Hata-Hata Ni Dodo

Linggarjati Bratawati
Chapter #19

Chapter 19


Suara tetesan hujan semakin keras, karena terkena genteng yang terbuat dari seng galvalum. Hari ini adalah pementasan untuk anak-anak dari TK Kenari, aku sudah menyiapkan pertunjukkan agar bisa Ibu melihatnya. Kuharap hujannya tidak terlalu lama turun, sehingga Ibu bisa datang kesini sebelum aku tampil.

Sedari tadi aku merasakan bahwa ada Ibu-ibu yang terus menatapku. Tapi begitu aku menoleh kepadanya, mereka akan langsung memalingkan wajah.

“Aku mendengarnya, Ibu anak itu sama sekali tidak menginginkannya, sementara ayahnya tidak diketahui siapa,” ujar Ibu yang memakai blazer yang dipadukan dengan kemeja biru.

Jadi, anak itu ya? Kasihan sekali, tapi apa boleh buat, aku justru merasa kasihan dengan Pak Unru, pasti berat baginya, menanggung rasa malu karena itu,” Ibu dengan setelan kemeja berwarna putih dengan bawahan coklat, berbisik ke teman disampingnya.

Aku meremas ujung bajuku, aku tidak mengerti apa yang mereka katakan. Tapi kenapa aku merasa mereka sedang membicarakan.

“Dimana Ibumu? Kamu bilang ia datang,” Gema menghampiriku, diikuti oleh Raqi dan Hera.

“Ia pasti datang, aku sudah memberitahunya,” jelasku dengan percaya diri.

“Benarkah? Tapi aku ragu, Ibumu bahkan tidak pernah mengantarmu ke sekolah selama ini, jangan-jangan….”

“Kamu tidak punya ayah dan Ibu ya,” timpal Raqi dan Hera secara bersamaan. Itu menyakitkan, dadaku seperti ditusuk sesuatu. Namun aku tidak boleh menangis, jika tidak, Ibu tidak akan datang kesini.

Bahkan ketika pertunjukkan itu dimulai, aku tidak melihat keberadaan Ibu. Ketika di panggung, aku hanya terdiam sambil menundukkan kepalaku. Rasanya sesak, aku ingin menangis.

“Semangat Lesi!” Kakek mengatakannya dengan lantang, aku menoleh. Ia terengah-engah sambil menunjukkan papan yang bergambar kartun favoritku. Pasti Akarin yang membuatnya.

….

 

Hei, kamu mendengarku?” Aru menggerakkan tangannya didepanku, membuyarkan lamunanku.

“Ah maaf, bicara apa tadi?” tanyaku sambil meletakkan buku yang sudah kubaca.

“Bel sudah bunyi, kita harus segera ke kelas,” ujar Damar.

Sudah seminggu berlalu sejak kematian Ibu Sita. Damar kembali bersekolah, sementara Sita masih dalam cutinya. Skandal itu masih dibicarakan oleh orang-orang, meski pihak sekolah sudah memberitahu dengan tegas untuk segera melupakannya.

Damar tidak banyak bicara selama di sekolah, aku yakin ia masih terguncang dengan kejadian yang dialami Sita.

“Apa dia baik-baik saja?” tanya Atu pada Damar, “maksudku Sita, bagaimana keadaannya?”

Damar menoleh, tersenyum getir, “Dia baik-baik saja,”

Aru ragu-ragu, setelah beberapa saat menggigit bibir dan memandang ke bawah, ia mendongak, “Aku ingin menjenguknya, setidaknya jika berada disampingnya, kita bisa memberinya dukungan,”

Obi tersenyum tipis, “Kurasa itu ide yang bagus, disaat seperti ini, itulah yang paling Sita butuhkan,”

“Apa kamu ikut juga?” tanya Aru beralih menatapku, yang kemudian disambut dengan anggukanku.

Kami pun memutuskan untuk menjenguk Sita di panti asuhan. Kei menghampiriku dan memelukku begitu sampai disana. Meski melalui hal yang berat, ia masih bisa tersenyum.

“Kak Lesi, aku rindu,” suara menggemaskannya menenangkan hatiku, sekaligus mencairkan suasana yang semula tegang.

“Tentu, aku juga, coba tebak apa yang kubawa hari ini?” Aku tersenyum ceria pada Kei. Gadis itu berpikir sejenak, dengan dahi mengkerut.

