Hata-Hata Ni Dodo

Linggarjati Bratawati
Chapter #3

Chapter 3

“Apa yang terjadi?” tanyaku pada Sita yang saat ini berwajah masam. Gadis itu dengan kasar menyalin materi dari buku catatanku.

“Aku tidak mengerti, semenjak Damar datang ke klub itu, perhatiannya menjadi terpaku hanya untuk mengurus klub literatur, itu aneh kan? Lagipula sejak awal klub itu sudah mati,” Sita berdecak.

Atu yang sedang membaca buku dengan tenang, menutupnya dengan keras, membuatku juga Sita menoleh ke arahnya, “Beberapa orang menjadi tidak tahu diri, ketika diberi sedikit kebebasan, karena orang seperti merekalah, lingkungan menjadi tidak beraturan, itu sudah seperti kejahatan, bukankah begitu, Lesi?” tanya Atu, seakan meminta pembenaranku. Apa yang Atu katakan, tidak salah. Seringkali pembuat onar selalu membuat kegaduhan tanpa tahu tempat.

Sita menyilangkan tangannya, bersender di kursi, “Aru, gadis itu menarik perhatian Damar, cara dia melihatnya, membuatku kesal,”

“Siapa dia?” tanyaku penasaran.

“Dia anak penerima beasiswa, juga yang menjalankan klub itu,”

Atu tersenyum tipis, “Kenapa tidak kau beri pelajaran pada mereka?”

“Apa maksudmu?”

“Jangan berpura-pura polos, kau biasa melakukan ini, ditambah gadis itu sepertinya tidak punya latar belakang yang kuat, kurasa akan mudah menyingkirkannya dengan asumsi kecil,” Atu kemudian menambahkan gula batu, ke dalam teh yang sudah diseduh. Setelah itu, ia menoleh ke arahku.

“Kau bisa melakukannya kan Lesi? Ini bukan kejahatan, hanya saja pelajaran agar gadis seperti mereka tetap mengikuti aturan, juga Lesi yang kukenal tidak akan membiarkan sahabatnya bersedih seperti ini," ujar Atu disela tertawanya, bersamaan dengan itu Sita menatapku dengan penuh harap.

Beep…

Beep…

Kumatikan alarmku dengan setengah mengantuk, sambil mengerjapkan mataku beberapa kali. Ketika melewati ruang tamu, aku dikejutkan dengan Akarin yang masih terjaga sambil mengetik di komputernya. Begitu ia menoleh, wajahnya terlihat mengerikan seperti kantung mata yang semakin hitam serta wajah pucat.

“Pagi,” sapa Akarin singkat, lalu kembali fokus ke komputernya.

Aku menyiapkan sarapan, hari ini aku membuat roti panggang dengan segelas susu hangat. Makan terlalu berat di pagi hari, malah membuat perutku sakit. Makanya, aku lebih memilih sarapan sederhana sebagai pembuka hari.

Dengan langkah gontai, Akarin ke meja makan dan menikmati sarapannya. Wanita itu benar-benar seperti mayat hidup.

“Kamu baik-baik saja?” tanya Arai yang kemudian disambut anggukan Akarin.

Aku menghela nafas, “Jangan memaksakan diri, di usia sepertimu ini, seharusnya lebih memperhatikan kesehatan,”

“Apa maksudnya dengan di usia seperti ini, aku masih muda, lagi pula ini sudah biasa, hanya kalian yang baru saja melihatnya,” Akarin mencoba membela diri dengan mulut yang penuh roti.

Kemudian aku teringat dengan mimpi semalam, aku telah mengubah peristiwa yang seharusnya terjadi di kehidupan sebelumnya, tapi tidak terjadi di kehidupan sekarang. Seperti Kakek yang tiba-tiba menjadi guru, dan tidak adanya keterlibatan Damar dalam klub, aku tidak pernah melihatnya berurusan dengan klub. Lelaki itu, hanya sibuk dengan OSIS dan menjadi icon dari sekolah. Aku merasa melewatkan sesuatu, tapi aku tidak bisa mengingat dengan jelas.

 

 

“Pagi Lesi,” sapa Aru sambil memelukku. ia bersikap seperti sebelumnya, seolah tidak ada yang terjadi. Sementara Obi masih bersikap dingin.

“Kamu selalu berangkat lebih awal, apa rumahmu disekitar sini?” tanya Aru.

