Hata-Hata Ni Dodo

Linggarjati Bratawati
Chapter #10

Chapter 10


“Buktinya sudah lengkap, kita bisa memberikannya pada polisi,” usul Damar

“Aku setuju, tunggu apa lagi,” timpal Aru.

“Belum saatnya, kita belum memastikan siapa pelakunya, dan tentu pelaku tidak akan membiarkannya, dengan uang ia bisa membeli keadilan, juga jika kulaporkan bukan hanya pelaku yang ditangkap, tapi orang yang terlibat dengannya, pasti kena imbas kan?” ujarku kemudian mengambil kentang goreng dan memakannya. Menyadari hal itu, Damar seperti menyesal dengan kata-katanya. 

“Lalu apa yang akan kamu lakukan?” tanya Obi sambil membaca buku.

“Entahlah, aku masih belum memikirkannya,” jawabku.

“Kita sudahi topik yang berat ini, bagaimana kalo kita bahas klub ini, kemarin aku membuat semacam akun Instagram, berisi kegiatan kita, dari mulai seminar sampai yang di panti asuhan itu, coba lihat kita mendapat like dan viewer lebih dari seribu,” Aru terlihat kegirangan saat menunjukkannya.

“Hebat! Oh lihat, kamu populer, Lesi,” timpal Damar. Obi terlihat kagum dan bangga. Melihat mereka Bahagia dan bersenang-senang, tanpa mengkhawatirkan apa yang terjadi di masa depan, membuatku merasa iri. Entah kenapa, kehadiran mereka dalam hidupku, menjadi bagian dari keseharianku, aku pun mulai terbiasa. Tapi dalam hatiku, aku masih merasa takut untuk percaya sepenuhnya, karena manusia selalu mudah berubah.

Obi memberikan sentilan didahiku, aku meringis,”Apa-apaan coba?” keluhku.

“Seharusnya kamu senang karena banyak penggemar, ya meski kamu kadang ceroboh dan bertindak tidak terduga sih,” ujar Obi mengamati dari bawah sampai ke atas.

Aku cemberut, kuinjak kakinya sebagai balasan dari sentilannya. Ia kesakitan.“Ini balasan untuk yang barusan,” ujarku sembari menjulurkan lidah.

Rumor tentang skandalku semakin meredup, mungkin orang-orang mulai bosan membicarakannya. Seperti biasa, perhatian mereka selalu mudah teralihkan oleh sesuatu yang menurut mereka lebih menarik.

Aku tidak tahu apa hal semacam ini bisa dianggap sebagai hikmah atau sesuatu yang harus kusyukuri. Apapun itu, aku merasa lega karena bisa kembali keseharianku. Tidak ada yang merundungku sekeji sebelumnya, sekali pun ada yang mengangguku. mungkin hanya meja yang dicoret atau tulisan ancaman, sangat kekanak-kanakan, untungnya aku bisa mengabaikannya. Karena aku pasti akan menghajarnya begitu ada orang mengangguku.

Ketenangan yang kupikir bertahan lama, ternyata cuma sebentar. Tiba-tiba saja Atu dan Sita ingin bergabung dengan klub. Aku tidak bisa menunjukkan keberatanku, dengan alasan ia menghancurkan hidupku di masa depan. Jadi terpaksa aku menyetujuinya, hal itu juga yang dirasakan Obi. Namun karena tidak ada alasan yang kuat, ia hanya menerima keanggotaan Atu dan Sita tanpa berkomentar apapun. Ditambah masuknya mereka atas rekomendasi kepala sekolah.

“Terimakasih sebelumnya, aku minta maaf karena bersikap kasar pada kalian, terutama kamu Lesi,” ujar Atu dengan wajah penyesalan.

“Aku juga, aku benar-benar kejam padamu, aku janji tidak akan melakukannya,” Sita merangkul lalu memelukku.

“Kuharap kalian semua bisa membawa prestasi yang nyata untuk sekolah ini, Bapak yakin kehadiran Sita dan Atu, akan semakin membuat klub literatur Akademi Halawa Sebua, dikenal banyak orang,” ujar Pak Hamid dengan ceramahnya. Aku merasa kata-kata motivasi tersebut terasa aneh didengar, karena yang mengatakannya adalah guru mesum yang suka mencari perhatian.

 

….

Seperti yang kuduga, Atu mulai mendominasi di klub ini. Hari ini klub literatur mengadakan persiapan untuk olimpiade sastra, mewakili sekolah. Perlombaan tersebut merupakan lomba bergengsi, karena banyak penerbit besar yang ikut andil untuk menyaring naskah terbaik. Di kehidupan pertamaku, orang yang menjadi perwakilannya adalah Atu dan satu siswa laki-laki bernama Heras, anggota dari klub teater. Namun saat ini, aku tidak tahu siapa yang menjadi pengganti untuk Heras, mengingat situasi yang terjadi berbeda dengan kehidupan pertamaku.

“Kira-kira siapa yang mau menjadi perwakilan sekolah? kuotanya ada satu orang,” ujar Obi sebagai ketua klub mengawali diskusi.

Atu mengacungkan tangannya, semua menoleh padanya,”Aku rasa Lesi, lebih pantas mengikutinya,”

“Setuju, saat Arai menunjukkan naskah Lesi ketika dirumahnya, itu luar biasa, aku tidak mengerti kenapa kamu menyembunyikannya,” timpal Aru antusias. Arai, kenapa ia harus memperlihatkan naskahku pada orang lain, padahal aku hanya ingin duduk manis tanpa terlibat hal merepotkan seperti ini.

