“Rasanya ini aneh,” komentar Miwa dengan kedua matanya yang masih fokus ke bidak catur, ia bahkan belum menggerakan bidaknya selama 10 menit.
“Kenapa?” tanyaku sembari mengetuk jariku ke lengan.
Miwa beralih melihatku,”tentu saja kamu, aku memang memberimu kartu namaku, jika perlu sesuatu, tapi bukan berarti menjadi tempat curhat seperti ini,” ia mengerucutkan bibirnya.
Aku menghela nafas,”Aku tidak punya pilihan, hanya kamu yang luang, adikku sedang sibuk untuk persiapan ujian, bibiku sibuk dengan perilisan bukunya, sementara teman-temanku, mereka punya urusannya,” Aku membela diri.
Aku bercerita tentang kegundahanku yang menolong Sita meski kami berdua tidak dekat. Aku tidak menceritakannya secara langsung dengan menyebutkan detailnya. Aku berusaha untuk mengabaikan Sita, tapi pikiranku tentangnya tidak pernah hilang. Sejak kapan aku begitu peduli dengan bayi yang gadis itu kandung. Mungkinkah karena nasib yang sama antara aku dan bayi itu, yaitu lahir karena kecerobohan orang dewasa? Aku terus membayangkan, bagaimana jadinya bayi itu tetap dilahirkan, lalu di masa depan ia dibenci semua orang termasuk Ibunya, memikirkannya membuatku bergidik ngeri.
“Aku pikir itu bukan tindakan bodoh, jika A masih menganggap B sebagai sahabatnya, kamu tahu? Kadang hati dan mulut itu selalu punya jawaban berbeda, “ Miwa memindahkan bidak kuda.
“Kurasa temanku enggan menganggapnya seperti itu,” Aku menyangkalnya.
“Lalu apa? Jika bukan karena menganggapnya teman,”
“Mungkin perasaan senasib, entahlah, aku pun tidak paham,” Aku menelengkan kepalaku.
“Perasaan senasib? karena anak yang dikandung B itu tidak diketahui Ayahnya, sehingga A menyarankan B untuk menggugurkannya, karena A tahu betapa buruknya tidak diinginkan,” Miwa terlihat berpikir.
“Keraguannya muncul karena ia bingung, disatu sisi ia bukan sahabatnya, tapi disisi lain saat melihat nasib bayinya, seperti mengingatkan B akan dirinya sendiri, mungkin jawabannya satu,” lanjut Miwa.
Aku mengernyitkan dahi heran, “Apa itu?”
“Tidak atau Iya, A seharusnya tegas apa ia sungguh ada keinginan untuk menolong bayi yang dikandung B, entah sebagai sahabat atau karena perasaan senasib, jika tidak ada keinginan itu, B hanya perlu mengabaikannya,” jelas Miwa.
Meski Akarin pernah mengatakan bahwa setiap kelahiran tidak pernah sia-sia dan akan selalu ada orang yang menginginkannya, tapi tetap saja untuk berada di posisi itu, seseorang harus melalui hal pelik untuk bisa diterima oleh semua orang.
“Setiap orang punya hak lahir, meski ia terlahir karena kecerobohan seseorang, kita tidak bisa meletakkan kesalahan itu pada bayi itu kan? B khawatir jika bayi A tidak diterima nanti, padahal bayi selalu dijaga oleh sesuatu,” Miwa tersenyum tipis, ia menoleh padaku,”Mungkin kita biasa menyebutnya Tuhan, entah dikuatkan pikirannya atau tubuhnya, jadi B tidak harus khawatir soal itu,”
“Alih-alih menggugurkannya, bukankah lebih baik jika B berusaha agar bayi itu bisa diterima oleh semua orang, terutama Ibunya,” lanjut Miwa.
Mendengar ucapan Miwa, membuatku tersadar. Mungkin apa yang ia katakan memang benar. Lebih tidak adil, jika aku berusaha merenggut kehidupan seseorang, hanya karena mengalami hal sama.
“Nenek,” panggil seorang pria pada Miwa, aku pun menoleh ke pemilik suara itu. seorang laki-laki dengan memakai blazer hitam dan dasi motif bergaris. Rambutnya yang terurai, menutupi sebagian dahinya, wajahnya familiar. Laki-laki itu adalah Anju. Sebelumnya Miwa memang pernah menceritakan padaku, bahwa ia punya cucu laki-laki yang seumuran dengan adikku. Namun, aku tidak pernah bertemu dengannya. Jadi, ini adalah pertama kali aku melihatnya.
