Hata-Hata Ni Dodo

Linggarjati Bratawati
Chapter #13

Chapter 13

Kekacauan selalu bekerja diam-diam, itu kutipan yang kubaca dari buku favoritku. Sekarang aku meyakini bahwa tidak seorang pun mengetahui kapan dirinya menjadi berantakan sampai ia menuntut kematiannya lebih cepat.

Sita yang baru datang ke sekolah, hanya terdiam di depan mading. Orang-orang mengerumuninya, diantara mereka mulai berbisik membicarakan sesuatu. Tatapan Sita beralih padaku, kubisa melihat air mata di pelupuk matanya.

Plakk

Tamparan keras mengenai pipiku, ia menyeretku ke atap. Aku sudah menduganya, ia akan menyalahkanku atas tersebar rumor dirinya. Aku yang pertama kali melihat ia di Distrik Oasis, tentu akan menjadi orang paling dicurigai olehnya. Tapi ia tidak bisa mencurigaiku jika kehamilannya juga diketahui semua orang.

“Kamu yang melakukannya? Sepertinya keberadaanmu disana, bukan hanya kebetulan, kamu mengikutiku untuk mengumpulkan informasiku dan menyebarkannya ke semua orang kan?” tukas Sita menatap tajam padaku. Aku tidak akan membuang waktuku hanya untuk tindakan kekanak-kanakan semacam itu, bukankah yang harus ia curigai adalah teman-teman terdekatnya, ketimbang aku. Memikirkannya, membuatku sedikit kesal.

“Itu bukan aku, bahkan aku tidak tahu kamu hamil,” ujarku membela diri. Meski sebenarnya aku mengetahui kehamilan Sita dari Om Gi.

“Ia akan mati, karena kehamilannya itulah, yang menyeretnya ke dalam masalah,” ucapan Om Gi terlintas dipikiranku.

Sita terkekeh,”Kamu ingin membalas dendam kan? Untuk perundungan yang kamu alami,” ia mencengkeram kerah bajuku, berniat menamparku tapi ditahan oleh Damar.

“Tenangkan dirimu, Lesi tidak mungkin melakukannya,” ujar Damar. Obi dan Aru pun menghampiriku.

Sita terisak dengan tubuh gemetar, ia merasa ketakutan. Itu jelas saja, masalah seperti ini bisa jadi skandal besar untuk karirnya sebagai idol. Melihat Sita yang terduduk, membuat Damar memeluknya agar membuat gadis itu tenang.

“Hanya Lesi satu-satunya yang tahu Sita mengunjungi tempat itu, ia bahkan tidak pernah cerita padaku, meski kami teman dekatnya, bukankah itu wajar jika Sita mencurigainya?” Atu sengaja menggiring asumsinya untuk menarik kecurigaan orang-orang.

“Aku memang berada disana, tapi itu benar-benar kebetulan, aku hanya ingin menolong anak kecil, yang tersesat, aku bahkan tidak menyangka bahwa anak itu adalah adik Sita,” jelasku menceritakan kebenarannya.

“Lalu kamu membocorkannya? Padahal aku sudah melarangmu untuk tidak menyebarkannya,” komentar Sita disela tangisannya.

“Satu-satunya yang kutahu kamu mengunjungi tempat itu, aku bahkan tidak tahu kamu juga terkena skandal kehamilan itu, tapi yang jelas bukan aku pelakunya,” ujarku dengan yakin. Aku menduga ada seseorang yang memanfaatkan situasi ini untuk memicu perselisihan antara aku dan Sita. Atu kemudian menghampiri Sita, ia mengusap air matanya.

“Untuk sekarang kamu izin sekolah. Biar aku saja yang mengurus soal perizinannya,” ujar Atu menunjukkan kepeduliannya. Sita hanya mengangguk, ia mulai tenang setelah mendengar ucapan Atu.

“Aku juga akan mengantarmu,” timpal Damar mengenggam tangan Sita.

 

 

“Apa ada tambahan lain? Mau sekalian susunya Kak? Beli 1 Gratis 1,” Kasir tersenyum ramah padaku.

“Tentu,” sahutku, kemudian kubayar jajananku. Sebentar lagi ujian semester, untuk menghilangkan kebosananku karena belajar, aku keluar sebentar melihat sekitar.

Aku duduk di kursi depan supermarket, untuk menikmati cemilanku, tidak lupa catatan yang telah kucatat sebelumnya kukeluarkan dari ranselku. Tidak seperti sebelumnya, aku belajar cukup keras seperti orang gila, hingga ketika aku sakit pun tetap memaksakan diri. Sekarang, aku lebih santai ketika belajar dengan tetap memperhatikan jam istirahatku.

