“Acara menginap? Kenapa tiba-tiba kau ingin mengadakan itu?” tanyaku penasaran.
“Kupikir kita butuh suasana baru, anak panti juga merindukanmu, mereka ingin bertemu denganmu,” jelas Damar sambil memakan keripik talas yang baru saja kubeli di toko terdekat.
“Bolehkah aku ikut?” Nova menyosor di antara kami berdua, ia pasti mendengar pembicaraanku dengan Damar.
“Ah kamu mau ikut? Tentu boleh saja, kebetulan juga aku mengundang yang lain, lebih ramai lebih menyenangkan,” ujar Damar, tangannya tidak berhenti mengambil keripik talas tersebut.
Aku tidak bisa melarang Nova, gadis itu pasti akan menggunakan ancaman yang sama, seperti sebelumnya.
“Yang lain itu berarti termasuk Aru, Obi, Lesi kan?” tanyaku memastikan, meski jawabannya sudah pasti ketiga orang itu akan ikut. Semenjak ikut klub literatur, Damar hanya lengket dengan mereka bertiga, padahal ia punya banyak teman di sekolah.
“Betul, tapi Atu dan Adiknya Lesi juga ikut kok,”
Aku tidak heran dengan adik Lesi yang ikut, tapi tidak biasanya Atu juga ingin ikut. Biasanya, gadis itu lebih memilih untuk menghabiskan waktunya di rumah atau bertemu orang-orang kaya. Ia selalu menceritakan kebosanannya ketika melakukan itu, meski jauh dalam hatiku aku merasa iri, karena Atu memiliki kehidupan yang tidak pernah diliputi rasa takut apapun.
“Kamu ikut kan?” tanya Damar membuyarkan lamunanku.
“Tentu,”
…..
Sambil menunggu yang lain, aku membantu Damar untuk menyiapkan kamar untuk menginap. Dibantu dengan anak-anak lain, mengangkat kasur lipat dan selimut.
Seorang anak perempuan, tampak malu-malu. Ia mengamatiku dari jauh, lalu aku pun menghampirinya. Ini pertama kali aku melihatnya.
“Namanya Sukma, usianya baru 7 tahun,” celetuk Damar sambil mengelus kepala Sukma.
“Begitu ya, kenalkan namaku Sita,” Aku memperkenalkan namaku sambil mengulurkan tangan. Ia membalas uluranku.
Kemudian Lesi, Obi, Atu, dan Aru datang. Seorang wanita mengantarkan mereka dengan mobil. Sementara Atu tentu diantar oleh supir pribadinya. Aku merasa pernah melihat wanita itu, tapi aku tidak ingat dimana.
“Akarin, hati-hati menurunkannya,” keluh Lesi kemudian membantu wanita itu yang terlihat kewalahan.
“Lama juga ya sampainya, ini sudah hampir siang,” komentar Damar membantu beberapa barang.
“Maaf tapi ada beberapa barang yang harus dibeli,” ujar Obi.
“Kamu ikut juga? Bukankah saat ini perilisan bukumu?” tanya Damar.
Akarin menggaruk tengkuknya yang tidak gatal, lalu menepuk pundak Damar, sepertinya mereka berdua sangat dekat, “Soal itu tidak perlu khawatir, aku bisa diwakili asistenku, hari ini aku ingin sedikit berlibur,” jelasnya.
“Seperti yang diharapkan Muse, aku bahkan sudah PO untuk karya terbarumu, semoga hari ini sampai di rumah,” timpal Aru tersenyum ceria. Tunggu sebentar, wanita ini adalah Muse? Penulis terkenal yang banyak mendapatkan penghargaan itu? karena aku terkejut aku sampai melongo tidak percaya dan menghampirinya. Akarin terkejut ketika aku mendekatinya.
“Kamu Muse? Sungguh?” Aku memastikannya berkali-kali.
“Ini pertama kalinya kamu melihatnya ya, tentu dia Muse, waktu itu ia pernah datang ke sekolah juga mengisi seminar, yang diadakan klub literatur.” jawab Damar. Seketika kekhawatiran yang kurasakan, hilang begitu saja ketika melihatnya. Tidak kusangka dalam hidupku, aku bisa bertemu seseorang yang kukagumi. Aku sudah lama mengoleksi karyanya dan bahkan mengirimkan surat penggemar untuknya. Sayang sekali ketika seminar itu dilaksanakan, aku tidak bisa datang karena harus mengurus Kei yang sedang sakit.
“Sita penggemar beratmu, ia punya koleksi bukumu,” ujar Damar. Aku tidak bisa berkata-kata karena saking senangnya.
“Oh begitu, senang bertemu denganmu, panggil saja aku Akarin,” ucapnya sambil mengulurkan tangan. Aku pun berjabat tangan dengannya. Tangannya sangat lembut saat kusentuh.