Aku mengangguk, “Ya, hanya butuh 10 menit dengan naik sepeda,”

Menyadari Obi yang hanya diam saja, Aru terlihat cemberut, lalu menyikutnya, “Sudahlah lupakan saja, masalah itu sudah selesai, kenapa wajahmu masih menyeramkan seperti ini,”

Obi menghela nafas, “Biar saja,”

Aku tersenyum canggung, “ngomong-ngomong kenapa kalian berangkat lebih awal? Tidak biasanya,”

“Tidak ada yang istimewa, hanya kami pikir jika berangkat awal, kami bisa punya waktu lebih banyak,” ujar Obi tanpa menoleh padaku. Sepertinya laki-laki itu, mencoba bersikap ramah.

Pertemuan klub dimulai saat istirahat pertama, selama kelas tidak ada yang terjadi, saking terlalu sunyi justru aku merasa cemas. Tidak ada pergerakan dari geng Sita atau pun Atu. Semua bersikap seakan kejadian kemarin tidak terjadi. Aku masih menunggu pertemuan Damar dan Aru, karena penasaran aku menghampiri Aru yang sedang sibuk dengan selebaran.

“Bagaimana pendapat tentang Damar?” tanyaku.

“Damar? Oh ketua osis itu ya, aku tidak terlalu kenal dia, tapi di sekolah ini para perempuan banyak yang mengaguminya,” jawab Aru. Aku berusaha untuk memahami gerak-gerik Aru yang dapat kujadikan petunjuk, mungkin gadis itu hanya berpura-pura tidak tahu. Bisa saja ia sudah jatuh cinta dengan Damar tanpa sepengetahuanku.

“Apa kamu salah satu perempuan yang mengagumi Damar dalam arti khusus?” Mataku memicing ke arahnya, Aru terkejut lalu ia terkekeh.

“Aku mengaguminya,” jawab Aru tersenyum tipis, membuat jantungku seketika berhenti.

“Tapi tidak dalam arti khusus, apa kamu mengincar dia? Aku tidak menyangka kau punya cerita seperti itu,” Aru terlihat antusias, sorot matanya yang berseri-seri seakan berusaha menguliti isi pikiranku.

"Tentu tidak, aku tidak akan menyukai pria tukang selingkuh itu,” Aku keceplosan, tanpa sadar mengatakan sesuatu yang mengingatkan sosok Damar di kehidupan pertamaku. Meski kenyataannya seperti itu, pria itu tidak bisa menjaga perasaannya sampai berpaling ke wanita lain.

“Apa dia sungguh orang seperti itu?” Obi yang penasaran pun menghentikan ketikannya, dan beralih menatapku.

“Mungkin saja kan? Itu permasalahan yang dimiliki pria populer, kita tidak bisa melihat dari satu sisi saja, beberapa orang menyembunyikan sisi menakutkan,” jelasku. Obi mengangguk setuju.

“Aku mengerti,” ujar Obi.

“Kesampingkan soal itu, aku baru saja dapat ide bagaimana caranya agar klub ini banyak diminati,” potong Aru. Kemudian memperlihatkan sebuah selebaran yang menampilkan sketsa tiga anggota dengan pose berbeda, seperti poseku dibuat duduk, dengan memegang tongkat baseball, lalu ada Aru yang diperlihatkan membawa kamera, sementara Obi berpose membaca buku. Kuakui gambar itu sangat bagus, Aru punya bakat luar biasa. Namun, satu hal yang mengangguku, yaitu bayangan beruang yang sedang menerjang sambil menunjukkan cakarnya.

“Beruang itu, apa maksudnya?” tanyaku.

“Ah ini, anggap aja khodam yang kamu sembunyikan dari kami, kekuatanmu saat membanting pria itu, setara dengan beruang, ini bisa menjadi daya tarik,” jawab Aru. Obi mencoba menahan tawanya.

“Tidak bisa, tidak bisa!” Aku menolak dengan keras, “kita tidak bisa menarik anggota dengan selebaran seperti ini, ditambah beruang menyeramkan itu, bukannya menjadi daya tarik, orang-orang akan mengira aku ini berandalan,”

“Kenyataannya memang gitu kan? Kamu memang berandalan,” komentar Obi sembari merapikan buku ke rak. Aku sontak merasa kesal ketika mendengarnya, jika saja aku tidak ingat dengan penebusanku, aku dengan senang hati keluar dari klub ini.

“Kenapa tidak coba saja? kita tidak akan tahu apa ini gagal atau berhasil, sebelum mencobanya,” bujuk Aru.

Aku ingin menolaknya, tapi karena satu suara kalah dengan dua suara. Akhirnya, aku menyetujuinya. Selebaran itu disebarkan ke berbagai tempat di sekolah, tidak sesuai perkiraanku. Hal itu menarik perhatian banyak orang. Siswa-siswa berkerumun, melihat selebaran yang dilihat oleh Aru. Ini awal yang bagus untuk klub literatur.

