POV Sita
“Tarianmu bagus, kenapa tidak menjadi idol saja?” saran Ani terlihat senang. Mendengar hal itu, aku merasa malu. Meski, jujur saja aku sangat suka menari.
“Kamu pun bisa nyanyi kan? Itu bisa nilai plus, aku yakin produser akan melirikmu,” timpal Haru.
“Kita daftar sama-sama gimana?” usul Ani yang kemudian disetujui oleh Haru.
“Itu ide bagus, selama bersama kalian, aku merasa senang,” ujarku.
Berkat dorongan itu aku memutuskan untuk mengejar impianku menjadi seorang idol. Awalnya, selama ada orang yang mendukungku dengan tulus, maka semua akan baik-baik saja. Namun, ketulusan di dunia yang serba keji ini tidak bisa didapatkan secara cuma-cuma. Semua orang selalu mengharapkan balasan atas kebaikan mereka. Aku berhasil lolos audisi dan mulai masa training, hanya sahabatku Ani dan Haru yang gagal. Aku berusaha untuk membuat mereka merasa tidak sedih, tapi sepertinya salah mereka mengartikan tindakanku.
“Kau menghinaku ya? Hanya karena berhasil sendirian, sekarang kau pasti menertawakanku kan?” tukas Ani dengan mata yang berkaca-kaca, Haru merangkulnya mencoba untuk menenangkan Ani. Mereka berdua menatap tajam padaku.
Sejak saat itu, aku kehilangan dua orang paling penting bagiku. Aku menyadari bahwa manusia tidak bisa saling berbagi mimpi, karena batas ketulusan itu ada ketika salah satunya gagal. Sementara rasa iri selalu lebih cepat mendahului akal sehat.
Kebencian Ani dan Haru padaku, ternyata juga ditularkan pada banyak orang. Mereka merundungku, surat ancaman itu terus menjejali lokerku. Hanya satu orang yang tetap berdiri di duniaku, yaitu Damar, teman masa kecilku.
“Keterlaluan mereka, padahal mereka gagal bukan salahmu,” dumel Damar. Aku hanya tersenyum, bibirnya yang cemberut saat marah terlihat menggemaskan. Aku tidak bisa memalingkan wajahku darinya, entah kenapa aku merasa aman berada didekatnya. Saat itulah aku menyadari bahwa aku sudah jatuh cinta padanya.
Kesamaanku dengan Damar adalah kesepian tanpa adanya cinta dari orang tua, aku tinggal bersama Ibuku, aku tidak tahu ayahku dimana. Ibu menikah lagi, sepertinya wanita itu memang payah dalam memilih seorang pria, karena pria yang ia nikahi, selalu paling menyebalkan bahkan brengsek. Ayah tiriku memukuliku, tangannya begitu ringan ketika ia terus menghujami kami dengan pukulan. Ia bahkan tetap bersikap kasar pada Ibu, meski saat itu Ibuku sedang mengandung.
Adik tiriku tidak peduli apapun, ia hanya mementingkan dirinya sendiri. Ia bahkan tidak pernah memanggilku Kakak. Kemudian Ibu melahirkan bayi perempuan yang diberi nama Kei, ia sangat mirip dengan Ibu. Kupikir Ayahku akan berubah dan bersikap baik setelah Kei lahir, tapi sayangnya pria itu tidak pernah mau berubah.
Aku menyembunyikan tentang impianku menjadi idol dari keluargaku, aku merasa akan merepotkan jika Ayahku mengetahuinya. Setiap harinya, tidak seperti remaja lain yang sibuk dengan kesenangan mereka, aku malah sibuk dengan pekerjaan sampingan. Aku benar-benar orang gila. Satu-satunya rumah bagiku adalah Damar, saat duniaku kacau dan berantakan, aku pasti kembali padanya.
Debutku berhasil ditentukan, Damar terlihat gembira ketika mendengarnya, yang paling membahagiakan adalah ia mengungkapkan perasaannya padaku.
“Aku mencintaimu Sita, aku serius,” ujarnya sambil menatapku dengan mata jernihnya. Aku ingin menerimanya, dan mengatakan bahwa aku juga mencintainya. Namun, seorang idol tidak boleh mencintai siapapun. Itu aturan mutlak yang tidak bisa kulanggar dari pihak agensi, jika aku melakukannya, maka aku akan kehilangan impianku dan aku tidak pernah siap dengan itu.
“Maafkan aku,” ujarku dengan menahan getir dalam hatiku.
Ia terlihat kecewa, melihatnya begitu membuatku hatiku terasa sakit. Aku baru saja menyakitinya. Namun, aku tidak punya pilihan.
Tanpa diduga penolakan pernyataan cinta Damar, tidak membuat ia berubah. Ia masih orang yang sama. Aku merasa lega dengan itu.
Setelah lulus SMP, aku memutuskan untuk sekolah di tempat yang sama dengan Damar. Aku hanya ingin terus melihatnya, selama aku mencintainya, maka itu sudah cukup bagiku. Namun, kenyataan selalu bekerja dalam perannya, seseorang menarik perhatian Damar. Orang itu adalah Lesi Haba.