“Aku sudah melakukannya berulang kali, tapi wanita itu memang tidak ingin diselamatkan,” ucapan Om Gi terlintas dalam pikiranku, memangnya apa yang membuat Ibuku pantas untuk diselamatkan. Hatiku menjadi begitu dingin, karena wanita itu tidak pernah mengajariku untuk mencintainya sejak awal. Sepertinya aku tidak akan peduli meski ia mati sekali pun.

Ia akan mati, kehamilannya itu membawanya pada masalah, bahkan Ibumu menyuruh Seira menggugurkannya,”

Ketika mendengar hubungan Sita dan Ibu, perasaanku menjadi campur aduk. Namun kutepis perasaan itu jauh dari hatiku. Seseorang yang telah mengkhianatiku, tidak pantas mendapat belas kasihan. Alih-alih merasa bersimpati, aku tidak merasakan apa-apa.

“Luar biasa, catatanmu lengkap juga, bolehkah aku menyalinnya?” tanya Damar yang tiba-tiba sudah berada dibelakangku, membuatku sontak menoleh ke arahnya.

“Apa yang kamu lakukan disini?!”

“Belanja, memangnya apalagi,” ujar Damar sembari menunjukkan tentengan kertas belanja.

Damar membeli susu Ibu hamil dan beberapa vitamin, sepertinya ia membelinya untuk Sita. Pria itu begitu menjaga Sita, membuatku sedikit iri ketika melihatnya.

“Bagaimana keadaan Sita? Dan juga sekolahnya?” tanyaku pada Damar tanpa menoleh padanya.

“Dia baik-baik saja, hanya sedikit pusing, untuk sekolah, Sita hanya diberi pilihan untuk keluar atau cuti sementara, tapi berkat Atu yang membujuk kepala sekolah, ia hanya diizinkan untuk cuti saja,” ujar Damar kemudian membuka botol minuman rasa lemon lalu meminumnya. Aku kagum dengan Atu, gadis itu bisa membeli keadilan dengan pengaruhnya, tapi kalau dipikirkan lagi itu terlihat mengerikan.

Kami berdua pulang bersama, hari itu sedang ada festival. Semacam perlombaan untuk memperkenalkan makanan dari tiap daerah. Karena jaraknya tidak terlalu jauh aku memutuskan untuk pergi kesana bersama Damar. Selain festival makanan, ternyata ada pasar malam juga. Banyak orang yang datang kesana, saking ramainya, membuat kami harus berdesak-desakan ketika membeli makanan.

Makanan yang kubeli adalah takoyaki, meski aku ragu apa makanan tersebut masih bisa disebut begitu. Hal itu karena isiannya yang berisi sosis alih-alih gurita. Aku juga membeli es cekek, mungkin namanya terinspirasi dari cara memegangnya yang seperti mencekik. Memikirkannya, membuatku tertawa tanpa sadar.

“Ada apa?” tanya Damar.

“Ah ini, kurasa makanan punya nama yang beda jauh dengan bahan utamanya,” jawabku di sela tawa.

“Benar juga, contohnya Chicken mini ini, meski disebutnya ayam, yang terasa hanya tepung goreng saja,” Damar menunjukkan sebungus Chicken mini padaku. Namun aku malah terpaku dengan banyaknya bumbu cabai, yang laki-laki itu tabur.

“Perutmu aman kan?” Aku menautkan alisku.

“Tentu, kenapa?” Damar dengan polos bertanya.

“Kamu terlalu banyak menaburkan cabai bubuk, perutmu bisa sakit,”

“Kamu mencemaskanku?” goda Damar.

Aku memalingkan wajahku, “T-tidak,”

“Yang benar?” Damar mendekatkan wajahku. Aku pun sontak mendorongnya sedikit.

“Iya ih,” ketusku.

Setelah membeli makanan, kami pergi ke bukit yang tidak jauh dari tempat festival. Dari sana, kami bisa melihat lampu-lampu yang saling menyorot dengan warna berbeda.

“Disini indah ya,” Damar menatap suasana pasar malam dengan penuh kagum.

Aku mengangguk,”Mungkin karena hari ini cerah, jadi kita bisa melihat bintang, ditambah dari lampu sorot pasar malam,” Aku duduk di salah satu bangku disana, diikuti Damar yang duduk disampingku.

