Hata-Hata Ni Dodo

Linggarjati Bratawati
Chapter #20

Chapter 20

Gadis itu berdiri tepat di pinggir atap gedung sekolah, jika ia mengambil selangkah saja, maka ia pasti akan terjatuh menabrak beton-beton dibawahnya. Begitu aku datang, alih-alih ketakutan. Atu justru terlihat tenang.

Rambutnya yang dibiarkan terurai, matanya yang berwarna coklat, kedua kaki jenjang dengan kaos kaki yang dipakai setengah betis, rok yang berkibar karena tertiup angin. Tidak ada yang tahu, bahwa dibalik sosok idealnya, ia berusaha membunuhku. Entah di kehidupan pertama atau saat ini, Atu selalu menjadi terror terbesarku. Bahkan kado-kado yang kuterima, semuanya berasal darinya. Namun di kehidupan keduaku, aku tidak menyangka bahwa kebenciannya mendorong ia bertindak sejauh ini.

“Ah ramai sekali ya, kupikir hanya kamu sendiri yang datang, tapi biarlah, lagipula aku pun sudah menduga ini,” Atu tersenyum tipis padaku, dengan sorot mata yang terasa kosong bagiku. Ia bukan manusia.

“Kenapa kamu bertindak sejauh ini? Apa salahku?” Aku tidak sabar, sehingga memberinya pertanyaan beruntun.

Atu tidak menjawab pertanyaanku, ia menatap Sita yang berdiri di belakangku, “Sayang sekali ya, padahal aku pikir kamu akan menggunakan kesempatan itu, dengan begitu kita bisa jadi teman,”

“Aku memang berpikir begitu, tapi aku tidak bisa melakukannya, Lesi tidak ada kaitannya dengan ini,”

Tawa Atu membuncah, membuat kami seketika terdiam, “Ah itu menyentuh sekali, kamu benar-benar berubah, bagaimana kamu bisa mengatakan hal sesuci itu disaat kamu sendiri hanya gadis kotor?”

Mendengar ucapan menohok dari Atu, membuat Sita berkaca-kaca. Itu jelas menyakitinya.

“Adikmu Nova, lebih tahu cara menghargai, meski aku memberinya informasi palsu tentang kamu yang menyebarkan rumor di sekolahnya, tapi gadis itu sangat berterima kasih padaku, karena itu aku senang saat memberimu pukulan telak,” jelas Atu di sela tawanya.

“Jadi kamu yang mendorong Nova, kenapa?” Sita terpukul, air matanya keluar dari pelupuk matanya.

“Karena aku ingin menghukummu, kamu terbuka pada Lesi, sedangkan padaku tidak. Padahal kamu tahu aku sangat membencinya,” Atu menunjukkan ekspresi datar. Aku meremas tanganku, saat ini kemarahan memenuhi diriku. Aku berusaha menahan diriku.

Atu mendongak wajahnya ke langit, seolah memalingkan wajahnya dari kami.

“Aku terus mengujimu Sita, aku menyuruhmu untuk menemui Giran, dan kamu setuju, aku terharu karenanya, tapi kamu mengkhianatiku, tapi untung saja keluargamu yang kacau, bisa aku manfaatkan, termasuk kematian Ibumu,” Atu menepuk tangan seperti seseorang yang berhasil mendapatkan sesuatu.

“Maksudmu, kematian Ibu Sita bukan bunuh diri?” Damar melotot, ia mulai tersulut. Atu sepertinya berniat melukai orang-orang yang ada disini tanpa pandang bulu, ia ingin membalikkan keadaan. Seberapa jauh ia harus bertindak keji seperti itu?

Atu menelengkan lehernya, menatap Damar dengan ekspresi bingung,”Ah tidak juga, aku hanya memberi sedikit saran pada Nova bahwa Ibumu selalu jadi kelemahan Sita, tapi aku tidak menyangka bahwa gadis itu akan mendorong wanita itu pada kematiannya,” Sita terduduk, ia masih belum bisa menerima apa yang Atu katakan. ia menutup kedua telinganya. Kemudian Damar menghampiri Sita.

“Soal skandalku, apa kamu juga yang melakukannya?” Aku menatap tajam pada Atu.

Atu tergelak, “Tentu saja, kamu lama sekali menyadarinya,” ia loncat dari tempatnya berdiri. Aku tidak ingin berpikir bahwa ia juga membunuhnya juga, itu terlalu menakutkan untuk kuketahui.

