POV Lesi
Aku merasa puas setelah berhasil menggagalkan rencana Atu, untung saja ia tidak curiga dengan jenis kertas yang kugunakan ketika mencetak naskah Obi. Aku tidak habis pikir kenapa aku bisa berteman dengan gadis mengerikan seperti itu di kehidupan pertamaku. Membayangkan tentang betapa polosnya aku dulu, membuatku bergidik ngeri.
Kemudian suara notifikasi ponselku membuyarkan lamunanku, ternyata dari Damar. ia mengajakku untuk menginap di panti asuhan.
“Benarkah? Kalo begitu sudah diputuskan kita bertiga ikut,” ujar Akarin asal memutuskan. Ia bahkan tidak bertanya pendapatku.
“Kenapa juga aku harus ikut?” Aku keberatan, tentu saja karena aku ingin menikmati waktu sendiri tanpa bertemu orang-orang.
“Jelas kan? Agar kamu bisa memasak makanan enak nanti, aku tidak bisa makanan lain jika bukan kamu yang masak,” jelas Akarin. Aku yakin itu hanya alasan dirinya saja.
“Tapi sesekali kamu keluar kamar, mengurung diri di kamar, nanti cepat tua,” ejek Arai. Darimana ia belajar cara mengejek? Pasti ini karena ketularan Obi.
“Aku tidak mengurung diri, aku hanya menikmati waktuku,” ucapku membela diri sendiri.
“Ayolah, ikut saja, ini pasti menyenangkan,” desak Akarin. Aku pun terpaksa menyetujuinya.
Keesokan harinya, Akarin yang sudah semangat menantikan acara menginap pun, bangun lebih awal. Padahal kami baru akan pergi jam 4 sore, bahkan ia sudah menyiapkan berbagai cemilan yang sudah dibungkus oleh plastik mika, dengan desain karakter kucing. Akarin memang sangat suka dengan anak kecil, meski sosoknya memang terlihat tidak bisa diandalkan.
“Sejak kapan kamu mempersiapkannya?” tanya Arai yang tampak terpukau.
“Dari jam 3 pagi, kuharap mereka menyukainya,” Akarin menyeka keringat di dahinya. Ketika aku berniat mengambil satu, buru-buru Akarin menepis tanganku.
“Ini buat anak-anak,” tegasnya. Aku mengerucutkan bibirku, padahal aku hanya menginginkan satu.
….
“Tolong bawa kardus yang itu,” Akarin menunjuk ke kardus yang berukuran sedang. di tengahnya terdapat maskot dari jeruk lokal.
“Kamu seperti mau pindah kesini,” komentar Obi setelah mengangkat salah satu kardus.
Ternyata bukan hanya Obi dan Aru yang ikut acara menginap, melainkan Atu juga. Gadis itu masih punya kepercayaan diri yang tinggi, untuk bisa menunjukkan wajahnya setelah berusaha menyabotase Obi. Aku memang tidak memberitahu Obi dan Aru, soal Atu. Aku tidak ingin merusak kesenangan mereka.
Arai menghampiriku, wajahnya terlihat cemas.
“Apa kau baik-baik saja?” tanyaku padanya.
“Temanku yang merundungku, dia disini,” bisik Arai. Aku terperangah, kemudian mencari sosok yang dikhawatirkan oleh Arai. Ternyata benar, ia ada disini. Namun, sepertinya ia juga sama terkejutnya dengan Arai, tapi ia mengabaikan kami berdua. Kurasa pukulan Arai membuat ia tidak berani mendekati adikku.
“Jangan khawatir, ia tidak akan macam-macam denganmu lagi,” Aku tersenyum tipis sambil merangkul Arai.
Akarin terlihat kewalahan membawa dua kardus di tangannya, meski kutawari bantuan, ia bersikeras ingin melakukannya sendiri. Pasti ia ingin menarik perhatian anak-anak.
“Akarin, hati-hati menurunkannya,” Aku memperingatinya, sambil membawa satu kardus dari tangannya.
Damar menghampiri Akarin, membawa kardus satu lagi yang berukuran besar,”biar aku bantu,” ujarnya sambil tersenyum tipis, “Apa ini? rasanya berat,” kedua mata Damar menelisik mencari isi dari celah kardus.
“Buah-buahan dan beberapa cemilan,” jelasku.
“Lama juga ya sampainya, ini sudah hampir siang,” ujar Damar.
“Maaf tadi ada beberapa barang yang harus dibeli,” timpal Obi yang buru-buru berdiri di sampingku.
Damar mengangguk, lalu ia menoleh ke Akarin, “Kamu ikut juga? Bukankah saat ini perilisan bukumu?”
Akarin menggaruk tengkuknya yang tidak gatal, lalu menepuk pundak Damar
“Soal itu tidak perlu khawatir, aku bisa diwakili asistenku, hari ini aku ingin sedikit berlibur,” jelasnya.
