“Kumohon, lihat aku saja, aku selalu mencintaimu,” Sita memegangi kedua tangan Damar, ia terus memohon. Aku bisa melihat betapa putus asanya dia. Seharusnya aku tidak mendengar ini, tapi aku ingin memastikan Sita baik-baik saja.
Damar menatap Sita dengan ekspresi dingin, “Setelah menghancurkan hidup orang lain, kau menyuruhku untuk melihatmu?” Laki-laki dengan rambut yang tergerai hingga dahi, tatapan jernihnya tidak sekali pun berpaling dari Sita, “Berapa banyak kesempatan yang kasih ke kamu, tapi kamu sia-siakan begitu saja? Apa bagimu kehidupan orang itu lelucon? Aku tidak akan memaafkanmu atas apa yang kamu lakukan pada Aru,” Damar melepaskan genggaman Sita. Lalu meninggalkannya.
“Kenapa kamu tidak bisa mencintaiku lagi? Kamu sudah berjanji untuk tetap bersamaku, kumohon jangan tinggalkan aku sendiri, Damar!” Sita terus merintih, memanggil nama Damar. Namun laki-laki itu tidak sekali pun menoleh padanya. Aku menghampiri Sita, memeluknya dengan erat.
…
“Aku mencintaimu, Lesi,” Seorang laki-laki bernama Himam dari kelas sebelah, baru saja mengungkapkan perasaannya. Wajahnya, membuatku teringat dengan Sita yang juga mengatakan hal sama pada Damar.
“Kenapa aku?” tanyaku penasaran. Jujur saja, ini pertama kali aku melihatnya. Di sekolah dengan siswa seribu lebih, jelas tidak mungkin bagiku untuk mengingat wajah tiap orang satu persatu.
Laki-laki tersenyum, memperlihatkan lesung pipinya, “Sejak kamu datang ke sekolah ini, aku kagum dengan keberanianmu melindungi orang-orang lemah, itu menarik perhatianku,”
Aku tidak tahu harus bereaksi apa, ini terlalu tiba-tiba. Bahkan pertama kalinya bagiku melihat laki-laki itu. Aku mulai bimbang, takut jika jawabanku malah menyakitinya. Aku yakin ia sudah berusaha keras mengumpulkan keberanian untuk mengutarakan perasaannya. Padahal, sebelumnya aku sangat ingin momen ini, tapi begitu menghadapi secara langsung, ternyata tidak semudah yang aku kira, sepertinya aku mengerti kenapa ada orang yang kesulitan memberikan jawaban untuk pernyataan cinta. Mungkin karena penolakan itu bisa saja melukai seseorang, bahkan kasus-kasus bunuh diri di luar sana kebanyakan disebabkan oleh penolakan cinta. Membayangkannya saja, membuatku bergidik.
“Maafkan aku, tapi untuk sekarang aku tidak berniat untuk menjalin hubungan seperti itu,” ujarku dengan menunjukkan raut penyesalan. Kuharap laki-laki itu bisa mengerti.
Laki-laki itu terlihat kecewa, sepertinya aku mengatakannya terlalu kasar. Kenapa selalu saja ada masalah yang datang.
“Kenapa? Apa aku boleh tahu alasan yang lebih jelasnya?”
“Aku tidak bisa memberitahumu, aku menghargai perasaanmu, tapi aku tidak bisa menerimanya," ujarku. Ketika aku pergi, laki-laki tersebut menarikku dalam pelukannya. Aku lalu mendorongnya.
“Apa-apaan itu?!”
“Aku hanya ingin memelukmu, itu bukan sesuatu yang dilarang kan?”
Aku menghela nafas,” Aku tahu, tapi tiba-tiba melakukannya, jelas siapapun akan terkejut,”
…
“Apa kau baik-baik saja? kenapa tidak kau pukul saja jika dia macam-macam?” Aru terlihat kesal ketika mendengar ada seseorang yang mengangguku.