“Untuk kandungannya Sita bagaimana? Kuharap skandal itu tidak membuatnya terguncang,” Kedua mataku menerawang ke arah keramaian.

“Awalnya Sita ingin menggugurkannya, aku jelas menolak itu, bayi itu tidak salah apa-apa,” jelas Damar dengan tatapan yang seakan menerawang ke sesuatu yang lain.

“Kenapa kamu mencegahnya? Maksudku itu keinginannya kan? Jika Sita tidak menginginkan bayi itu, akan lebih baik digugurkan saja,” ujarku dengan senyum getir.

Damar terdiam, ia terkejut mendengar ucapanku. Aku bisa memahaminya, apa yang kukatakan adalah terlalu kejam.

“Eh? Kamu pasti bercanda mengatakan itu kan?” Damar memastikan ucapanku.

“Tidak, aku serius, itu cara yang paling masuk akal untuk menyelamatkan sekolah dan juga karirnya, kamu tidak bisa terus menerus naif dengan berpikir mempertahankan bayi itu, disaat kamu ingin Sita tetap idol dan bisa bersekolah seperti biasanya,” jelasku.

Damar menghela nafas dalam, rahangnya mengeras dengan tatapan tajam padaku. Cahaya bulan mengarah padanya, memperlihatkan sebagian wajahnya. Ini pertama kali bagiku melihatnya marah didepanku langsung. Pria itu pasti berusaha keras untuk menahan ledakan emosinya, meski kemarahan yang ditunjukkan dari raut wajahnya sangat jelas terlihat.

“Ucapanmu keterlaluan, menurutku itu bukan sesuatu yang baik untuk diutarakan dengan santai seperti itu,” ujar Damar di sela helaan nafasnya.

Aku menghela nafas, membuang kotak susu yang sudah habis ke tong sampah, “Aku tidak peduli kamu kecewa atau tidak, tapi itulah faktanya,” kemudian aku pun beranjak bangun dan pergi.

“Apa termasuk bayi itu? kamu juga tidak mempedulikannya?” tanya Damar membuatku langkahku terhenti. Membiarkan bayi itu tiada adalah cara paling manusiawi untuk menyelamatkan hidupnya, daripada melahirkannya jika pada akhirnya tidak pernah diinginkan oleh Ibunya sendiri. Sayangnya aku tidak bisa mengatakan hal ini pada Damar, sehingga pikiran itu hanya kusimpan sendiri dalam kepalaku.

“Tentu, termasuk bayi itu, aku tidak peduli ia mati atau tidak,” jelasku tanpa menoleh padanya.

 

….

Sejak saat itu Damar tidak lagi mengunjungi klub, surat pengunduran diri miliknya tergeletak begitu saja di meja. Ia mengatakan alasannya karena ingin menjaga Sita. Namun, aku merasa surat itu ditujukan padaku dan akulah yang menjadi penyebab dari keluarnya ia dari klub ini.

“Jika Damar keluar, apa Sita juga?” tanya Aru.

Obi mengangguk, “Ya, ia mengirimkannya padaku kemarin,”

“Kita hanya bisa menghargai pilihan mereka,” timpal Atu.

“Bolehkah aku ambil cuti sementara? Aku ingin rehat sebentar,” ujarku pada Obi.

“Tentu, kamu bisa kembali kapan saja,” sahut Obi tanpa banyak bertanya, seolah ia mengerti dengan keadaanku.

Aku banyak menghabiskan waktuku di perpustakaan, hanya untuk mempelajari materi untuk persiapan ujian.

“Curang, seharusnya kabari aku jika mau ke perpustakaan,” celetuk Aru sembari membawa tumpukan buku. Aku ragu ia akan membaca buku-buku tersebut, yang tebalnya saja sudah membuat seseorang menyerah sebelum membacanya. Sementara itu Obi duduk didepanku. Pria itu tidak banyak bicara, tidak seperti biasanya.

“Apa? Ini perpustakaan milik sekolah, jadi bebas dong bagi kami untuk disini,” ketus Obi seakan menyadari sedang diamati. Kutarik ucapanku, aku berharap agar ia tetap diam, karena sekalinya bicara maka apa yang keluar dari mulut pria itu hanya sindiran halus yang menusuk sampai ulu hati.

“Aku juga tahu soal itu,” ujarku dengan cepat, “Kamu serius akan membaca semuanya?” Aku pun beralih ke Aru yang tampak serius membaca, meski aku yakin gadis itu tidak benar-benar mengerti dengan yang dibacanya.