Untuk menyukseskan rencana Aru, aku mengusulkan ide untuk bekerjasama dengan klub radio, sehingga jangkauannya lebih luas ke seluruh sekolah.

“Kita sekalian adakan pameran buku, sebagai puncak promosi, bagaimana?” usul Obi yang kemudian disambut oleh anggukan Aru.

“Idemu bagus juga, tidak kusangka,” Aku mengagumi kecerdikan Obi. Namun pujianku tidak disambut dengan baik, Obi melihatku dengan dingin.

“Apa itu pujian? Aku mungkin pendiam, tapi pikiranku masih jalan,” ketusnya. Aku hanya bisa menggigit bibir, kenapa laki-laki itu masih bersikap kasar padaku, sepertinya ia tipe orang pendendam yang tidak akan puas hanya dengan permintaan maaf. Mengerikan.

Aku mencoba untuk fokus untuk membangkitkan klub ini. Bersama dengan Obi dan Aru, aku menemui ketua klub radio, ternyata adalah Damar.

“Jadi, kalian ingin melakukan siaran untuk diskusi buku ya,” Damar membaca satu persatu halaman dari proposal yang diserahkan Obi dan Aru. Disaat mereka sibuk dengan rangkaian acaranya, aku sibuk dengan pikiranku. Mungkin saja Damar jatuh cinta dengan Aru baru terjadi sekarang, tidak sekali pun aku memalingkan wajahku dari Damar mau pun Aru.

“Ini menarik, aku akan menyiapkannya,” ujar Damar tersenyum tipis. Dengan begini, siaran tentang diskusi oleh klub literatur bisa dilakukan.

Proses kerjasama dengan klub radio berhasil dicapai, tapi tidak terjadi apa-apa antara Damar dan Aru. Jujur saja, aku merasa lega karena yang memicu masa depan suramku tidak ada, tapi tetap saja aku tidak boleh lengah. Sesuatu yang tidak terduga bisa muncul kapan saja.

Selama beberapa hari menyiapkan untuk promosi pembukaan klub literatur, setiap hari aku pulang larut karenanya. Aku tidak menyangka, bahwa mengurus kegiatan klub bisa sampai semelelahkan ini. Bahkan hari ini aku pulang lebih larut dari biasanya. Seluruh tubuhku terasa pegal, aku ingin cepat pulang dan langsung tidur. Kemudian, terlihat seorang pria yang berjalan dengan langkah gontai. Pria pemabuk, selalu membuat risih sekitar, aku tetap mengayuh sepedaku tanpa mempedulikan pria tersebut. Namun, tiba-tiba pria itu langsung berlari ke arahku, sehingga membuatku rem mendadak. Ia menatapku dengan mata merah dan sayunya, aroma alkohol menguar dari mulut pria itu.

“Akhirnya, aku menemukanmu,” ujar pria itu dengan mengelus pipiku.

 

 

“Selamat siang, siswa kece Hawa Sebua, kembali lagi bersama aku, Damar, di Hebatnya kita Saat Berbeda. Sebelum itu, apa kabar semua? Gimana sekolahnya? Capek atau stress karena tugas menumpuk? Tenang saja, kali ini aku akan menemani kalian di segmen seru dan dijamin pasti enggak bosenin,” Suara Damar yang terdengar energik, mampu menghipnotis Akademi ini, dan menaruh perhatian padanya. Pantas saja, jika banyak yang mengagumi pria itu.

“Hari ini, kita akan ngobrol santai seputar buku. Eits.. tunggu, jangan langsung bosan dulu ya, karena buku yang sudah kubaca ini bukan buku sembarang buku, dijamin kalian akan menyukainya dan ketagihan setelah membacanya, buku yang akan kubahas ini adalah Dogma,”

Siaran radio sejauh ini berjalan lancar, Damar mulai menceritakan tentang keunggulan karya Dogma, kemudian dilanjutkan dengan membahas garis besar Dogma.

“Yang kusuka dari buku ini, adalah bagian saat tokoh Sari mengatakan bahwa asumsi yang diterima begitu saja itu menakutkan, tidak mempertanyakan, tidak mencari tahu, seperti laron yang mengerubungi cahaya tanpa mengetahui sumbernya, itu jujur saja sangat menyentuh hati, jadi, bagaimana menurut kalian? tertarik ingin membaca? Atau justru penasaran gimana sih cara buat cerita sekompleks itu? Yuk langsung aja kunjungi klub literatur kita dan gabung untuk bisa belajar dengan ahlinnya, sampai jumpa di segmen minggu depan, bye bye!”

