Hata-Hata Ni Dodo

Linggarjati Bratawati
Chapter #14

Chapter 14


“Bagaimana menurut kalian?” tanya Obi.

“Ini masih draft kasarnya, aku belum melakukan finalisasi akhirnya,” timpalnya lagi.

“Aku menyukainya, apalagi ada adegan dimana tokoh utama perempuan yang berpelukan dengan laki-laki, itu romantis,” komentar Aru dengan penuh semangat. Karena terjadi beberapa hal, aku hampir melupakan peristiwa yang terjadi pada saat Olimpiade Sastra, saat itu aku dituduh melakukan plagiasi dari karya terkenal, karena hal itulah orang-orang mulai membenciku. Aku bertanya-tanya mungkinkah kejadian serupa juga akan terjadi meski orang berbeda yang mengalaminya?

“Lesi, menurutmu bagaimana?” tanya Atu membuyarkan lamunanku.

Aku tersenyum tipis, “Aku setuju dengan Aru, ini menarik,”

“Syukurlah kalo begitu, aku sedikit khawatir,” ujar Obi.

“Kamu khawatir?” Aku yang penasaran pun mulai bertanya.

“Enggak, aku hanya gugup apa ceritaku bisa diterima atau tidak,” Obi terlihat salah tingkah. Meski berbakat, ternyata ia masih bisa merasa gugup.

Kemudian setelah pertemuan itu, kami pulang. Saat itu sedang ramai, mungkin karena masih liburan. Ada panggilan tidak terjawab dari Kakek, aku tidak bisa mengangkatnya karena pasti menimbulkan kecurigaan.

“Kamu tidak mengangkat teleponmu?” tanya Atu yang berdiri disampingku, sambil menunggu lampu menjadi hijau.

“Hanya spam biasa,” jawabku dengan asal.

“Begitu ya,” Atu sedikit menelengkan kepalanya, berbisik,”Jika spam biasa, seharusnya tidak ada namanya kan?” Aku sontak menoleh, gadis ini mengerikan. Ia bisa mengetahuinya tanpa terlihat menoleh ke ponselku.

Atu terkekeh, “Apa kamu selalu seserius ini? aku hanya penasaran dengan nama pria gua hantu yang meneleponmu, karena penamaannya cukup unik,”

“Oh itu, aku hanya memanggilnya sesuai sifatnya saja,” ujarku. Kunamai Kakek di daftar kontakku, karena terinspirasi dari salah satu komik favoritku yaitu Si Buta dari Gua Hantu. Tapi nama itu memang sangat mencerminkan Kakek, yang terkadang bisa tahu segalanya tanpa melihat.

Tiba-tiba seseorang mendorongku hingga aku terjatuh ke tengah jalan, aku tidak bisa melihat pria itu dengan jelas, tapi tato di lehernya menarik perhatianku. Mobil melaju dengan cepat sambil beberapa kali memencet klaksonnya.

Obi tanpa pikir panjang memelukku untuk melindungiku, seakan berpikir ia bisa menghentikan mobil itu dengan tubuhnya. Namun, untung saja mobil itu berhenti tepat didepan kami berdua.

Situasi tersebut menimbulkan kepanikan bagi sekitar. Aru buru-buru menghampiriku.

“Kalian berdua baik-baik saja?” tanya Aru.

“Biar kupanggil polisi, seseorang baru saja mendorongmu,” ujar salah satu pria berjas abu sambil mengetik angka di ponselnya.

Tangan Obi terkilir, ia meringis menahan sakit. Setelah itu kami pergi ke klinik terdekat untuk mengobati Obi. Aku mulai mencemaskannya, karena bagaimana pun ini salahku yang lengah dengan sekitar.

“Sudah kubilang aku baik-baik saja, tanganku hanya terkilir saja,” ujar Obi yang seakan mencoba menenangkanku.

“Kamu ingat siapa yang mendorongmu?” tanya Aru padaku. Aku menggeleng, tapi yang mendorongku sudah dipastikan adalah seorang pria. Tapi ia memakai masker dan kacamata hitam, dan sulit bagiku untuk mengenalinya.