“Seperti yang diharapkan Muse, aku bahkan sudah PO untuk karya terbarumu, semoga hari ini sampai di rumah,” timpal Aru tersenyum ceria. Kemudian tiba-tiba Sita menghampiri Akarin.
“Kamu Muse? Sungguh?” Sita memastikannya berkali-kali.
“Ini pertama kalinya kamu melihatnya ya, tentu dia Muse,” jawab Damar. “Sita sangat menggemarimu, ia punya koleksi bukumu,” jadi begitu rupanya. Gadis itu adalah penggemar Akarin, ini pertama kali aku mengetahuinya. Meski di kehidupan sebelumnya, Sita memang pernah bercerita tentang buku yang ia sukai, tapi aku tidak tahu bahwa itu buku milik Akarin. Dunia ini memang sempit.
“Rupanya begitu, senang bertemu denganmu, panggil saja aku Akarin,” ucapnya sambil mengulurkan tangan. Sita dan Akarin pun berjabat tangan.
Anak-anak menyambut kedatangan kami. Begitu Akarin membuka cemilan yang sudah ia siapkan, mereka secara bersamaan menengadahkan tangannya. Ah, anak-anak itu menggemaskan.
“Aku ingin karakter yang ini,” ujar salah anak perempuan, sambil mengangkat tinggi cemilan tersebut.
“Tentu, tapi antri dulu ya,” Akarin mengarahkan anak-anak tersebut, untuk secara bergiliran mengambilnya. Dengan tertib, mereka menurutinya. Belum apa-apa, energiku rasanya terkuras. Aku memang menyukai anak kecil, tapi jika menghadapi sebanyak ini, malah membuatku lelah.
“Bukankah ini menyenangkan? Melihat mereka, membuatku bersemangat,” Aru terlihat antusias, darimana sumber semangatnya itu? Aku kagum, bagaimana ia bisa menghadapi luapan energi kerumunan ini.
“Kurasa begitu,” ujarku tersenyum kikuk.
Selanjutnya karena masih ada waktu beberapa jam, maka aku memutuskan untuk mempersiapkan makan malam, yang bertugas di bagian ini adalah Atu, Aru, dan aku. Sementara yang lain, seperti Obi, Damar, dan Akarin menemani anak-anak sambil membacakan buku cerita.
Hidangan yang kubuat adalah Mie Aceh, kupikir itu tidak akan memakan banyak waktu untuk membuatnya. Aku memotong sayur dan udang yang sudah dicuci bersih. Aru membantuku memotong sosis dan bawang Bombay, matanya berair karena pedasnya bawang Bombay.
“Kamu terampil juga ya,” komentar Atu tersenyum. Aku tidak merespon ucapannya.
Kemudian kusiapkan bumbu halus seperti bawang merah, bawang putih, kemiri, kacang goreng, ebi kering, penyedap, terasi dan cabai.
“Biar aku saja,” tawar Atu, ia menghaluskan semua bumbu dengan blender. Ia bersikap seperti biasanya, tapi itu malah membuatku semakin waspada. Hingga tanpa sadar aku mengamatinya.
“Aku tidak akan memasukkan apapun ke dalamnya,” ujar Atu hampir berbisik di telingaku, membuatku bergidik.
Mie yang sudah direbus kutiriskan dan sisihkan. Setelah itu kubuat telur orak-arik, lalu kutumis bawang Bombay hingga harum, kemudian aku memasukkan bumbu halus. Aroma lezat menyerbak memenuhi dapur.
“Ini kelihatan lezat, tapi sayang sekali aku tidak bisa memakannya,” sesal Atu
“Eh? Kenapa?” tanya Aru penasaran.
“Aku alergi gluten,”
Setelah matang, aku menyajikan ke piring, “ini aman, kamu bisa memakannya, aku menggunakan mie free gluten,”
“Seperti yang diharapkan dari Lesi, selalu perhatian dan penuh perhitungan,” ujar Atu dengan sudut bibir yang membentuk senyuman. Aku merasa bahwa ucapannya lebih seperti terdengar sindiran.
“Tentu saja kan? Ini Lesi kita,” Aru mengelus kepalaku sambil tertawa.
Makanan pun dihidangkan, semua orang menikmati makan malam dengan lahap. Kemudian untuk mengisi waktu yang tersisa, setelah makan diadakan semacam pertunjukkan kecil dari Damar. Lagu yang akan dibawakan kali ini adalah laskar Pelangi dari Nidji. Suara pria itu bersenandung lembut di telingaku, sesekali pria itu memejamkan matanya untuk menghayati lagu yang ia nyanyikan. Senyum simpul di bibir tipisnya.
“Dia keren, suaranya juga bagus kan?” tanya Arai yang duduk disebelahku.
“Ah iya, kupikir begitu,” jawabku.
“Apa kalian berdua bisa mengambil pisau di dapur? dan sekalian cucikan buah-buahannya juga,” Akarin menghampiriku dan Arai.
“Biar aku saja,” ujarku, lalu menoleh ke Arai,”kamu disini saja,”