Selanjutnya untuk mengisi waktu sebelum malam, kami mengisinya dengan membacakan buku cerita dan bernyanyi bersama. Inilah yang aku tunggu, penampilan Damar ketika bernyanyi dengan gitarnya. Lagu yang akan dibawakan kali ini adalah laskar Pelangi dari Nidji.
“Mimpi adalah kunci,”
“Untuk kita menaklukan dunia,”
Suara mengalun bersama petikan gitar yang selaras. Alis Damar mengkerut dengan raut wajah yang mulai melunak, sesekali matanya terpejam seakan hanyut dalam nyanyiannya. Simpul tipis di ujung bibirnya membuatku semakin terpukau. Aku terus-menerus jatuh cinta berulang kali padanya. Namun, senyum Damar bukan untukku, melainkan hanya untuk Lesi. Tatapannya yang jernih, tidak sekali pun berpaling dari gadis itu.
Ketika petikan terakhir terdengar sebagai penutup lagu, semua orang sontak bertepuk tangan.
“Yuhu hebat!” teriak Akarin bertepuk tangan paling keras, sambil sesekali bersiul.
“Apa kamu tidak masalah dengan itu?” tanya Atu duduk disebelahku.
Aku yang bingung pun bertanya, “Apa?”
“Aku tahu kamu mencintainya, biasanya kamu akan marah jika melihat ia hanya memperhatikan gadis lain, tapi kenapa sekarang hanya diam saja?” tanya Atu penasaran. Apa yang ia katakan memang benar. Mungkin karena terlalu banyak yang kupikirkan, aku melupakan perasaanku. Ponselku bergetar, ternyata dari Nova.
Temui aku di dapur, ada sesuatu yang ingin kubicarakan.
Dari kejauhan kulihat Nova yang menatap tajam padaku, lalu ia masuk ke dalam.
“Kurasa kamu benar, tapi dibanding ini, ada sesuatu yang perlu aku lakukan,” jawabku. Kemudian aku meninggalkan Atu, untuk menyusul Nova.
Nova berada di dapur, ia menyilangkan tangannya dan lalu menoleh padaku.
“Lumayan cepat, kupikir kamu tidak akan menemuiku,” ujarnya sambil melihat jari jemarinya.
“Apa yang sebenarnya ingin kamu bicarakan?”
Nova mengerucutkan bibirnya, “Kamu tampak bersenang-senang hari ini, sampai melupakanku, itu membuatku sedih,”
Aku menghela nafas, gadis itu tidak sekalipun membiarkanku untuk menikmati waktuku. Jika tidak ingat dengan posisiku, ingin rasanya kutampar ia.
“Kali ini apa lagi yang kamu inginkan? Jika soal Damar bukankah aku sudah membantumu?”
“Kamu hanya mempertemukanku dengannya. Kamu tidak membantuku untuk bisa dekat dengannya,” tekan Nova.
Aku menghela nafas, “dekat atau tidaknya, itu tergantung usahamu, kenapa juga aku harus repot-repot mengurusnya,” Mendengar ucapanku, entah sejak kapan gadis itu memegang pisau dan menodongkannya padaku.
Ia memandangku lekat-lekat, “Kamu sepertinya sudah lupa dimana posisimu, sudah kubilang saat ini kelemahanmu ada di tanganku, jadi berhenti bersikap angkuh seperti itu, jelas kamu harus melakukan apa yang aku suruh, dan itu mutlak,”
Sebuah benda menggelinding mengenai kakiku, aku pun sontak menoleh. Lesi, gadis itu sejak kapan ia berada disana? Ia membawa sekardus buah-buahan, kemudian ia hanya menghampiriku dan Nova. Aku penasaran dengan apa yang ia lakukan setelah melihat ini. Namun tanpa kuduga, ia hanya memungut buah yang jatuh dan memasukkan kembali ke kardus. Seolah tidak ada yang terjadi, Lesi menuju wastafel dan mencuci beberapa buah, lalu pergi.
“Oyy berhenti, kamu melihatnya kan?” Pisau itu masih dipegang oleh Nova, ia sepertinya akan melukai Lesi. Adikku tidak punya rasa takut, karena hal itulah ia seringkali terlibat masalah dengan orang lain.
“Lupakan apa yang kamu lihat barusan, jika tidak, aku tidak akan membiarkanmu hidup tenang,” ancamnya menatap tajam pada Lesi.
Lesi mencengkeram tangan Nova, membuat ia menjatuhkan pisaunya, Nova meringis kesakitan, kemudian Lesi mengambil pisau itu lalu mencucinya.