“Anju, kamu baru pulang dari les?” Miwa tersenyum.
“Iya, tadi belanja dulu,” Anju menoleh padaku, ia juga sama terkejutnya denganku,”Ah Kakaknya Arai ya,”
“Kalian saling kenal?” Miwa tampak bingung.
“Ada beberapa hal terjadi,” Aku tersenyum kikuk. Miwa mengangguk.
“Apa Nenek merepotkanmu?” tanya Anju.
Miwa mendengus kesal, “Kamu ini tidak sopan,”
“Aku hanya khawatir, sebelumnya Nenek pernah terlibat perkelahian dengan Bapak-bapak komplek,” keluh Anju. Mereka berdua terlihat dekat, Anju sangat mirip dengan Miwa, tapi dalam versi yang lebih muda. Apalagi saat ia tersenyum.
Tiba-tiba perutku berbunyi, membuat Miwa dan Anju terdiam lalu tertawa. Aku merasa malu hingga salah tingkah.
“Sebaiknya kita harus segera atasi itu,” ejek Miwa. Wajahku merah padam.
“Kebetulan, Kak Damar juga mengundang kita makan siang bersama, katanya ada warung makan yang enak, sekalian saja kita makan siang bersama,” usul Anju tersenyum tipis.
Aku sempat terkejut ketika mendengar Anju menyebutkan nama Damar. Tapi mungkin saja itu orang lain.
….
Ternyata warung yang dimaksud Anju adalah milik Nenek Obi, bahkan yang lebih mengejutkannya lagi, Damar dekat dengan keluarga Miwa.
“Begitu ya, kalian rupanya saling kenal,” ujarku lalu memakan gorengan yang dicelupkan ke kuah soto.
“Aku sering bermain dengan anak-anak di panti. Untuk mengisi waktu luang,” jelas Miwa, menambah seporsi nasi ke piringnya.
“Sayangnya beberapa minggu ini. Nenek tidak bisa kesana, karena sibuk dengan komunitasnya,” timpal Anju.
“Tapi aku senang, Nenek Miwa sehat-sehat saja. Aku sangat berterima kasih, bahkan berutang budi, atas bantuan yang Nenek berikan ke anak-anak,” Damar tersenyum.
Miwa tersenyum tipis, “Enggak perlu serius seperti itu,”
Aku semakin kagum dengan Miwa, dulu aku hanya bisa merasakan kepeduliannya dari cerita yang bagi padaku. Sekarang, aku menyaksikannya sendiri.
“Oh iya, Lesi bukankah cara bicaramu sedikit tidak sopan? Memanggil orang tua dengan nama saja seperti itu,” Tanpa ekspresif Obi menatap tajam padaku. Aku bingung menjelaskannya, sudah menjadi kebiasaanku memanggil Miwa seperti itu.
“Tidak usah dipikirkan. Justru aku senang karena dipanggil dengan nama saja, rasanya seperti kembali muda,” ujar Miwa.
Kemudian Miwa setusuk sate jeroan, aku lalu menghentikannya ketika ia mengambil tusukan ketiga.
“Kamu tidak berubah ya, ingat asam uratmu Miwa, hanya boleh memakan dua saja, mengerti,” Aku mengingatkannya tanpa sadar, karena kebiasaanku dari kehidupan sebelumnya. Miwa terlihat kebingungan dan menatapku penuh tanda tanya.
“Rupanya kamu tahu Nenekku punya asam urat ya,” ujar Anju.
“Benar, aku bahkan tidak pernah memberitahumu, bagaimana cara kamu melakukannya?” Miwa yang penasaran pun bertanya padaku. apa yang harus kukatakan? Aku pun menenangkan diriku agar tidak panik.
“Maafkan aku, tiba-tiba saja aku teringat dengan seseorang, melihatmu makan sate jeroan itu, mengingatkanku dengannya, jadi aku reflek mengatakannya,”
“Siapa?” penasaran Miwa ternyata masih ada.
“Tetangga di desaku, dia selalu menemaniku saat kecil, ia juga punya asam urat dan sangat suka dengan jeroan, tapi sekarang ia sudah meninggal,” jelasku. Ini bukan cerita yang kukarang untuk menutupi kebohonganku. Aku memang punya seseorang yang selalu menemaniku saat kecil, aku sudah menganggapnya sebagai nenekku sendiri.