POV Lesi
“Menyedihkan, bisa-bisanya seorang Ibu menggugurkan anaknya, itu sudah kejahatan namanya,” keluh Aru di helaan nafasnya. Gadis itu begitu serius ketika membaca majalah tabloid seputar selebritas. Padahal, kebanyakan yang tertulis dalam majalah tersebut, mungkin hanya sebagian yang benar-benar sesuai dengan fakta. Sisanya, hanya argumen seenak jidat berdasarkan komentar atau video yang dipotong-potong.
Kejadian tentang semalam, aku tidak bisa melupakanya. Gara-gara itu juga aku tidak terlalu mempedulikan Akarin dan Arai yang memarahiku karena aku pulang dengan luka didahi. Apa yang sedang ibuku lakukan di tempat seperti itu? Aku tidak pernah mengetahui bahwa ia mau mengunjungi tempat seperti itu, bahkan di jam kerjanya. Ibuku tidak punya cukup waktu untuk pergi ke suatu tempat, bahkan berinteraksi dengan orang saja ia tidak sudi jika tidak penting.
Aku tidak punya kegiatan di klub. Jadi untuk mengatasi rasa bosan, aku hanya menggambar dari buku sketsa yang kupinjam dari Aru. Sementara itu, Atu dan Obi sibuk berdiskusi untuk membahas cerita apa yang akan mereka tulis. Sementara Damar sedang fokus dengan skenario dari segmen yang ia bawa untuk di klub radionya.
“Kehidupan selebritas adalah sesuatu yang susah ditebak, aku tidak terlalu menyukainya, hanya demi penggemar, kebanyakan dari mereka selalu melakukan hal tidak masuk akal,” komentar Damar sembari merapikan draft yang sudah ia tulis.
“Benar juga ya, aku pernah melihatnya di televisi, produser berhubungan gelap dengan idol, demi bisa jadi artis top, tapi tetap saja itu rasanya salah,” Aru sambi menyangga dagunya dengan tangan.
“Bagaimana menurutmu, Sita? Mengingat kamu juga seorang idol, pasti sering menemukan kasus seperti itu?” tanya Aru menatap Sita. Sepertinya, Aru mencoba dekat dengan Sita. Aku kagum karena ia sudah lupa dengan kejadian saat ia dirundung oleh Sita. Setelah mendengar apa yang mereka bertiga bicarakan, membuatku teringat dengan pertemuanku dengan Sita semalam. Mungkinkah Sita melakukan skandal itu demi kariernya? Terlalu mencurigakan seorang idol berada di tempat seperti itu. Kutepis asumsi tersebut dari pikiranku.
“Aku tidak terlalu sering memperhatikannya, aku pikir akan merepotkan jika berhubungan dengan skandal orang lain,” jawab Sita.
“Aku setuju, lebih baik cari aman saja,” timpal Damar tersenyum, Sita tersipu malu. Mendengar ucapan Sita, entah kenapa rasanya bertolak belakang dengan sifatnya. Seandainya sisi bijak gadis itu, tetap dominan. Mungkin, aku akan mempertimbangkan untuk memberi ia kesempatan jadi temanku. Ia hanya bersikap manis di depan Damar, dan lagi laki-laki itu benar-benar tidak peka dengan perasaan gadis yang saat ini sedang tersipu malu karena senyumannya.
“Bukankah mereka pasangan yang serasi? Aku heran kenapa mereka tidak pacaran saja?” tanya Atu yang hampir berbisik ditelingaku. Aku terlonjak kaget, sejak kapan ia berada di belakangku.
“Tentu, mereka serasi,” ujarku menyembunyikan kegugupanku. Kemudian Atu melihat sketsaku.
“Ah sepertinya aku kenal tempat ini, bukankah ini Bar di distrik Oasis, jadi karena ini dahimu terluka?” ujar Atu sambil menyingkap poniku. Sontak semua menoleh, Aru bergegas menghampiriku.
“Kamu terluka?! Aku baru menyadarinya, pantas saja ada yang berbeda, kupikir itu karena gaya rambutmu barumu,” sesal Aru. Aku memang sengaja menyembunyikannya dari semua orang, karena itu pasti akan menimbulkan kehebohan. Padahal aku berusaha menutupinya dengan rambut dan sedikit bantuan make up dari Arai.
“Apa yang kamu lakukan di Bar itu?” tanya Damar penasaran. ia terlihat mencemaskanku.
“Kali berkelahi dengan siapa lagi?” sindir Obi.
Kulihat Sita menatap tajam padaku, ia seperti sedang memperingatkanku untuk tidak menyebarkan soal dirinya.
“Aku tersesat saat mengantar Akarin,…. Lalu engga sengaja kesandung,” jelasku. Obi tiba-tiba melempariku dengan kompas. Aku merasa heran karenanya.
“Lain kali gunakan itu supaya enggak tersesat,” ejek Obi.
Aku mendengus kesal,”Aku tersesat karena saat itu banyak orang, bukan karena tidak tahu tempat,” aku membela diri, tidak mau kalah.
Bel pun berbunyi, kami semua pun masuk ke kelas. Aku penasaran dengan ucapan Atu tentang Distrik Oasis, jadi aku bertanya padanya.
“Soal ucapanmu barusan, sepertinya kamu tahu banyak tentang distrik itu ya?” tanyaku.