“Aku membunuhnya,” jelas Atu seakan menebak apa yang aku pikirkan, seketika tubuhku membeku.

“Hanya bercanda,” lanjut Atu,”aku memang berniat menghentikannya, tapi aku tidak tahu bahwa pria itu juga bermasalah dengan orang lain,” ia mengamati kuku lentiknya,” kenapa kamu tidak tanya orangnya? Kamu mengenalnya kan?”

Aku tidak mengerti apa yang ia katakan, seakan menyadari itu, Atu berkata,”Kamu tidak mengetahuinya ya. Ah sayang sekali, padahal kamu sudah memegang buktinya, kalung itu sangat mahal, hanya beberapa orang yang memilikinya,”

“Darimana kamu tahu aku memegang buktinya?” Aku menatap Atu penuh selidik.

“Aku mengamatimu saat kamu berkunjung ke tempat Giran, aku ingin memberitahu semuanya, tapi itu pasti mengguncangmu, jadi lebih baik kamu cari tahu sendiri,” jelas Atu.

“Apapun itu, kamu sudah keterlaluan, tidak bisa dimaafkan,” cibir Aru dengan penuh kemarahan.

“Hei Lesi, sepertinya kamu lihai mengubah orang-orang untuk berpihak padamu, bahkan kamu menyelamatkannya,” Atu yang semula tersenyum, memasang ekspresi datar dengan tatapan dingin yang terasa menusuk diriku, ”Tapi, kali ini bagaimana kamu akan menyelamatkan dirimu sendiri? Mungkin kamu akan menangis atau putus asa sampai ingin mati. Aku sangat menantikannya,”

Atu mengeluarkan pisau lipat dari sakunya dan mengarahkan padanya. Tanpa pikir panjang aku berlari ke arahnya, tapi itu kesalahan fatal. Gadis itu sengaja memancingku agar mendekatinya, karena setelahnya ia menuntun tanganku menekan pisau itu ke dadanya.

“Apa yang kamu lakukan?!” teriaknya, ia menangis sambil menatap pisau yang masih tertancap. Atu melangkah mundur,”kenapa?! Padahal aku hanya ingin jadi teman kalian,” ia menangis. Kemudian Atu terjatuh, tepat menabrak batang pohon.

Aku lalu melihatnya, kepanikan menjalar di tubuhku. Saat itulah aku melihat Atu menyeringai padaku sambil menggumamkan sesuatu.

“Ini benar-benar menyenangkan,”

…..

 

Atu sengaja menjebakku, ia merencanakan ini semua sejak awal. Sita hanyalah umpan. Semenjak kejadian itu, semua keadaan berubah begitu cepat. Seperti kehidupan sebelumnya, aku mendapatkan kebencian dari semua orang.

Begitu aku masuk ke kelas, mejaku sudah dipenuhi oleh bunga dahlia hitam. Dibaliknya ada berbagai coretan dari warna berbeda

Anak pelacur, mati saja sana!

Sidang untuk investigasi dan mediasi lebih lanjut, kemudian dilakukan dengan melibatkan tim disiplin, seperti BK, wali kelas, kepala sekolah, dan pemilik Yayasan. Obi, Aru, Damar juga ikut disana. Aku mengatakan pada pihak sekolah, bahwa mereka tidak ada hubungannya dengan ini. Namun, Aru bersikeras untuk hadir sebagai saksi.

“Sebelumnya saya ucapkan terima kasih kepada hadirin sekalian, yang hadir dalam sidang kali ini, pertemuan ini diadakan untuk menindaklanjuti laporan kasus perundungan yang dilakukan oleh saudari Lesi Halawa kepada Atu Sikka,” Pak Hamid sebagai kepala sekolah membuka sidang sambil sesekali membaca catatan. “untuk itu saya mohon untuk semua pihak, agar bisa dengan jujur dan saling menghormati,”

Kemudian guru BK memaparkan kronologi, secara rinci.