Musik instrumental kemudian diputar untuk mengakhiri siaran, tapi siaran tidak bisa berhenti, tiba-tiba sebuah rekaman terdengar. Semua orang yang ada di ruangan itu terlihat bingung, termasuk aku, Aru, dan Obi.

“Akhirnya, aku menemukanmu,” Aku terkejut ketika mendengar suara dari pria semalam yang menemuiku.

“Aku menghubungimu berkali-kali, tapi tidak kamu jawab, ada apa denganmu, Lesi, bukankah kita ini saling mencintai? Perbedaan usia bukan masalah, selama kita bersama,” suara lirih terdengar yang kemudian diikuti dengan isak tangis.

“Kamu memanfaatkanku! Aku selalu membantumu, mengusahakanmu, dan tidak membiarkanmu sendiri, tapi betapa bodohnya aku, karena tertipu olehmu,”

“Matikan itu, cepatlah!” teriak Obi. Aru lalu mencabuti kabel yang tersambung ke rekaman. Tiba-tiba gerombolan siswa datang ke ruang siaran, termasuk Sita dan Atu.

“Tidak kusangka, bahwa orang kubela ternyata sejenis dengan kalian berdua,” ujar Sita menghampiriku, “Rasanya mengerikan, melihat orang sepertimu dibiarkan untuk hidup normal,”

“Lesi bukan orang seperti itu!” bela Aru yang secara langsung berhadapan dengan Sita.

Sita terkekeh, “Kamu baru mengenalnya beberapa hari, tapi dengan mudah mempercayai seseorang, bodoh itu batasnya, tahu,”

“Sita hentikan itu,” tekan Damar menatap Sita.

“Jika kamu ingin lihat, seberapa mengerikannya gadis itu, kenapa tidak lihat sendiri ponsel kalian,” usul Atu. Kemudian Obi dan Aru melihat ponselnya, videoku dengan pria semalam sudah tersebar, bahkan dibagikan oleh 200 orang lebih.

“Oh iya, ada unggahan tentang kalian berdua juga, aku benar-benar terkejut, siapa sangka, ternyata kalian berdua memang suka sekali merundung orang lain,” ujar Sita terlihat puas. Kemudian, aku melihat ponselku dan sebuah rekaman video memperlihatkan seorang siswi SMP dengan kepala diperban, lalu ada nenek dari Aru yang terus bersujud memohon pengampunan.

“Maafkan cucuku,”

“Ini salahmu, karena tidak bisa mendidik cucumu dengan benar, mereka kasar hingga membuat putraku jadi seperti ini,” teriak Ibu dengan emosi meluap-luap.

“Aku salah berpikir bahwa kamu ada orang yang harus diselamatkan, tapi ternyata kamu sama brengseknya dengan mereka berdua, “Atu menatap dingin padaku.

“Kami tidak merundung siapa pun, dan Lesi. Aku yakin ia bukan orang seperti itu,” bela Aru.

“Ah begitu ya,” Atu tersenyum, “Pertemanan yang mengharukan, mungkin karena inilah kalian berteman, kalian jenis orang yang sama, perusak suasana, sampah masyarakat,”

Aku benci ini, sepertinya Sita dan Atu tidak hanya mengincarku, melainkan Aru dan Obi pun jadi sasaran mereka. Seakan tidak puas, Sita memperlihatkan video ketika aku membanting perundung itu. Video tersebut hanya menampilkan bagian perkelahian saja, sehingga dilihat darimana pun orang-orang akan mengira bahwa aku lah yang merundungnya.

Orang-orang mulai meneriaki aku, Aru, dan Obi. Bahkan mereka semua melempar kertas ke kami bertiga. Entah sejak kapan, ponsel di tangan mereka sudah merekam. Jika diriku yang dulu, ketika menghadapi ini mungkin akan terpuruk dan memutuskan untuk meminta maaf, meski itu bukan salahku. Namun kali ini berbeda, hatiku sudah mati sejak awal, aku sudah melewati berbagai neraka karena terlalu peduli dengan orang lain. Kemarahan memenuhi dadaku, aku sudah tidak peduli lagi dengan bajingan-bajingan didepanku.

“Aku minta maaf itu memang salahku,” ucapanku seketika membuat mereka terdiam, sepertinya mereka memang menantikan momen ini.

Aku terkekeh, sampai ruangan ini hanya memantulkan suaraku, ”Apa itu yang kalian ingin dengar dariku? kalian ini usia berapa? 10 tahun atau 16 tahun? mudah sekali digiring oleh satu asumsi, kalian tidak ada bedanya dengan ternak,” ucapanku menyulut emosi banyak orang.

Lihat selengkapnya