Atu tersenyum tipis, “Tentu, karena aku disana semalam,”
“Eh?” Aku sulit mencerna informasi yang terlalu tiba-tiba ini, sulit dipercaya jika Atu, berada disana. Karena seingatku, ia punya aturan jam malam yang ketat dari Ayahnya.
“Hanya bercanda,” Atu terkekeh, aku tidak mengerti apa yang sedang ia tertawakan, terkadang berada didekatnya membuatku tidak nyaman,”Aku mengetahuinya, karena kebanyakan siswa disini membicarakannya, distrik itu terkenal dengan banyaknya preman dan mafia, mungkin lebih mirip seperti sarang kejahatan,”
“Begitu ya,” Aku mengangguk.
…
“Aku lapar, beri aku cemilan!” teriak Akarin sambil memelas padaku. Aku mendelik, menghela nafasku.
“Ini kamarku bukan dapur, kenapa tidak buat saja sendiri sana,” ketusku.
Akarin berpura-pura menangis didepanku, sambil menutupi wajah dengan kedua tangannya,”Aku sedang sibuk, maaf,” jelasku sambil menutup pintu, tapi ditahan oleh Akarin.
“Aku mohon buatkan aku cemilan, menulis tanpa memakan sesuatu rasanya tidak enak, akan kuberi kamu uang, bagaimana?” tawarnya membuatku berubah pikiran dan menyetujui permintaan Akarin.
“Em, baiklah. Tunggu disini,” ujarku.
Akarin menghelan nafas, “giliran dengar uang saja, langsung gerak cepat,” gumamnya.
Aku memakai celemekku, lalu melipat lengan hoodieku. Kali ini aku ingin membuat kroket sapi tanpa minyak. Kusiapkan wortel dan kentang yang sudah dikupas untuk dikukus. Setelah itu, kupotong menyerupai dadu.
“Aku boleh bantu?” tanya Arai yang terlihat penasaran. Aku pun merasa tertolong. Jika dilakukan berdua, memasak bisa jadi lebih cepat.
“Tentu, tolong cuci jamur kancingnya lalu potong-potong dadu, aku akan menyiapkan bumbunnya,” titahku pada Arai. Ia mengangguk.
Bumbu yang dibutuhkan untuk kroket sapi adalah bawang Bombay cincang dan bawang putih, bawang merah, dan cabe rawit yang sudah kuhaluskan dengan ulekan. Kemudian aku menumis bumbu halus dan bawang Bombay hingga kecoklatan, bau harum dari masakan menguar, Akarin yang sedari tadi berkutat dengan laptop pun datang ke dapur.
“Bau nya enak, perutku jadi lapar,” puji Akarin.
“Sebaiknya kamu bantu kami, daripada diam saja kan?” ejek Arai. Aku pun sontak menahan tawa.
“Aku akan membantunya dengan cara menghabiskannya,” ujar Akarin tidak terima.
Kutambahkan sedikit air hingga bumbu matang. Jamur yang sudah dicincang, kumasukan dan jamur dimasak hingga airnya bisa keluar atau agak kering. Kuambil daging giling sisa kemarin, selanjutnya wortel dan kentang. Kemudian mengaduknya dengan rata.
“Kamu seperti terlahir kembali, padahal sebelumnya menyentuh dapur pun kamu tidak mau, mungkinkah kamu mengulang waktu seperti di film-film?” komentar Akarin, sontak membuatku terdiam dan menoleh ke arahnya.
“Ah aku pun sempat berpikir begitu,” Arai juga ikut menyahut.
Aku terkekeh, “Apa-apaan kalian ini? memang ada semacam itu? manusia hanya bisa hidup satu kali,” jelasku meski sedikit kontradiktif dengan kenyataan yang kualami.
“Benar juga, tapi aku penasaran kenapa kamu berubah? Maksudku pasti ada alasan, apa karena kamu baru saja mengalami hal berat?” Penasaran Akarin masih juga belum selesai. Selama beberapa saat aku terdiam, alasanku berubah salah satunya memang karena perjalanan waktu itu, tapi alasan utamanya adalah aku ingin menikmati hidup dengan cara yang kuinginkan. Aku menyadari terlalu klise tapi begitulah kenyataannya.
“Jadi benar, kamu baru saja mengalami hal berat, makanya kau berubah seperti ini,” ujar Arai membuyarkan lamunanku.
Kutambahkan tambahan bumbu dan aduk rata. Setelah matang, kutiriskan ke wadah. Selanjutnya adalah membuat bagian kulitnya, kubuat dari kentang rebus yang sudah dihaluskan. Kemudian kentang halus tersebut, kuberi bumbu dan mayones. Aku memasukkan isian sapi ke dalam kentang. Tidak ada takaran khusus, karena aku malas melakukannya.
“Ah aku tidak punya alasannya, mungkin karena aku bosan menjadi pusat perhatian,” jelasku sambil membaluri kroket yang disusun di Loyang dengan putih telur dan tepung panir. Kemudian kumasukkan ke oven dalam suhu 180 derajat selama dua jam.
“Masih lama?! Aku harus menunggu cemilan ini selama 2 jam? Yang benar saja,” keluh Akarin.
Aku menghela nafas kasar, “Tentu saja, lagi pula ini bukan hanya untukmu, ini buat stock nanti,”