“Berdasarkan laporan, saudari Lesi dengan sengaja mendorong Atu dari atap gedung sekolah. Kejadian ini terekam dari ponsel saudari Atu, karena ia merasa terancam maka perekaman ini dibutuhkan untuk bukti, motif dari tindakan saudari Lesi adalah kesalahpahaman karena mengira saudari Atu ingin menyebarkan informasi pribadinya, padahal sebenarnya saudari Atu ingin memberikan pertolongan agar saudari Lesi tidak merasa berbeda,”

“Sejujurnya saya tidak menyangka bahwa tindakan saya yang ingin menjadi teman Lesi, justru malah disalahpahami, hingga kejadian terjadi benar-benar menyakiti saya,” Atu tertunduk sambil mengusap airmatanya.

Kronologi yang dipaparkan jelas berbeda dengan kenyataannya, menyadari hal itu aku pun menyangkalnya.

“Itu tidak benar, saya saat itu ke gedung sekolah, karena Atu sendiri memanggil saya, teman-teman saya disini juga melihatnya, dan juga saya tidak mendorong Atu, ia sendiri yang menjatuhkan diri,” Aku melakukan pembelaan, tapi melihat raut wajah mereka, seketika aku merasa bahwa persidangan ini tidak akan berakhir baik.

“Menjatuhkan diri?” Pak Hamid tidak sengaja tertawa, “untuk apa seseorang melakukan tindakan sejauh itu? Alasanmu sangat tidak masuk akal,”

“Kami menyaksikannya sendiri,” Obi mengacungkan tangannya.

“Kalian menyaksikannya, berarti kalian juga terlibat dalam perundungan itu. Kenapa kalian tidak mencegahnya?” Pak Hamid memberikan argumennya, memojokkan Aru, Damar, dan Obi. Jika ini dibiarkan, maka pembelaan dalam bentuk apapun, tidak akan didengar oleh pria kolot itu.

“Tapi bisa saja, ini hanya kesalahpahaman, Pak Kepala sekolah, kita masih belum bisa memastikan apa itu perundungan atau bukan, ditambah tidak ada saksi dari siswa lain,” Kakek mencoba membelaku.

“Anda berpikir seperti itu bukan karena cucu Anda sendiri kan? Maksud anda, perundungan itu baru bisa dipastikan setelah kejadiannya berulangkali, dan kita tinggal mengamatinya begitu?” Pak Hamid mencondongkan tubuhnya, “kita tidak butuh saksi, video itu sudah menjawab semuanya,” tekannya.

“Berani sekali anda bicara begitu? Saya disini mencoba untuk melihat berbagai kemungkinan, kita hanya perlu mengumpulkan bukti sebanyak apapun, agar bisa memastikan kebenarannya, tidak hanya mengandalkan satu video,” emosi Kakek mulai tersulut.

“Saya rasa tidak perlu, video ini sudah lebih dari cukup, memangnya kebenaran apa lagi yang dibutuhkan? Dari tadi Anda seperti berniat mengulur waktu, saya mengerti betapa cintanya Anda pada cucu anda sendiri, bahkan saya kagum bagaimana Anda juga melindungi putri anda dengan menyembunyikan kasus porsitusi itu, tapi menyangkal kebenaran seperti itu bukan tindakan yang bagus,

Kakek beranjak bangun dari kursinya, mencengkeram keras kerah, Pak Hamid pun menciut, tapi ia berusaha untuk tetap tenang.

“Kendalikan diri anda, di zaman sekarang, semua mudah tersebar dan kita tidak bisa menahan asumsi masyarakat tentang itu,”

Situasi menjadi tidak kondusif, oleh karena itu persidangan terpaksa dihentikan. Dengan hasil akhir, aku bisa saja dibiarkan untuk tetap di sekolah ini dengan syarat membuat permintaan maaf di hadapan semua orang kepada Lesi. Itu berarti secara tidak langsung aku mengakui bahwa kejahatan yang dilakukan oleh Atu adalah salahku.

Aku bisa saja menceritakan soal penculikanku, tapi tentu itu hanya akan melukai Sita. Seharusnya aku tetap acuh dan memikirkan diriku sendiri, tapi melemparkan rasa sakit pada orang lain, hanya untuk merasa aman, itu tindakan yang paling kubenci. Aku tidak ingin membahayakan kandungan Sita. Gadis itu tidak bisa menahan tekanan lebih dari ini.

Aku pun keluar dari ruangan, saat itu aku bertemu dengan Atu. Ia tersenyum angkuh padaku.