“Aku sebenarnya bingung mulai darimana, jadi kubaca saja semua,” ujar Aru dengan sedikit menelengkan kepalanya.

Kemudian aku menutup buku yang sedang dibaca Aru, dan menyingkirkannya. Kuberi ia catatan milikku.

“Pakai saja ini, aku sudah meringkas poin-poinnya,” ujarku.

“Benarkah? Kamu tidak keberatan membiarkanku menyalinnya, bahkan Obi pun tidak pernah melakukannya, terima kasih,” Aru terlihat antusias.

“Itu karena kamu terus mengejek tulisan tanganku, jadi aku tidak tahan,” ujar Obi tidak terima.

Aru cemberut, “tapi tulisanmu memang jelek, aku bahkan tidak bisa membedakan huruf I dan L, ketika membacanya,” sontak aku tertawa, membuat penjaga disana memperingatkanku agar tidak berisik. 

“Apa hari ini kamu mau pulang bersama?” tawar Obi, tidak biasanya pria itu menawarkanku pulang bersamanya. Aku penasaran apa yang membuat ia berubah.

“Tentu,” sahutku tersenyum tipis.

“Ah soal olimpiade itu, bukankah sebentar lagi? Sudah menyelesaikannya?” tanya Aru penasaran.

“Aku masih belum menulis apa-apa,” jawab Obi.

Aku terperangah, “Serius? ukankaha da Atu?”

“Memang benar, tapi aku tidak terbiasa dekat dengannya,”

“Apa kamu gugup jika bersama dengannya?” godaku.

“Tentu tidak,” sangkal Obi.

“Hanya bercanda, tapi tidak mengherankan jika seperti itu, ia gadis yang populer,” ujarku disela tawaku. Obi terlihat kecewa, meski aku tidak mengerti kenapa ia seperti itu. Mungkin saja ucapanku sedikit berlebihan.

“Bagaimana jika kita mengerjakannya bersama? Tentang novel yang akan diajukan untuk olimpiade,” usul Atu yang kemudian mengambil kursi dan duduk didekatkku.

“Ide bagus, haruskah kita tentukan tempatnya?” tanya Aru mulai bersemangat.

“Bagaimana jika di Cafe Pua-Pua Land? Kudengar itu baru dibuka seminggu yang lalu,” usul Atu kemudian yang disambut persetujuan Aru.

“Aku juga sempat mendengar itu dari temanku, katanya café itu terkenal dengan dessertnya,” jelas Aru sambil menepukkan tangannya. Baik Obi atau Aru, mereka mulai terbiasa dengan kehadiran Atu, tanpa merasa waspada. Tapi, aku tidak bisa mempercayainya begitu saja, sebelum memastikan apa ia layak dipercaya atau tidak.

“Setelah ujian, hari sabtu jam 9 kita ketemu disana,” ujar Obi, “Kamu ikut kan?” tanyanya padaku.

Aku mengangguk,”Boleh saja,”

..

 

Aku dan Obi pulang bersama, sementara Aru ia mendadak ada urusan jadi menyuruh kami pergi duluan. Sepanjang perjalanan, aku tidak banyak bicara. Aku masih teringat dengan nasib Sita. Aku tidak mengerti kenapa harus repot-repot memikirkannya. Ini benar-benar menjengkelkan.

Obi yang tiba-tiba berhenti membuat hidungku menabrak punggungnya, aku meringis sambil memegangi hidungku,”Kenapa berhenti tiba-tiba begitu?” ia menoleh padaku, membungkuk tubuhnya sedikit lalu menatapku sambil menelengkan lehernya.

“Katakan, apa yang terjadi padamu?” tanyanya tiba-tiba. Aku pun terdiam sebentar, “Menakutkan rasanya melihatmu diam saja, sehari tidak melihatmu petakilan benar-benar membuatku tidak nyaman,” Aku ragu apa ia saat ini sedang menghiburku atau mengejekku.

Tiba-tiba Obi mendekatiku, merapikan rambutku. Degup jantung berdetak, apa-apaan situasi ini? Rasa gugup ini, sama seperti yang aku rasakan ketika di panti asuhan.

“Ehemm,” Aku berdehem, membuat pria itu menoleh padaku,” Menyentuh kepala perempuan itu, tidak sopan,”

“Kamu juga mencubit pipiku, itu apa namanya?” Obi menatapku dengan polos.

“Itu jelas beda, intinya kamu tidak bisa menyentuh kepala perempuan sembarangan seperti itu, mengerti,”

Lihat selengkapnya