“Kesampingkan soal itu, lalu bagaimana dengan karyanya nanti? Kamu tidak bisa menulis dengan tanganmu seperti ini,” ujarku khawatir.

“Bagaimana jika kamu yang menggantikan Obi untuk menulisnya?” usul Aru.

“Eh? Itu tidak mungkin, karena nanti pasti berbeda,” ujarku.

“Kurasa itu ide bagus, kamu hanya tinggal menyesuaikan saja, kerangka ceritanya nanti dari Obi, bagaimana?” timpal Atu.

“Benar, hanya finalisasi ending saja, jadi kamu tidak perlu khawatir,” ujar Obi. Aku pun terpaksa menyetujuinya.

“Baiklah kalo begitu,” ujarku pasrah. Aru tersenyum dan memelukku.

 

….

 

Liburku yang tenang harus kuisi dengan mengerjakan tugas di luar sekolah. Untuk itulah aku jadi lebih sering mengunjungi Obi.

“Bukankah tokoh pria ini sedikit mirip denganmu,” ujarku tersenyum tipis.

“Begitukah? Menurutmu itu jelek? Maksudku tokoh utamanya mungkin agak pasif, pasti tidak seimbang rasanya dengan tokoh utamanya, yang bahkan cenderung energik,” Obi memberikan komentarnya, sepertinya ia sedikit tidak percaya diri.

“Kurasa tidak. Aku menyukainya,” komentarku. Obi seketika terdiam, apa ucapanku tidak bisa dimengerti? Sepertinya begitu. Seharusnya aku menggunakan penjelasan yang bisa dipahami.

“Maksudku, kedua tokoh ini menarik, mereka bisa saling melengkapi satu sama lain,” jelasku. Obi mengangguk mengerti, tapi wajahnya mulai merah padam. Kutempelkan punggung tanganku ke dahinya.

“Kenapa tiba-tiba?” tanya Obi mengernyitkan dahi.

“Hanya memastikan, takut kamu demam, baru saja wajahmu merah,” tanganku yang satunya kutempelkan didahiku, aku menghela nafas lega,”syukurlah tidak demam,”

Obi menepis tanganku dan berbalik membelakangiku, “A-aku baik-baik saja,” ujarnya terbata-bata. Ia bahkan memegang dadanya, mengambil nafas pelan. Aku yang khawatir mulai mendekatinya, sepertinya kondisi Obi cukup parah, mungkin saja karena tangan yang terkilir itu memengaruhi kesehatannya.

“Serius kamu baik-baik saja?” tanyaku menyentuh pundaknya. Obi buru-buru pergi ke dapur, tapi ujung jemari kakinya terkena pintu, membuat ia kesakitan. Saat aku ingin mendekatinya, ia mengatakan baik-baik saja.

“Ada apa?” tanya Aru sambil membawa kantong kresek berisi buah pear.

“Ah itu, tadi wajahnya merah, aku sedikit khawatir,” jelasku.

“Ini karena cuacanya yang panas,” ujar Obi kembali dari dapur. Ia meminum segelas air.

“Begitu ya, memang agak aneh, biasanya kalo demam kau pasti pucat, tapi jika sampai wajahmu memerah mungkin saja..” goda Aru menggantung ucapannya. Obi terlihat panik. Aku tidak sama sekali mengerti.

“Ah lupakan saja, mending kita makan buah saja, hari ini aku dapat diskon,” ujar Aru mengalihkan pembicaraan.

Saat itu hujan deras, aku lupa membawa payungku. Aku memutuskan untuk sedikit lebih lama berada di rumah Aru.

“Deras ya, akhir-akhir ini hujan selalu turun di jam sekarang,” ujar Aru sambil melihat tetesan hujan dari jendela.

“Kamu keluar di hujan seperti ini?” tanya Nenek Aru pada Arai yang baru sampai. Ia membawa dua payung, padahal sudah kubilang tidak perlu kesini. Tapi ia bersikeras untuk menjemputku. Rasanya, adikku terlalu protektif padaku. Itu agak berlebihan.

“Tentu saja kan? Merepotkan jika Kakak hilang lagi, nanti malah harus mencari-cari ke semua tempat,” ujar Arai sambil mengeringkan rambutnya dengan handuk.

