Berapa banyak yang kuketahui tentang sisi manusia? Mungkin hanya terhitung satu atau dua. Hanya karena hidup lebih lama, aku berpikir mengetahui segalanya. Namun, kenyataannya apa yang orang-orang sebut kegelapan, selalu bergerak dengan cara paling halus dan tidak dimengerti siapapun.
“Kamu yang melakukannya?” tanyaku dengan tatapan penuh selidik.
Sita menunjuk dirinya sendiri, sambil tertawa,”Aku? Untuk apa aku melakukan hal yang tidak berguna seperti itu,”
“Pria itu, ia mengatakan kamu lah yang ada dibalik skandalku, bahkan aku ada disana, kamu pikir aku tidak tahu?” tegasku. Sita terlihat mulai cemas, karena ia terus memelintir rambutnya. Namun gadis itu berusaha untuk tetap tenang.
“Menuduh seseorang tanpa bukti itu kejahatan,” Sita menyeringai.
“Apa yang Sita katakan benar, kamu tidak bisa menuduh seseorang hanya berdasarkan katanya, seseorang bisa saja berbohong jika dalam keadaan terdesak, termasuk pria itu. Mungkin kamu mengancamnya, agar bisa membuat pengakuan bahwa Sita lah pelakunya,” jelas Atu yang bersender di pintu. Kemudian ia menghampiriku, merangkul Sita.
“Kenapa kamu tidak bilang bahwa gadis ini mengejarmu? Sudah kubilang kalo ada apa-apa, katakan padaku,” Atu menatap Sita sambil tersenyum. Sita terlihat malu-malu, ia hanya mengangguk.
Kemudian tatapan Sita beralih padaku dan menghampiriku,”Kematian pria itu adalah karena kamu tidak bisa membalas perasaannya,” Sita lalu pergi meninggalkanku.
Kurasakan kemarahan dalam diriku, nafasku seakan memburu.
“Kenapa tidak lupakan saja? masalahmu udah selesai, karena pria yang terobsesi padamu sudah mati,” ujar Sita tidak peduli.
“Aku selalu ingin berteman denganmu, mungkin keinginan itu masih berlaku, jika kamu mau, aku bisa membantumu untuk membersihkan namamu,” tawar Atu dengan sudut bibir yang terangkat membentuk senyuman. Gadis itu baru saja memberikan jebakan padaku, untuk terpikat dengan kebaikan hatinya. Meski sebenarnya, dibalik wajahnya ia adalah seorang gadis yang tidak peduli pada siapapun.
“Sangat disayangkan ya,” Aku merapikan debu dari blazzernya,”karena yang memberikan penawaran itu adalah kamu, kalo saja itu orang lain, mungkin dengan senang hati aku akan menerimanya,” Kemudian aku pergi menuju kelas. Dalam hati aku merasa puas, karena berhasil mengatakan sesuatu yang tidak bisa kukatakan sebelumnya.
…
Aku mencari informasi Sita lebih jauh, kutemui Damar yang sedang duduk diperpustakaan. Sebenarnya aku tidak ingin menemuinya lagi, setelah mengatakan hal keji tentang Sita.
“Sita orang seperti apa?” tanyaku. Damar tidak menjawab, laki-laki itu masih fokus dengan pekerjaan rumahnya. Dia masih marah sehingga mengabaikanku.
Aku menghela nafas dalam,”Aku tidak akan meminta maaf perihal kemarin, sebelum aku memastikannya, setidaknya kamu harus bantu untuk menemukan pelakunya,” tegasku. Damar berpura-pura tidak mendengarku. Karena tidak sabar, kurebut buku catatannya, membuat mendongak padaku.
“Berhenti mengabaikanku dan bicaralah, bodoh!” teriakku membuat sekitar sontak menoleh padaku. Damar terkejut.
Petugas perpustakaan mengusir kami berdua, itu salahku karena membuat keributan.
“Kamu ini tidak pernah diajari minta maaf ya?” ejek Damar.
“Aku akan meminta maaf, jika memang aku yang salah,” ujarku lalu keminum susu strawberry yang kubeli dari kantin sekolah.
Damar menghela nafas, “Soal Sita, kami berteman sejak kecil, karena kami punya kondisi yang sama, jadi aku dengannya sangat dekat, bahkan saling menjaga dan memahami satu sama lain,” ujarnya dengan tatapan yang menelisik lapangan.
“Dia juga tahu bahwa aku dibesarkan di panti asuhan, dan kenapa aku ragu dia pelakunya, karena ia tidak mungkin punya cukup uang untuk menyewa beberapa pengawal,” jelasnya.
“Meski ia seorang idol remaja?” tanyaku tidak percaya.
Damar menoleh padaku, ia mengernyitkan dahinya,”Darimana kamu tahu dia idol?”
Jelas saja jika ia terkejut kalo aku mengetahui pekerjaan Sita. Karena, di kehidupan ini aku dan Sita bukan sahabat dekat.
“Aku mencari tahu sendiri,” jawabku. Damar mengangguk.
“Dia memang idol, tapi tidak seterkenal itu, kecuali di kalangan komunitas kecil, untuk itulah ia rela mengambil banyak pekerjaan sampingan,” jelas Damar. Mendengar latar belakang Sita, membuatku menyadari bahwa aku tidak sepenuhnya mengenal gadis itu.
Damar beranjak bangun dari kursinya,”Aku tahu bahwa ia akan keberatan jika aku menunjukkan rumahnya, tapi jika padamu, kurasa itu bukan masalah,”
Sepulang sekolah, Damar mengajakku ke tempat tinggal Sita. Butuh waktu setengah jam untuk sampai disana, kami menaiki Bus. Aku tidak menyangka bahwa jalur transpotasi menuju tempat Sita hanya satu, sehingga ada begitu banyak orang yang saling berdesakan. Aku hampir terhimpit, namun Damar menahan tangannya. Kami beradu pandang, ia memalingkan wajahnya, begitu pun denganku.