“Emm, premen,” tebaknya dengan girang.

“Betul, kok tahu aku bawa premen?” Aku mengelus kepalanya.

“Tentu dong,” Kei tersenyum memperlihatkan giginya yang ompong. Kuberikan ia lima premen.

“Tapi ingat ya, satu hari satu saja, oke?” Aku mengingatkannya.

Kei mengangguk,”Siap”

Kemudian Sita menemui kami, ia tersenyum tips. Meski begitu, kedua matanya tidak menunjukkan hal sama. Aku yakin, ia berusaha keras untuk menyembunyikannya.

“Apa kamu sehat? Aku sedikit merindukanmu,” Atu memeluk Sita.

“Tentu, mungkin minggu depan aku akan kembali ke sekolah,” jawab Sita.

“Syukurlah kalau begitu,” Atu merasa lega setelah mendengarnya.

Lalu aku mengeluarkan novel terbaru dari Akarin, dan memberikannya pada Sita, “Ia menitipkannya padaku, katanya ini untukmu,” Sita terlihat senang, ia sampai tidak bisa berkata-kata.

“Bukankah ini seri kelanjutannya, bahkan ini rilisnya bulan besok, “ Aru mendekatkan wajahnya, dengan kedua mata yang berbinar.

Sita menoleh padaku, ia tersenyum,”Terima kasih, tolong sampaikan salam ke Akarin,” ujarnya yang kemudian disambut anggukanku.

 

….

 

Kusiram taman bunga, sementara itu Aru membersihkan daun-daun kering yang terjatuh di sekitarnya.

“Aku sempat khawatir dengan Sita, tapi melihatnya tersenyum seperti tadi, kurasa dia baik-baik saja,” celetuk Aru sambil mengusap keringat didahinya.

“Kurasa begitu,” komentarku.

Obi dan aku masih belum bicara satu sama lain, karena banyak hal terjadi. Aku tidak sempat memikirkan pertengkaran dengan Obi. Aku masih teringat dengan kekerasan yang dialami oleh Sita. Aku tidak bisa melupakannya, rasa sesak dan takut secara bersamaan seakan menjejali dadaku. Sesuatu yang ingin kulupakan sejak lama, juga muncul begitu saja.

“Biar aku saja,” Obi mengambil penyiram tanaman dariku, “Kamu istirahat saja disana,”

Aru terlihat khawatir, memandangku lurus-lurus, “kamu tidak pernah bercerita apapun, terkadang itu membuatku cemas, apa karena aku tidak bisa diandalkan?”

Aku tidak pernah berpikir sejauh itu, jika melihat kedekatanku dengan Aru, seharusnya aku tidak perlu mencemaskan apapun dan lebih terbuka padanya. Namun, kemampuanku untuk mempercayai seseorang, entah sejak kapan hancur begitu saja, yang tersisa dalam hatiku, hanya kecurigaan dan rasa hampa.

“Maaf,” ucapku pelan, “tapi aku sama sekali tidak menganggapmu seperti itu,… hanya saja sulit bagiku untuk mempercayai orang lain,” kupalingkan wajahku, menatap kelopak anyelir yang jatuh dari mahkotanya.

Aru menghela nafas pelan, ia memegang pundakku dan tersenyum padaku,”baiklah, tapi jika sesuatu mulai terasa berat, kamu bisa cerita padaku,”

Jika saja pertemuanku dengan Aru datang lebih awal, mungkin pengkhianatan yang kualami tidak akan pernah terjadi. Tiba-tiba kulihat bayangan seseorang dari jendela kamar, di sela-sela tirai yang tidak tertutup, Sita memegang cutter dan mengarahkannya ke tangannya.

Aku menjatuhkan alat penyiram tanaman, bergegas berlari untuk menghampirinya. Aku bahkan mengabaikan suara Aru yang terus memanggil namaku. Kematian Sita karena bunuh diri, di kehidupan pertamaku, aku ingin menghentikannya.

Begitu sampai ke kamar, pintunya terkunci. Damar yang menemani anak-anak ,bingung saat melihatku berlari menuju kamar Sita. Aku mencoba benda berat untuk menghancurkan pintu itu.

“Apa yang terjadi?” Damar tampak panik.