Obi mengangguk, “Aku setuju, Kakakmu ini seperti anak anjing yang mudah tersesat,” ia melontarkan ejekan seperti biasa.

“Aku sudah lama tidak lihat Akarin, apa ia baik-baik saja?” tanya Aru menyajikan teh hangat untuk kami semua. Aku dan Arai hanya terdiam, sambil menghangatkan tangan dengan memegang secangkir teh.

“Ada apa? Kok diam?” Obi penasaran.

Tiba-tiba suara benda jatuh terdengar, membuatku sontak menoleh ke sumber suara. Buru-buru kami menghampirinnya. Ternyata Akarin yang terpeleset, wajahnya memerah dengan mata yang sayu. Wanita itu pasti minum terlalu banyak.

Obi dan Aru lalu membantu Akarin berdiri, “Kamu baik-baik saja?” tanya Aru.

Akarin cengengesan,”Aman saja, tadi aku habis beli ayam goreng dari kedai baru buka itu,” ia menunjukkan paperbag yang basah kena hujan, Akarin mendengus kesal ketika melihatnya, “Ayamku jadi basah gara-gara hujan,” keluhnya di sela cegukan.

Kemudian Akarin beralih menatapku, ia memicingkan matanya seakan memastikan sesuatu. Setelah itu ia melongo, lalu berlari memelukku dan Arai.

“Kemana saja kalian? pergi begitu saja meninggalkanku sendiri, menyebalkan,” gerutu Akarin. Obi dan Aru beradu pandang. Tubuh Akarin sangat panas, kemudian kupegang dahinya, benar saja wanita ini sedang demam.

“Aru bisa pesankan taksi?”

Aru mengangguk, ia bergegas mengambil ponselnya. Kemudian aku dan Arai memutuskan untuk pulang.

 

Akhirnya aku dan Arai pun sampai di rumah Akarin. Kuletakkan tas milik Akarin dan membantu ia duduk di sisi ranjang. Adikku mengambil baju ganti kemudian memakaikan pada Akarin.

Tiba-tiba Akarin terisak, pasti menyakitkan sekali baginya. Aku memahami betapa tidak nyamannya ketika sakit.

“Sekarang minum obat dulu, setelah itu tidur,” titahku mengusap airmatanya.

“Maafkan aku,” ujar Akarin dengan pelan, “Ucapanku pasti menyakiti kalian,” ia masih teringat dengan kejadian itu.

“Apa yang kamu katakan? Kami bahkan sudah lupa dengan itu, sebenarnya kami berniat untuk pulang hari ini, rasanya aneh jika tidak melihat kamu sehari saja,” ucap Arai mencoba mencairkan suasana. Ia mengatakan kebohongan itu agar membuat Akarin tenang.

“Benarkah?” Akarin menoleh ke Arai, lalu beralih padaku.

“Tentu, aku juga merasa cemas jika harus membiarkanmu mengurus rumah ini,” Aku tersenyum tipis.

“Apa-apaan itu? Begitukah caramu mencemaskanku?” keluh Akarin. Sontak aku dan Arai tertawa.

Kemudian Akarin berbaring, aku menyelimutinya. Arai mengambil air hangat dan handuk untuk kompres. Beberapa jam berlalu, entah sejak kapan kami tertidur disampingnya sambil memeluk satu sama lain.

….

“Aku tidak mau, teksturnya aneh,” keluh Akarin seperti anak kecil.

“Berhenti bersikap seperti anak kecil, makan saja dan tidak usah protes,” tekanku sambil menyuapinya bubur. Akarin sambil menutup mata, melahap bubur tersebut. ia seperti akan memuntahkannya lagi, buru-buru Arai menahan mulut Akarin dengan tangannya.

“Telan, telan,” ujar Arai. Aku tidak menyangka bahwa Akarin ternyata lebih merepotkan daripada Miwa jika perihal makanan. Aku berharap wanita itu segera sembuh saja.

Kemudian Kakek pun datang, sambil membawa begitu banyak buah-buahan dan cemilan ringan.

“Saat mendengar kalian berdua kabur dari rumah, aku sempat khawatir,” ujar Kakek sembari salah satu jeruk dan mengupasnya.

Lihat selengkapnya