“Sepertinya di sekolah ini kau semakin populer, ah itu mulai merepotkan,” keluh Damar sambil menopang dagunya.
“Apa maksudmu?” tanyaku bingung.
“Maksudku, itu jelas merepotkan, karena kamu akan sibuk dengan pria-pria di sekolah, sementara kamu masih ada tanggung jawab mengurus klub ini,” ujar Damar menyembunyikan kekesalannya. Kupikir dia khawatir, ternyata ucapannya menyiratkan bahwa aku akan lari dari tanggung jawabku.
“Tapi bukannya bagus ya? Kamu bisa menarik perhatian pria itu, dan menghasutnya supaya bergabung dengan klub ini,” usul Aru.
“Tidak bisa begitu!” Obi dan Damar secara bersamaan, menentang saran Aru. Aku mulai menyadari bahwa kedua laki-laki itu semakin dekat dan akrab.
“Ternyata menolak seseorang pun itu menyebalkan, aku yakin laki-laki itu sudah menyiapkan mental untuk mengatakannya padaku,” Aku membenamkan wajahku di meja.
Aru terkekeh, “Tidak biasanya, kamu seperti ini, Lesi yang kukenal biasanya tidak peduli apa yang orang pikirkan,”
Aku menopang daguku, menghela nafas dalam, “Tapi ini konteksnya berbeda,”
Aru mengangguk,”Aku mengerti, tapi lebih baik menolak jika memang kamu tidak menyukainya,” Aru merangkulku. Aku merasakan ketenangan setelah dipeluk olehnya. Damar dan Obi tersenyum tipis.
….
Keesokan harinya, kehebohan terjadi di sekolah. Seseorang baru saja menempel fotoku yang sudah diedit dalam keadaan telanjang. Dibawahnya, tertulis pelacur. Aku hanya terdiam dengan rasa takut yang semakin menjejali dadaku. Melihat hal itu, Obi buru-buru menyobek kertas tersebut. Aru merangkulku.
“Siapa yang lakukan ini?!” teriak Damar penuh amarah. Sial, air mataku akan jatuh. Aku tidak bisa membiarkan siapapun melihat sisiku yang ini, lalu aku berlari menuju toilet. Kuatur nafasku yang terengah-engah, tanganku bergetar dan aku tidak bisa mengendalikan ketakutanku. Sehingga tanpa sadar, aku menutupi telingaku dari suara-suara dalam kepalaku.
“Ini salahmu,”
“Ini salahmu,”
“Seharusnya kamu tiada,”
“Mati”
“Mati,”
Gedoran keras terdengar, semakin kencang membuat nafasku memburu. Kemudian surat diselipkan ke bawah toilet oleh seseorang. Kubuka kertas tersebut, dan membacanya.
-Asumsi yang diterima begitu saja itu menakutkan, tapi bukankah itu sisi menyenangkannya?-
Aku meremas kertas tersebut, seseorang baru saja menindasku. Jika aku tetap diam dan merengek, itu tidak akan menyelesaikan apapun. Kuusap airmataku dengan kasar, pilihan menyerah atau pun melarikan diri, sudah kulenyapkan sejak awal. Aku sudah berjanji pada diriku sendiri, bahwa aku akan menjalani kehidupan kedua ini dengan benar.
“Lesi, apa kau didalam? Keluarlah, aku khawatir denganmu,” teriak Aru. Kemudian aku keluar dari kamar mandi. Aru memelukku.
“Apapun yang terjadi, aku akan dipihakmu,” ujar Aru. Kubalas pelukannya, tanpa mengatakan apapun.
Begitu memasuki kelas, aku bisa melihat mejaku sudah dipenuhi coretan dan foto tidak senonoh. Aku menatap kosong, lalu menyingkirkannya. Semua orang memotret dan menertawakanku. Obi dan Damar mencoba menghentikan tindakan mereka.
