POV Arai
Aku selalu berpikir, apa yang temanku lihat di rumah mereka? Mungkin pertengkaran kecil karena berebut sepotong ayam atau kalah dalam permainan. Pasti orang tua mereka akan asing dengan namanya lempar tanggung jawab. Aku selalu berusaha keras melebihi siapapun, termasuk Kakakku, jujur saja ini membosankan karena tidak ada satu pun orang yang menyelamatkanku, meski itu sebentar saja.
“Bisakah kalian tidak bertengkar di depan anak-anak?” Kakek mencoba melerai, “kita dengarkan pendapat Lesi dan Arai, biar mereka berdua yang putuskan mau ikut siapa,”
Aku sebenarnya tidak peduli mau ikut siapa, bagiku tidak ada yang pantas mendapat panggilan Ibu dan Ayah untuk sepasang kekasih itu. Lesi mungkin khawatir karena keluarga damai ini akan segera berakhir, lebih tepatnya berhenti pura-pura harmonis. Kulihat ia terlihat cemas sambil memegang jemarinya. Apa semenakutkan itu kehilangan keluarga brengsek? Aku tidak habis pikir dengan gadis naif itu.
Lesi yang tidak tahan dengan pertengkaran, lari ke kamar mandi. Sangat mencerminkan dirinya. Untuk itulah, ia tidak bisa diandalkan dan terlalu banyak berpikir.
“Panggilkan Kakakmu kesini,” perintah Kakek. Aku berjalan dengan langkah gontai, aku malas berurusan dengannya. Mungkin dia akan mengatakan sesuatu yang enggak perlu seperti, “Ini demi keluarga kita, kita hentikan pertengkaran mereka,”
“Kak, apa masih lama? Kakek menyuruhmu segera ruang tamu,” panggilku. Lesi membuka pintu dengan wajah pucat, menghampiriku sambil memegang kedua lenganku.
“Tahun berapa sekarang?!” tanyanya. Sepertinya kepalanya terbentur sesuatu, hingga ia tidak berpikir jernih, pertengkaran semacam itu, sedikit berlebihan jika membuat seseorang jadi lupa waktu. Aku sama sekali tidak mengerti.
“2016,” jawabku. Ia semakin panik.
Kupikir keanehan itu hanya karena gugup dan berlangsung sebentar. Namun, tanpa diduga Lesi memutuskan sesuatu yang tidak sesuai perkiraanku. Ia memutuskan untuk tinggal dengan Akarin. Aku sebenarnya tidak keberatan, tapi mengapa harus Akarin? Bahkan wanita itu mengurus dirinya sendiri saja tidak bisa.
Sepertinya aku harus berhenti terkejut, aku tidak tahu apa yang sebenarnya Lesi alami. Ia berubah menjadi seseorang yang tidak kukenal. Ia bahkan memotong rambutnya yang panjang hingga sebahu. Padahal sebelumnya, gadis itu begitu membanggakan rambutnya dengan ungkapan melankolis seperti makna kehidupan dan semacamnya.
Lesi mengikuti banyak kegiatan, ia belajar bela diri, bahkan hacker yang sebelumnya saja ia kurang update soal apapun, hanya gadis udik yang beruntung terlahir dari keluarga berada. Namun dari semua perubahan itu, ada satu yang terasa kentara bagiku. Lesi menjadi terlalu jujur dengan apa yang ia pikirkan, ia tidak peduli dengan apa yang ia ucapkan menyinggung atau tidak. Seperti komentar yang ia lontarkan begitu saja pada Akarin, dan saat Kakek menceritakan bahwa Lesi membanting seseorang di sekolah, berbeda dengan versi dia dulu, yang mudah dimanfaatkan, sampai aku muak melihatnya.
Gadis itu tidak berubah demi siapapun, ia seperti terlahir kembali, jadi mungkin saja ditubuhnya bukan Lesi melainkan orang lain.
“Apa yang ingin kamu bicarakan denganku? Tidak biasanya kamu begini,” ujar Lesi sembari memeluk diri sendiri untuk mengatasi rasa dingin.
Aku menoleh padanya dengan dalam, penasaran dengan sesuatu, yang tersembunyi dibalik raut wajah itu, “Siapa kamu sebenarnya?”
Lesi yang kebingungan berkata, “Eh?”