“Cepat dobrak pintu ini, kumohon cepatlah,” desakku, tidak ada waktu untuk menjelaskannya. Damar yang dibantu Obi pun mendobrak pintu tersebut. Begitu terbuka, ada Sita yang terkulai lemas, dengan pergelangan tangan penuh darah. Aku bergegas menghentikan pendarahannya, dengan menggunakan dasiku, lalu menekan pergelangan tangan yang terluka.

“Panggil ambulan!” teriakku. Aru yang terlihat panik, buru-buru menekan angka diponselnya dan memanggil bantuan.

Sita pun dibawa ke rumah sakit, untung saja ia selamat. Dokter mengatakan jika kami terlambat menolongnya, Sita kemungkinan akan kehilangan nyawa.

“Apa kamu gila?! Kamu membuatku khawatir,” ujar Damar dengan getir.

“Maaf,” Sita tersenyum lemah. Kemudian ia menoleh padaku, “Boleh kita bicara berdua?”

Semua orang disana saling beradu pandang, termasuk Aru, Obi, Atu, dan Damar. Aku pun menganggguk, setelah itu mereka pergi keluar ruangan meninggalkan aku dan Sita.

Selama beberapa saat Sita hanya terdiam, lalu beranjak bangun untuk membenarkan posisinya. Keceriaan yang ia tunjukkan tadi kini berubah menjadi sosok yang sudah menyerah dengan hidupnya.

“Seharusnya kamu membiarkanku mati, lagipula kamu memang membenciku kan?” Sita tersenyum getir.

Aku menatapnya dalam, aku memang membencinya, bahkan sampai saat ini aku tidak pernah memaafkan ia atas pengkhianatan yang ia lakukan di kehidupan pertamaku. Karena dialah semua orang menjauhiku, menjadikan kehidupan sekolahku seperti neraka.

“Aku tidak ingin kamu mati,” ujarku. Sita pun sontak menoleh padaku penuh tanda tanya. “karena itu menjengkelkan, makanya aku tidak bisa membiarkanmu mati,” 

Aku tidak berniat menyelamatkan hidupnya, tapi aku tidak bisa membiarkan bayi yang ada dikandungannya, mati karena pilihan egois dari gadis sepertinya. Ia harus melahirkan bayi itu dan merawatnya sampai akhir. Itu hukuman yang pantas untuk menebus betapa egoisnya ia sebagai orang dewasa.

Sita terkekeh disela tangisnya. Sambil sesekali menutup wajahnya untuk menyembunyikannya dariku.

“Kamu benar-benar aneh, begitu mudahnya mengatakan sesuatu tanpa takut dengan resikonya,”

“Sebenarnya apa yang ingin kamu bicarakan?” tanyaku penasaran.

Sita menghela nafas, “Aku ingin kamu menjaga Kei, selama kamu berada didekat adikku, ia pasti akan terbiasa tanpaku,” ia menatap lurus ke jemari tangannya yang meremas selimut, “aku tidak sanggup hidup lagi, rasanya melelahkan, kupikir ini tidak ada artinya,”

“Kenapa harus aku? Kamu bisa mengandalkan Atu untuk itu kan?”

“Aku tidak bisa mempercayainya, lagi pula yang paling tahu tentang kondisiku hanya kamu dan Damar,” Sita menatapku berharap aku menyetujui permintaannya.

“Jadi aku mohon, tolong jaga—”

Aku memeluk Sita dengan erat, tubuhku bergerak begitu saja, “Aku menolaknya,” ujarku hampir berbisik, “sudah kubilang aku tidak ingin kamu mati, jika kamu memaksa, maka aku akan berusaha keras untuk menghentikanmu, suka atau tidak suka,”

“Kenapa kamu harus sejauh ini? Padahal kamu membenciku,”

“Ini demi Kei dan juga bayi yang sedang kamu kandung sekarang, mereka membutuhkanmu,” jawabku tanpa melepaskan pelukanku,”aku benci mengatakannya, tapi untuk kali ini, kamu bisa mengandalkanku sampai keinginanmu untuk mati benar-benar hilang,”

Air mata Sita pun tumpah, seakan beban yang selama ini ia pendam, keluar bersama tangisan itu. ia membalas pelukanku, hanyut dalam rasa sesak yang ia simpan sendirian.

 

….

 

“Ah begitu, aku tidak menyangka bahwa kamu dan Seira teman sekelas, karena itu kamu ingin menyelamatkanya,” Om Gi membersihkan gelas-gelas dan menyusun kembali di meja Bar.