Kuamati satu persatu orang di kelas, salah satu dari mereka adalah pelakunya. Permintaan maaf yang mereka lakukan, tidak berarti apa-apa. Mungkin karena sejak awal, semua orang di kelas ini, tidak pernah diajari cara meminta maaf dengan benar.
“Dia baru saja mencurigai kita semua, menjengkelkan,” celetuk Sita menyeringai. Ia menghampiriku, tapi Damar menghalangi.
Sita menatap tajam, “Apa kau serius ingin membela pelacur ini?”
“Kita masih belum bisa menentukannya, foto ini bisa saja ulah iseng dari seseorang,” ujar Damar.
“Siapapun pelakunya, akan berhadapan denganku,” Damar baru saja mendeklarasikan tekadnya, dengan ekspresi dingin dan menatap semua orang yang ada di kelas. Tentu, aku tidak senang dengan itu, karena ucapannya bisa saja membuat situasi semakin rumit.
“Bukankah aneh jika ketua osis membela pihak yang salah? sebenarnya siapa yang kau sebut pelaku itu? gadis itu baru saja melakukan hal yang tidak pantas sebagai seorang siswa,” komentar Atu.
Bel berbunyi memecah suasana tegang antara Damar dan Atu. Kami pun kembali duduk di tempat masing-masing, terkecuali aku yang dipanggil ke ruang guru.
“Kamu lagi, apalagi kali ini, baru tahun pertama masalahmu sudah seperti ini,” decak Pak Hamid yang tetap fokus dengan laptopnya. Tanpa mengatakannya pun, aku juga sudah bosan melihat dia yang tidak bisa diandalkan.
“Kita tidak bisa memastikan foto itu asli, ini bisa saja termasuk perundungan, perlu penyelidikan lebih lanjut, untuk mengetahui pelaku yang memasang foto tidak pantas ini di sekolah,” usul Kakek. Keberadaan kakek di sekolah ini, tidak diketahui bahwa ia bukan hanya sekedar guru pengganti.
Aku menghela nafas, tidak peduli apa aku dikeluarkan atau tidak karena ini. menjalani sekolah yang damai, tidak kusangka akan sesulit ini. Mungkin, jika situasi mulai memburuk, lebih baik aku belajar mandiri dirumah.
“Tidak perlu, itu hanya akan menjadi masalah tambah besar, akademi ini terkenal dengan visinya yang menjunjung tinggi kedamaian, jika ada skandal besar seperti ini, apa kata masyarakat nanti,” protes Pak Hamid selaku kepala sekolah. Aku yakin ucapannya hanya alasan dia, agar tidak perlu susah payah mengurus masalah siswa.
“Tapi kita tidak bisa mengeluarkannya, karena belum ada bukti yang valid,” bujuk Kakek.
Pak Hamid terlihat memijat pelipisnya, pria tua itu semakin lama makin menjengkelkan dimataku.
“Ini peringatan untukmu, kau tidak dihukum, tapi jika terulangi lagi, kamu benar-benar akan dikeluarkan,” ancamnya.
Aku keluar dari ruangan dengan lesu, setelah diceramahi habis-habisan. Kulewati satu pelajaran, dan pergi ke UKS. Aku meregangkan tubuhku, lalu berbaring. Rasa kantuk mulai menyerangku, aku memutuskan untuk tidur sebentar.
Begitu terbangun, kurasakan nafas seseorang. Disampingku, Damar tertidur pulas. Wajahnya terlihat lembut dengan rahang tegas, rambut yang menyentuh dahi itu terlihat menutupi alis. Kupikir itu hanya mimpi, tapi ketika kesadaranku sepenuhnya pulih, aku sontak terkejut dan mendorong Damar hingga ia terjatuh.
Damar meringis menahan sakit, “Ada apa denganmu?”
“Seharusnya aku yang bertanya, kamu pasti berniat macam-macam denganku kan?” aku reflek menarik selimut untuk menutupi tubuhku.
“Hah?! Aku khawatir kamu tidak kembali ke kelas, jadi mungkin saja kamu di UKS,” bela Damar.