“Bukankah aneh jika kamu berhenti tidak peduli dengan orang lain dan berbicara seenaknya? Apa kamu sungguh Kakakku yang kukenal?” Aku bertanya penuh penekanan.
“Tentu saja kan? Ada apa denganmu?”
Aku terkekeh, entah kenapa perasaan menjijikkan itu muncul dalam hatiku,”Kakakku itu seorang penakut, ia selalu peduli, bahkan terlalu peduli sampai ia tidak bisa membedakan antara naif dan baik, bukan sepertimu,” jelasku. “Apa ini rencana barumu agar menyatukan keluarga kita, sehingga berkumpul seperti dulu? Semacam rencana pemberontakan bukan?”
Lesi terlihat marah, sepertinya perkataanku melukainya, tapi ia berusaha untuk menahan diri, “Aku tidak paham dengan yang kamu katakan, jika kamu punya masalah denganku, kita selesaikan di rumah,” Aku benci sikap sok tegarnya itu, gadis itu selalu menyembunyikannya seorang diri, menyebalkan.
“Katakan tujuanmu! Jangan berdalih dengan kepedulian sialanmu itu,’ teriakku. Lesi tidak menoleh, ia membelakangiku.
“Aku sangat mem—” dering ponsel punyaku terdengar. Pesan suara dari seseorang yang kubenci.
-Apa kau bisa datang ke sekolah sekarang? Ada yang ingin kubicarakan- Kemudian aku pergi meninggalkan Lesi.
….
Aku tidak mengerti bagian menyenangkan dari sekolah, bertemu orang-orang dan membuat kenangan indah? Itu hanya keinginan yang naif. Mungkin karena tidak pernah mengalaminya, aku tidak bisa memahami sisi bahagianya.
Nova, temanku dari sekolah sebelumnya masih menerorku, aku ragu apa dia pantas mendapatkan sebutan semacam itu, setelah apa yang ia lakukan padaku. Meski sekolah kami berbeda. Ia selalu mencari celah untuk bisa menyiksaku dengan caranya. Hari ini aku menemuinya di taman terdekat.
Begitu sampai disana, ia menoleh padaku dengan raut angkuh. Aku benci wajah itu.
“Kamu terlambat 10 menit, kamu tahu aku benci menunggu,” ketusnya sambil menyilangkan tangan.
“Urusan kita sudah selesai, kenapa kamu terus mengangguku?” tanyaku.
“Hanya karena beda sekolah, kamu cukup angkuh juga ya, kamu melupakanku, melarikan diri seperti pengecut, bahkan mengingkari janjimu,” cibir Nova.
“Jika yang kamu bicarakan adalah Dimas, bukankah aku sudah mundur dan membiarkanmu mendekatinya? Jangan salahkan aku jika ia tidak menyukaimu,” Aku mencoba membela diri. Nova marah, lalu memukulku.
“Bagaimana bisa ini bukan salahmu? Kamu menggodanya, harusnya kamu bertanggung jawab,” ia menatap tajam padaku,”jangan lupa, bahwa aku masih punya videomu di kamar mandi,” Nova memperlihatkan videoku saat berganti pakaian ketika pelajaran olahraga. Aku mematung, ketakutan mulai menjalar ditubuhku.
“Aku ingin tahu bagaimana orang-orang akan melihat ini? Pasti heboh ya,” ujar Nova pelan namun mengintimidasi.
“Apa yang sebenarnya kamu inginkan? Menyatukanmu dengan Dimas?” Aku mencoba menyembunyikan ketakutanku.
Nova menelengkan kepala, ia berpikir sejenak,”Itu salah satu yang kuinginkan, tapi ada hal lain yang aku ingin kamu lakukan,” ia tersenyum tipis.
“Apa?”
“Beri aku uang, jika aku memintanya, tidak boleh terlambat dan harus tepat waktu, kalo tidak, kamu pasti apa konsekuensinya kan?” Nova terkekeh. Aku sangat membencinya, tapi aku tidak bisa melawan selama ia masih memegang kelemahanku.
Semenjak saat itu, aku menjadi budaknya. Melakukan apapun yang gadis itu suruh. Aku lelah, tapi aku tidak bisa berhenti. Neraka yang sebelumnya kuhindari, kini kembali lagi padaku.