“Aku tidak menyelamatkannya, lagipula ia bukan temanku,” ketusku sambil mengaduk jus jeruk.

Om Gi terkekeh, “tapi kamu jauh-jauh kesini hanya untuk mencari tahu pelaku yang meniduri Sita, itu apa namanya kalo bukan menyelamatkan?” Pria itu lalu mengambil sepuntung rokok dan menyalakannya dengan korek, asap mengepul keluar dari mulutnya, “tapi itu tidak bisa disebut pemerkosaan, karena kedua belah pihak suka rela melakukannya,”

“Tapi kesepakatannya tidak begitu kan? Idol-idol dibawah naungan manajer Felara, punya semacam aturan yang harus diikuti, yaitu memastikan memakai pengaman sehingga kehamilan tidak terjadi,” Aku membaca catatan di buku yang berisi penyelidikanku selama seminggu terakhir.

Om Gi lalu mengambil catatanku, membukanya bolak-balik dengan pandangan terkesima,”Luar biasa, kapan kamu mencari tahu ini?”

Aku merebut kembali catatan tersebut,”itu bukan urusan Om, jadi cepat katakan siapa klien terakhir yang Sita layani?”

Kemudian Om Gi mendekatiku dan berbisik padaku. Aku terperanjat setelah mendengar nama yang disebutkan oleh pria itu.

“Om pasti bercanda,” ujarku tidak percaya.

“Itulah faktanya, sebenarnya aku tidak boleh mengatakannya, tapi untuk kamu pengecualian,” jelas Om Gi.

Mungkin ini akan menjadi pemberitaan menghebohkan, aku tidak menyangka bahwa pelakunya adalah seseorang yang berada dekat denganku.

“Kusarankan sebaiknya hentikan saja, kamu tidak hanya akan melukai Seira, tapi juga Ibumu, dan kamu sendiri. Apalagi Ibumu, ia pasti tidak akan membiarkanmu merecoki urusannya lebih jauh,” Om Gi memberikan peringatan padaku, ia mencemaskanku.

Apa yang pria itu katakan memang benar, tapi aku masih belum memutuskan untuk melakukan tindakan sejauh itu. Informasi yang kukumpulkan, hanya untuk berjaga-jaga jika suatu hari nanti Sita mengkhianatiku lagi.

Dering ponsel berbunyi, Kakek meneleponku. Kemudian aku mengangkat teleponnya dengan malas.

“Halo”

“Ah halo, apa kabar Lesi? Kamu sama sekali tidak menghubungiku akhir-akhir ini, apa kamu tidak merindukanku?”

“Kurasa tidak, ada apa?” ujarku dengan dingin. Memalukan rasanya jika mengatakan hal sentimental seperti itu.

Perkataanmu sangat menyakitkan,” Kakek terdengar kecewa,”Bisakah kamu datang ke rumah? Aku ingin bertemu denganmu, sekalian bawa Arai bersamamu,” di sela ucapannya, ia terbatuk-batuk, aku sedikit khawatir. Mungkinkah Kakek sakit?

“Baiklah, aku segera kesana,” jawabku, lalu mengeluarkan uang dari dompetku dan memberikannya pada Om Gi.

Aku dan Arai pun memutuskan untuk ke rumah Kakek. Aku juga mengajak Akarin untuk pergi kesana. Benar saja, Kakek sakit sehingga ia hanya berbaring di ranjang. Infus terpasang ditangannya.

Ibuku juga ada disana, meski ia membenci Kakek, tapi ternyata wanita itu masih mempunyai kepedulian untuk sekedar menjenguknya.

“Sudah kubilang untuk memperhatikan pola makan,” geramku melihat Kakek yang tidak kapoknya memakan makanan yang memang dilarang untuknya.

“Aku tidak bisa menahannya, apalagi itu kopi,” keluh Kakek yang bertingkah seperti anak kecil. “Tapi jika kamu dan Arai menginap disini, mungkin aku bisa segera sembuh,”

Aku mendelik dan mendengus kesal, itu jelas akal-akalan Kakek agar kami berdua lebih lama berada disini. Kemudian aku pergi ke dapur untuk menyiapkan makan untuk Kakek.

Aku hanya memasak bubur sederhana, makanan yang pas untuk disajikan untuk orang sakit, tidak perlu usaha untuk mengunyahnya.

Lihat selengkapnya