“Aku tidak mau, maksudku jika mengatakan  siapa yang lebih pantas, bukankah itu Atu, kamu dari klub drama, pasti berpengalaman dalam soal ini,” kulemparkan tanggung jawab tersebut pada Atu.

“Menurutku juga begitu, cerita yang dibuat Atu, kuat secara cerita,” Sita menyetujui pendapatku. Atu terlihat malu-malu, karena mendapat pujian dari semua orang. Meski membencinya, jujur saja aku tidak bisa menyangkal bahwa gadis itu cukup berbakat.

“Tapi disini kita hanya punya satu kuota saja,” timpal Damar.

“Kalo begitu kita putuskan dari sistem voting,” usul Obi. Kemudian voting pun dimulai dengan cara setiap anggota menuliskan nama yang akan mengikuti lomba.  

Hasil akhir yang didapat adalah Obi mendapat suara terbanyak.

“Jika kamu butuh diskusi sesuatu, katakan padaku, aku siap membantu,” ujar Atu.

“Dia benar, kamu bisa mengandalkan Atu, bahkan ia penulis terbaik di klub teater,” puji Sita.

“Baiklah, mohon bantuannya,” sahut Obi.

Makan siang pun tiba, aku pergi ke atap untuk menikmati bekalku. Aku ingin menyantap makan siangku sendiri, melelahkan jika terus terlibat dengan orang-orang. Energiku rasanya terkuras separuhnya, aku heran mengapa ada orang yang betah berlama-lama dalam situasi yang ramai.

“Emm,” ujarku dengan penuh nikmat, begitu satu suapan dari ayam rica-rica masuk ke mulutku, aroma daun jeruk yang tercampur di nasi, menambah cita rasa. Bagian favoritku, adalah hidangan penutup berupa kue kering bermotif karakter kartun Maruko-chan.

Dari atap aku bisa melihat para siswa laki-laki yang sedang bermain bola, sementara perempuannya sedang sibuk mengambil foto untuk diunggah ke media sosial mereka.

“Bekalmu kelihatannya enak, kue keringnya lucu sekali, apa kamu yang membuatnya?” celetuk Atu yang tiba-tiba saja sudah duduk disampingku, lalu ia mengambil kue kering tersebut. Kemudian reflek aku menahan tangannya.

“Ini ada tepung terigunya, kamu kan alergi gluten,” ujarku. Atu mengernyitkan dahinya heran. Atu kembali meletakkan kue kering tersebut dibekalku.

“Kamu tahu aku alergi gluten darimana?” tanya Atu penasaran. Aku merutuki diri sendiri, karena seringkali keceplosan.

“Aku mendengarnya, teman-temanmu banyak membicarakannya,” jawabku.

Atu tersenyum tipis,”Begitu ya, kamu jeli juga ya,” Aku tidak menanggapi ucapannya, aku bingung apa yang harus kukatakan. Tidak seperti Sita, gadis disampingku susah ditebak, terkadang aku penasaran dengan yang dipikirkan Atu.

“Kenapa kamu tiba-tiba bergabung dengan klub literatur? Padahal sebelumnya kamu masalah dengan kami, kamu mencoba untuk merecoki kami dari dalam?” tukasku tanpa basa-basi.

Atu membeku dengan mata lebar dan alis terangkat, kemudian ia tertawa,”Kamu terus terang sekali, apa seburuk itu aku dimatamu?” ia menatapku dalam sambil menunjukkan sikap santai.

“Kamu memang benar, aku pernah punya masalah sebelumnya dengan Obi, Aru, bahkan kamu. Tapi, itu sudah berlalu kan?”

Dengan mudahnya, Atu mengatakan seolah itu bukan masalah baginya. Gadis itu beranjak bangun, tangannya seperti ingin menggapai matahari. Kemudian ia berbalik dan menoleh padaku,”Aku ingin berteman denganmu, rasanya jika bersamamu, pasti menyenangkan,” jelas Atu dengan senyuman tipis dan bibir terkatup.

Aku tidak melihat adanya kecemasan di raut wajahnya, sulit memastikan apa yang dikatakannya adalah kebohongan atau bukan. Di kehidupan sebelumnya, aku tidak terlalu mengenal Atu.

“Aku menolaknya, kamu bisa mencari orang lain,” tegasku.

“Apa kamu membenciku?” tanya Atu sesaat sebelum aku menyentuh pintu atap. Jelas saja aku membenci gadis itu, ia sama seperti Sita yangmengkhianatiku. Jika saja aku bisa mengatakannya, maka akan kuucapkan dengan lantang didepannya. Tapi ini bukan saatnya untuk itu. Aku harus mengendalikan diri.

Aku pun menoleh padanya, memaksakan senyumku,”Tidak juga, hanya saja aku merasa tidak membutuhkanmu,”

“Begitu ya, padahal kita bisa menjadi teman akrab,” ujar Atu dengan mata yang penuh penyesalan. Namun, aku tidak merasakan hal semacam itu dalam dirinya. Kedua matanya itu tidak menunjukkan emosi apapun, terasa dingin.

 

 

Lihat selengkapnya