Hata-Hata Ni Dodo

Linggarjati Bratawati
Chapter #4

Chapter 4



“Bersulang!” teriak Aru yang kemudian disambut olehku, Obi, dan Jihan. Karena masih di bawah umur, jadi aku hanya meminum segelas bir pletok. Buih-buih muncul dipermukaan, aroma jahe menguar dan ketika kuminum terasa menghangatkan, meski bir tersebut disajikan ketika dingin.

Setelah peristiwa melelahkan itu, aku diajak makan malam bersama di sebuah kedai makan yang tidak jauh dari perkotaan. Kedai tersebut dikelola oleh Nenek Aru dan Obi. Dulu aku hanya mendengarnya dari Sita, bahwa Aru dan Obi memang hanya tinggal dengan Neneknya. Namun perihal detail kedai makan, aku tidak pernah tahu. Kedai sederhana, dengan tenda merah yang berdiri di sudut Gang. Lampu sedikit redup berwarna kuning, menambah suasana menenangkan dari malam yang semakin dingin. Kulihat wanita paruh baya, terlihat energik memasak nasi goreng, embun yang menguap hingga menutupi kacamatanya. Melihatnya, membuatku jadi teringat dengan Miwa.

“Ahh, segarnya,” Aku tidak tahu, bahwa minuman ini bisa senikmat ini.

“Aku ingin bir sungguhan, dari drama yang kutonton, kalo seseorang meminum ini, terlihat keren,” Aru yang sedang berkhayal, kemudian pipinya dicubit Obi.

“Kamu masih dibawah umur, sekali pun umurmu sudah cukup untuk minum, aku tidak akan membiarkannya,” ketus Obi, “Aku benci dengan orang pemabuk, mereka bahkan selalu menunjukkan wajah aneh setelah meminumnya,” 

Ucapan Obi membuatku teringat dengan Ayah dan Ibuku, saat tinggal bersama mereka selalu pulang dalam keadaan mabuk. Aroma alkohol yang kuat, bisa tercium dari mulutnya, minuman alkohol tidak hanya membuat seseoranng menjadi mabuk, tapi juga membuat mereka jujur tentang pikirannya seperti meracaukan sesuatu yang aku saja enggan mendengar itu. Namun, aku pernah sekali mencoba untuk minum agar melepas stress, setelah minum tenggorokanku terasa panas, kepalaku seperti mau pecah, membayangkan diriku diposisi menyedihkan tersebut, membuatku malu sendiri.

“Sekali kamu meminumnya, rasanya seperti ada sensasi aneh,” gumamku, yang tanpa sengaja didengar oleh sekitar.

“Kamu pernah minum? Kapan? Dimana?” tanya Aru sambil mendekatkan wajahnya padaku.

“Ah itu, aku hanya pernah melihatnya, aku tidak pernah mencobanya, itu hanya ucapan kerabatku, yang minum jika sedang pusing dengan pekerjaan,” jawabku, tiba-tiba terlintas dengan saat Akarin mabuk beberapa hari lalu, karena salah mengirimkan naskah ke penerbit.

“Sepertinya itu sedikit merepotkan ya,” komentar Obi.

“Ya, wanita itu kalau mabuk, memang sedikit merepotkan, ia akan berteriak lalu berpose seperti penyanyi di televisi,” pembicaraan ini entah sejak kapan mulai mengalir pada pembahasan Akarin.

Seseorang memeluk dari belakang, alkohol menyengat dipenciumanku, bersamaan dengan aroma parfum buah mix. Aroma yang kukenal dan begitu berbalik, Akarin tertawa dengan mata yang sayu, berapa banyak wanita itu minum sampai seteler itu?

“Akarin hentikan, kamu akan menganggu pelanggan lain,” Arai berusaha menarik Akarin, lalu ketika mata kami bertemu, kami sama-sama terkejut.

“Kakak?”

Akarin yang linglung, lalu memicingkan matanya menatap padaku, “Ah kamu ternyata, Lesi, kenapa tidak langsung pulang? Ini jam berapa? Lebih baik kamu pulang sebelum Kakekmu itu membunuhku, paham,”

“Muse?!, penulis dari In Ternebris, kau kah itu?” Aru berteriak membuatku sontak menoleh ke arahnya. Keduanya matanya terlihat antusias, tapi kupikir itu hanya Aru, ternyata Obi pun sama terlihat terkejut sekaligus senang, seperti seorang penggemar yang baru bertemu idolanya. Mungkin lebih tepatnya seperti itu.

“Aku mau lagi, tambah minumnya!” racau Akarin sambil tertawa.

 

Arai menghela nafas, “Tidak terima kasih, biarkan saja seperti ini,” ia menyuruh Nenek Aru untuk tidak menuruti Akarin.

“Apa dia kerabat yang kau maksud?” tebak Obi yang seakan menuntut jawabanku. Aku tidak ingin memberitahunya, memperkenalkan wanita itu sebagai Bibiku hanya akan mempercepat pada masa depan suramku. Aku ingin menikmati masa SMA ku lebih lama, tanpa diketahui atau dikenal siapapun.

“Aku bekerja untuknya, dia majikanku,” jawabku tanpa pikir panjang.

“Eh?”

Aku membenarkan posisi dudukku, menarik nafasku perlahan, “Aku sangat butuh uang, untuk itulah, aku dan adikku bekerja untuknya,” untungnya Arai hanya diam dan tidak berusaha membeberkan kebenarannya, setelah kuberi kode. Adikku memang pintar, ia bisa dengan cepat tanggap, ditambah Akarin yang masih teler, sehingga dengan ini aku berhasil membuat alibi yang bisa dipercaya oleh Aru dan Obi.

Obi mengangguk mengerti, tiba-tiba ia terpikirkan sesuatu, seperti itulah yang kulihat dari wajahnya, kuharap dia tidak memikirkan sesuatu yang akan merepotkanku.

Lihat selengkapnya