Aku tidak sengaja melihatnya ditampar oleh seseorang, tamparan terlalu kasar untuk seorang gadis. Kemudian, ide itu terlintas dalam benakku, kurekam pertengkaran Obi dan Lesi, untuk menjadi bukti. Aku ingin Lesi berhutang budi padaku, jika aku bisa menyelamatkannya dari perundungan itu, maka akan mudah bagiku untuk memberikan kontrol penuh.
“Kamu baik-baik saja?” tanyaku dengan raut khawatir.
“Ini pasti berat untukmu, kami disini, tidak perlu sungkan,” timpal Atu, temanku.
Lesi terlihat pucat, sepertinya diikuti dan ditampar seseorang, melukai perasaannya. Ia sampai tidak bisa menghadapi Obi dan Aru, gadis yang malang. Gadis itu tidak masuk sekolah selama seminggu, mungkin ketakutannya menjadi tidak terkendali. Betapa lemahnya manusia ketika menghadapi sesuatu yang menakutkan baginya.
Aku memberi hukuman Obi dan Aru demi bisa dekat dengan Lesi. Dengan dibantu Atu, aku dengan mudah bisa memberikan perintah pada anak laki-laki. Lesi bersembunyi dibalik tembok itu, aku merasa lega karena ia bisa melihat bagaimana aku bisa menjadi pahlawan untuknya.
“Kamu berniat jadi penulis meski merundung seseorang? Menyedihkan,” ejek Sita. Obi dan Aru terlihat tidak berdaya, mungkin inilah yang dirasakan oleh Ani dan Haru saat merundungku. Sangat menyenangkan, ketika aku bisa menginjak orang sesuka hati.
Namun, tiba-tiba Lesi menyerang salah satu anak laki-laki, membantingnya cukup keras. Aku tidak menyangka ia sekuat itu. Bahkan laki-laki tersebut tubuhnya lebih besar darinya.
“Merepotkan, anak populer merepotkan,” ia menggumam. Aku merasa kesal ketika mendengarnya, ia tidak tahu diri meski sudah kutolong. “Apa-apaan ini? kenapa membela perundung? Mungkin saja kamu diancam, pasti gitu,” ujarku sambil tertawa.
Ia menatap tajam padaku, tatapan yang berbeda dari sebelumnya, “Untuk itulah aku benci orang-orang bodoh, berasumsi seenaknya tanpa mencari tahu,” ucapan Lesi begitu menohok, darimana rasa percaya diri itu? Menjengkelkan melihatnya seperti itu, seharusnya ia tetap merangkak memohon perlindunganku.
“Hah?! Kamu tidak tahu siapa kami, seharusnya kamu tetap simpan rasa percaya dirimu ini,” Kucengkeram kerah bajunya, ingin sekali kucekik lehernya tapi aku berusaha keras untuk mengendalikan diriku.
Lesi menghempaskan tanganku, “Aku sudah merapikan pakaianku dengan susah payah, dan kamu membuatnya tampak kusut,”
Entah sejak kapan kemarahan itu menguasaiku, aku tidak peduli lagi, gadis itu harus diberi pelajaran. Kemudian aku menyuruh anak laki-laki untuk memukulnya, aku ingin melihatnya merintih dan bagaimana rasa percaya dirinya itu memudar.
Namun, Lesi mampu mengalahkannya dengan mudah.
“Sebaiknya hentikan, kamu hanya akan membuatku malu dengan pemandangan seperti ini,” ujar Atu menghampiriku.
Perundungan yang kulakukan sepertinya tercium oleh Damar. ia memintaku menemuinya di belakang sekolah.
“Kenapa kamu lakukan itu? Aku sudah mendengarnya kamu merundung seseorang,” Damar menatapku dalam. Ia menuntut penjelasan dariku.
“Itu bukan perundungan, aku hanya ingin melindungi gadis itu,” jawabku.
“Tapi kamu tidak memastikannya kan? Ketua klub literatur, memberitahuku bahwa antara ia dengan gadis itu hanya kesalahpahaman.” Sangkal Damar. Dadaku terasa panas, seharusnya ia membelaku bukan gadis itu.
Damar mengelus kepalaku,”Aku tidak ingin kamu mengulanginya, tentu kau yang paling tahu, bagaimana rasanya ditindas seseorang,” jika sebelumnya aku merasa tenang setelah Damar menenangkanku dengan ucapannya. Namun, kali ini justru aku tidak bisa menerimanya. Bukan aku yang salah disini.
…
“Kamu hanya perlu menghancurkannya,” usul Atu, ia melihatku menghancurkan properti klub drama, kupikir ia akan marah. Namun, gadis itu tersenyum dan memelukku.
Ia mengelus rambut dengan lembut, seketika aku merasa lebih baik, “Pasti menyesakkan melihat seseorang yang kita cintai, diambil orang lain, itu jelas kejahatan kan?”
Airmataku pun membuncah, rasa sakit yang selama ini kupendam. Keluar begitu saja dihadapan Atu.
“Kamu tahu senjata yang paling hebat untuk menyingkirkan seseorang?” Atu melepaskan pelukannya dan menatap dalam padaku. Ia mengusap air mataku, menyingkapkan rambutku ke belakang telinga.