“Padahal kamu bisa memintaku baik-baik, tanpa mengancamku seperti itu,” Lesi dengan santai mengelap pisau tersebut, ia pun menoleh padaku, kemudian memberikanku keranjang buah padaku, “cepat bawa ini, yang lain sudah menunggu,” Aku pun mengikutinya.
Selama beberapa saat aku dan Lesi tidak banyak bicara, ia bahkan tidak berkomentar apapun perihal kejadian tadi. Aku tidak bisa menebak apa yang ia pikirkan, sehingga entah kenapa itu membuatku gelisah.
“Sejauhmana kamu mendengarnya?” tanyaku menghentikan langkahnya. Cahaya sore hari menyorot padanya, ia mengenakan setelan kaus hitam yang dibalut kemeja kebesaran, dan dipadukan rok denim. Lesi berbalik padaku.
“Kurasa dari awal, aku tidak sengaja mendengarkannya,” ujarnya tidak peduli.
“Kamu pasti sengaja, karena tadi kamu sama sekali tidak terkejut,” Aku menatapnya lekat-lekat, “bahkan kali ini kamu ikut campur,”
Lesi menghela nafas, “Kamu keras kepala sekali, memang benar aku sengaja melakukannya, jika tidak maka anak-anak disini bisa melihatnya, itu jauh lebih merepotkan kan?” jelasnya, “sebaiknya kita kembali, anak-anak itu sudah menunggu buahnya,”
Kami pun kembali, anak-anak mulai menghampiriku dan Lesi. Dengan cepat, gadis itu bersikap normal seperti biasa. Buah yang sudah dicuci, lalu dikupas dan dimakan bersama-sama.
“Kamu lama sekali,” Atu menatapku dengan tatapan penuh selidik, lalu duduk disebelahku, “Apa karena Lesi? Kamu diganggu olehnya?” ia baru saja mencemaskanku. Karena dari kemarin, Atu terus menanyakan hal yang sama. Namun, aku ragu untuk bisa terbuka padanya.
“Aku membantunya membawa buah-buahan tadi,” jawabku. Atu mengangguk mengerti. Kemudian memotongkan buah pear dan memberikannya padaku.
“Ini makanlah,” ujarnya. Meski Atu selalu memperlihatkan sikap yang dingin, tapi melihat sosoknya saat ini, membuat pandanganku tentangnya perlahan berubah.
….
Ketika malam tiba, semua orang pun beristirahat. Kami tidur di kamar yang berbeda. Nova mengirim pesan teks padaku, mendesakku untuk segera melakukan sesuatu, agar ia bisa dekat dengan Damar.
“Malam ini? aku tidak keberatan, aku mengerti ini masa yang sulit untuk Nova, ia pasti masih kepikiran soal melanjutkan sekolah atau tidak,” ujar Damar saat aku menemui ia di depan kamarnya.
“Aku minta tolong, bisakah kamu bicara dengannya? Aku ingin ia berhenti cemas seperti itu,” Aku memohon pada Damar. Ia mengelus kepalaku sambil tersenyum tipis.
“Tentu, aku akan bicara padanya sekarang,” jawabnya, “kamu juga harus segera istirahat, aku tidak ingin kamu kenapa-napa,”
Aku mengangguk,”Tentu,” rasa senang seakan mau meledak dalam dadaku. bahkan saat ini, aku masih berharap keajaiban itu ada. Namun, bisakah aku membuka hatinya? Meski aku yakin pria di depanku ini sudah lama menutup perasaannya untukku. Jika saja saat itu aku menerima perasaannya, tentu kami akan menjadi sepasang kekasih yang saling mencintai. Entah kenapa ada sedikit penyesalan dalam hatiku.
Disaat Damar menemui Nova, aku memutuskan untuk berkeliling. Aku tidak bisa tidur, meski berulang kali aku memejamkan mata. Bulan itu dengan sempurna memancarkan cahayanya, hingga bintang disekitarnya juga disinarinya.
“Anak yang baik, kembalilah pulang,
“Ayah datang Ibu pulang”
“Surga itu milik semua orang”
“Dunia yang lekas hitam ini”
“Kan tetap bersinar meski sebentar”
Kudengar seseorang bersenandung, menyanyikan lagu yang biasa kudengar dari Ibuku. Suara itu berasal dari Lesi yang sedang duduk di ayunan, sambil menghadap ke arah perkotaan di bawah.
“Cintanya Ibu,”
“Kasihnya Ayah,”
“Pilih saja dua-duanya”
“Karena kami memberkatimu,”
“Dengan doa yang dipanjatkan sepenuh hati,”
Lesi terlonjak kaget begitu melihatku, sampai ia jatuh dari ayunan. Ia memegang dadanya, lalu beranjak bangun.
“Astaga kamu mengejutkanku, jangan berjalan di belakang seperti itu,” keluhnya.