka punya bakat untuk menulis, lakukan saja di luar sekolah. Ah aku sama sekali tidak mengerti.

Lalu sebuah surat kutemukan dilokerku, tidak ada nama pengirim. Tiba-tiba aku tersipu malu, apakah seseorang akan menembakku di gedung sekolah? memikirkannya membuatku berdebar, karena selama SMA aku tidak pernah menjalin asmara dengan siapapun. Ketika kubuka, itu seperti dugaanku.

-Ada sesuatu yang ingin kukatakan, bolehkah kita bertemu di belakang gedung sekolah?-

Langkahku terasa ringan, aku seperti kedua kakiku menari. Ini yang kunantikan, ketenangan masa sekolah. Meski jiwaku berusia 30 tahun, tetap saja secara penampilan aku ini masih remaja. Pengalaman hidupku yang banyak, seharusnya membuatku bisa dengan mudah mendapatkan pasangan kan? Namun, kadang sesuatu bisa terjadi tidak sesuai yang diinginkan. Alih-alih keberuntungan, sepertinya masalah lebih menyukaiku. Obi melambaikan tangan padaku sementara. Aku mencoba melarikan diri, tapi dibelakang ada Aru yang menghadangku sambil tersenyum.

“Maafkan aku, hanya cara ini yang bisa kupikirkan, agar kami berdua bisa bicara denganmu,” Aru terlihat menyesal.

“Sebelumnya kamu menyukai apa yang kutulis dan setuju bergabung, tapi kenapa tiba-tiba berubah pikiran? Apa kami boleh tahu alasannya?” Obi menjejali dengan banyak pertanyaan. Ingin sekali kujawab bahwa mereka adalah pemicu kesialanku. Tapi aku tidak bisa melakukannya.

“Ada apa Lesi? Apa karena aku banyak bicara?” tanya Aru.

Di titik ini aku tidak tahu apa yang harus kujawab. Aku memutar isi kepalaku, mencari tahu apa yang bisa membuat seseorang menjadi begitu membenci sesuatu. Tiba-tiba aku teringat ucapan Miwa saat mengundangku di komunitas lansia, ada seseorang yang nenek tua itu hindari, yaitu seorang Kakek genit yang suka menggodanya. Miwa membencinya, karena pria itu mendekatinya dengan agresif, lalu ada satu hal yang Miwa katakan, ucapan paling keji sampai membuat pria paruh baya itu tidak lagi menyapanya.

“Aku hanya berpikir bahwa berhubungan dengan kalian tidak memberiku keuntungan apapun, aku butuh seseorang dengan latar belakang dan status yang kuat, kuakui kalian berdua adalah siswa yang berprestasi, sampai berhasil menembus sekolah ini dengan mudahnya, dan mendapatkan beasiswa penuh dengan itu, tapi tetap saja itu tidak berarti apa-apa jika kamu tidak punya status yang tinggi kan? status kalian tidak mutlak tahu, mudah dihancurkan dan diremehkan,” jelasku menatap Aru dan Obi, sambil menyeringai.

“Mungkin nanti kalian berdua akan memanfaatkanku untuk dijadikan batu loncatan, demi popularitas kan? tipikal seseorang yang mementingkan dirinya sendiri, aku mengerti rasanya memuakkan hidup tanpa memiliki apa-apa, Jika ada satu alasan kenapa aku menolakmu, maka itulah alasannya, aku membenci kalian sampai rasanya ingin membuatku muntah,” jelasku. Sepertinya perkataan ini berlebihan, Aru dan Obi terdiam setelah mendengarnya.

“Eh? Kamu pasti bercanda kan?” Aru seolah memastikan ucapanku tidak serius. Obi menghampiriku, lalu menamparku. Baru ini kulihat kemarahan dari wajah Obi, biasanya pria itu selalu terlihat malu-malu dan tidak banyak bicara. Namun sorot matanya yang tegas, terasa menusuk hatiku.

“Apa menurutmu hanya orang dengan status tinggi yang berhak menjalani hidup normal? Bagaimana bisa kamu menilai seseorang dalam sekali lihat? Bahkan monyet saja tidak sebodoh itu, Jika memang tidak mau bergabung, kamu bisa mengatakan dengan jelas, tapi sepertinya menyenangkan bagimu menginjak-injak harga diri orang lain seperti itu, kamu bahkan terlihat menikmatinya,” ketus Obi, kemudian mengajak Aru pergi. Aku memegang pipiku, tamparan itu jelas sakit. Namun, ada sesuatu yang lebih menyakitkan yaitu rasa bersalah setelah ucapanku dilontarkan begitu saja. Ini bukan saatnya untuk merasa kasihan, karena di masa depan, akan ada begitu banyak orang yang mengkhianatiku. Jadi, ini belum seberapa untukku.

 

 

Aku pulang dengan lesu, Akarin yang sedang mengerjakan komiknya, kemudian menoleh begitu mendengar suara pintu terbuka.

“Oh kamu rupanya, selamat datang, segera ganti baju dan makan, aku sudah pesen ayam goreng utuh, ada diskon besar-besaran,” ujar Akarin antusias. Menyadari aku hanya diam, ia menghampiriku lalu memegang dahiku.

Aku menepis tangannya, “Aku tidak demam,”

Akarin mengangguk,” hanya memastikan,” lalu ia kembali duduk, mengambil sepotong paha ayam dan memakannya. Setelah itu meneguk sekaleng soda dingin.

“Aku sama sekali tidak mengerti,” keluhku karena masih teringat dengan kejadian di belakang gedung sekolah.

“Soal apa?” Akarin mengambil tisu, dan mengelap bibirnya.

“Dengan orang yang mau repot-repot menghidupkan klub, meski itu membuang waktu,” Aku merebahkan diriku di sofa, “Tugas anak muda adalah belajar kan? Kalo mereka memang punya bakat, gunakan saja di luar sekolah,”

“Bicaramu seperti wanita 30 tahun, padahal kamu sendiri termasuk masih muda,” komentar Akarin, yang kemudian disambut oleh tatapan tajamku.

“Maksudku, karena mereka menyukainya, kadang pengorbanan terjadi karena adanya keinginan untuk melindungi yang dianggap berharga kan? Seperti temanmu, ingin mempertahankan klub, karena ingin agar apa yang mereka sukai tetap ada, dan bahkan bisa dibagikan dengan orang-orang, hampir mirip seperti kebahagiaan,” ujar Akarin. Aku terdiam setelah mendengarnya, ucapan bijaksana yang kelewat sempurna itu bisa juga muncul dari mulut wanita 29 tahun, berpenampilan urakan itu.

Seolah menyadari apa yang kupikirkan, Akarin menatapku curiga, “aku tahu bahwa penampilanku seperti ini, tapi aku juga punya masa muda, lebih tepatnya aku pernah mengalami itu, jadi aku paham perasaan temanmu,”

“Mereka bukan temanku,” ujarku dengan cepat.

Akarin terkekeh,”Aku pun pernah ingin menghidupkan klub, tapi saat itu karena tahun terakhirku, aku hanya bisa membangkitkan klub seorang diri,” Mata Akarin seakan menerawang sesuatu.

Keesokan harinya, sekolah dihebohkan dengan foto-foto yang terpampang di mading. Aku menyerobot kerumunan untuk melihat apa yang terjadi, foto tersebut memperlihatkan saat Obi menamparku. Seseorang memotretku, bukan hanya aku yang terkejut tapi juga Obi dan Aru. Mereka berdua, mengira ini adalah ulahku. Aku bisa melihat dengan jelas hal itu dari cara mereka menatapku.

Lihat selengkapnya