Waktu seakan berhenti, tubuhku bergerak meski jiwaku sudah mati. Melelahkan, aku berusaha membuat Dimas menyukai Nova. Namun, sulit sekali mengubah perasaan seseorang, karena Dimas hanya mencintaiku.
“Kalo begitu, buat dia melecehkanku, kamu merekamnnya, dengan begitu ia pasti akan merasa bertanggung jawab padaku kan?” usul Nova dengan santai. Aku bergidik ngeri, mendengar ide gila yang gadis itu katakan.
POV Lesi
”Kakakku itu seorang penakut, ia selalu peduli, bahkan terlalu peduli sampai ia tidak bisa membedakan antara naif dan baik, bukan seperti kau,” jelas Arai.
Ucapan Arai masih mengangguku, apa itulah yang selama ini adikku pikirkan tentangku? Aku tidak bisa menyangkalnya. Tidak kusangka dibalik sikap tenangnya, ia menyembunyikan kemarahannya.
“Apa? Kau ingin bolos, bukankah hari ini jadwal ujian, sebentar lagi hari kelulusan kan?” Akarin membaca koran, tidak sekali pun wanita pun menoleh meski sedang diajak bicara oleh Arai.
“Aku bisa belajar dari rumah,” ujar Arai memberi alasan.
Akarin melipat koran, lalu meletakkannya di meja,”Sebaiknya tetap sekolah, ini waktu yang tepat untuk menentukan rencanamu ke depan, bahkan Kakakmu juga fokus belajar di momen seperti ini, kau bisa mencontohnya,” Aku merasa tidak senang dengan ucapan Akarin, siapapun akan marah jika dibandingkan seperti itu, ketika kulihat Arai, gadis itu mencoba menahan emosi, meski terlihat jelas bagaimana tatapannya terasa menusukku.
Semenjak kejadian itu, Arai terus menghindariku. Ia sama sekali tidak bicara denganku, seolah keberadaanku tidak pernah terlihat di depannya. Seperti hari ini, ketika kami berpapasan di toilet, ia melewatiku tanpa menanyakan kamar mandi kosong atau tidak. Aku tidak tahu cara menghadapinya, lebih tepatnya aku tidak bisa memahami apa yang adikku pikirkan.
…
“Jadi menurutmu yang mana?” tanya Aru padaku.
“Apanya?” Aku bertanya balik, karena tidak fokus.
Aru menghela nafas, “Maksudku posternya, kita perlu memilih poster klub, untuk dipajang di mading,”
Aku mengangguk mengerti, “Ini saja,” kutunjuk salah satu poster yang menampilkan sketsa dari masing-masing anggota.
“Kamu baik-baik saja?” tanya Damar. Aku tidak boleh seperti ini, membuang-buang waktu dengan memikirkan sesuatu yang tidak penting.
“Ya, aku baik-baik saja,” Aku tersenyum tipis.
Pertama untuk membuang pikiran negatif, aku membuat diriku sibuk dengan membuat sketsa kasar dari apa yang kupikirkan. Miwa mengajariku, bahwa pikiran kotor bisa keluar hanya dengan menyalurkannya melalui media, entah menulis, menggambar, atau membuat barang-barang rumah tangga dari tanah liat.
“Wah, ini bagus tapi sedikit menakutkan,” komentar Damar dari belakang ketika melihat potret kupu-kupu yang terbakar.
Aku mendengus kesal, semenjak seminar itu. Damar selalu mengikutiku seperti anak ayam, meski ia berdalih bahwa itu hanya kebetulan. Namun, jika terjadi berulang kali rasanya semakin menyebalkan.
“Apa kamu ini sebegitunya suka denganku?” tanyaku dengan nada kesal.
Damar gelagapan dan menjadi salah tingkah. Aku yakin itu hanya aktingnya saja, berpura-pura polos agar menarik perhatian orang sepertiku.
Damar tertawa kecil, “Ini sungguh kebetulan, aku tadi dari kantin, terus melihatmu disini, dan asal tahu saja, aku tidak mungkin menyukaimu orang sepertimu,”
Lelaki didepanku ini benar-benar menjengkelkan, aku bahkan tidak peduli soal ia menyukaiku atau tidak. Meski tubuhku remaja, tapi nyatanya jiwa dalam tubuh ini adalah seorang wanita 25 tahunan.