“Kamu hanya perlu meminta maaf, dengan begitu kita bisa menjadi teman,” Atu memandangku lekat-lekat lalu memelukku. Menjadi teman katanya? Mungkin lebih tepatnya, ia ingin menjadikanku bawahan yang bisa ia kendalikan sesuka hati.

Tentu tindakan Atu tidak hanya memberiku pukulan telak bagiku, tapi juga untuk keluargaku. Bahkan Akarin juga terkena dampaknya, buku-bukunya yang baru dirilis dicabut dari peredaran.

Tidak terkecuali teman-temanku, mereka masih bersikap seperti biasa padaku. Aru terus menemaniku kemana pun aku pergi, seolah khawatir jika ada seseorang yang akan mengerjaiku lagi. Padahal ia tidak perlu melakukan sejauh itu.

“Aku tahu kamu bisa mengatasi mereka, tapi tetap saja aku masih mencemaskanmu,” Aru menatapku dengan mata jernihnya.

Sementara itu Sita memilih menjaga jarak denganku, mungkin karena tahu aku adalah anak dari manajernya. Pasti sangat sulit bagi gadis itu untuk menerimanya.

Bahkan disituasi seperti ini, pikiranku terasa buntu. Aku tidak tahu apa yang harus kulakukan untuk mengembalikan keadaan ke semula. Informasi yang disebarkan Atu terlalu cepat menyebar, ditambah dengan tuduhanku yang memojokkan ia bunuh diri. Gadis itu benar-benar mengulitiku sampai ke akarnya, semua orang mengetahui identitasku, bahkan karena itu Ibu dan Kakekku juga ikut terseret. Atu saat ini di rumah sakit, aku yakin ia hanya pura-pura untuk menarik simpati banyak orang.

Ketika aku melihat halaman dimana Atu terjatuh, itu dipenuhi oleh rumput lalu di tengahnya ada satu pohon. Dalam ketinggian seperti itu, seharusnya tidak menyebabkan kematian, kemungkinan dampak yang ditimbulkan adalah luka atau patah tulang. Kecuali jika Atu terjatuh hingga mencium beton, maka ceritanya jelas akan berbeda.

“Mengerikan, bisa-bisanya kamu masih menunjukkan wajahmu di sekolah,” cibir salah satu murid perempuan.

“Kalo aku jadi kamu, aku pasti akan mati saja,” timpal teman sebelahnya.

“Mau gimana lagi, itulah yang diharapkan dari anak pelacur, aku penasaran bagaimana caramu mencari ayahmu, padahal Ibumu bermain dengan banyak pria,” tawa itu semakin keras, hingga terasa menusuk ditelingaku. Aku tidak punya sesuatu untuk menyangkal ucapan mereka, mungkin karena memang itulah kebenarannya. Sudah lama aku tidak merasakan situasi seperti ini, kebencian itu adalah perasaan yang kuat, karena terlalu kuat aku tidak tahu bagian mana yang kubenci dari hidupku, entah ibuku atau kelahiranku.

 Aru mengambil tanah dan melemparkannya pada kedua orang yang merutukku. Tidak hanya sampai disitu, ia terus melempari mereka, tanpa memberikannya celah untuk membalas.

“Apa yang kamu lakukan hah?! Gadis gila,” murid perempuan itu mencoba melindungi dirinya dengan wajahnya.

“Kata orang ada jenis kotoran yang harus dibersihkan dengan tanah, karena mulut kalian terlalu kotor, aku perlu membersihkannya,”

Ketika melihat tindakan Aru, Obi tergerak mengambil selang air dan menyemprotkannya pada mereka. Sementara itu Damar membantu Aru melempar bola tanah yang dibentuk dengan tangannya.

“Tapi kotoran ini sulit dibersihkan, perlu beberapa kali untuk melemparnya,” ujar Damar pada Aru.

Aku sontak tertawa, bersamaan kedua murid yang tadi meledekku, melarikan diri.

“Apa-apaan itu? konyol sekali,” Aku memegang perutku yang terasa sakit karena tertawa.

“Mereka benar-benar menganggu, aku tidak tahan mendengarnya,” Damar menepuk-nepuk tangannya, untuk membersihkan sisa-sisa tanah di jarinya.

“Aku tidak mengerti, kenapa orang seperti mereka punya banyak waktu untuk berbicara hal kotor, bahkan seekor anjing pun tidak terlalu sering mengonggong seperti mereka,” Obi memberikan komentar pedasnya.

“Kalian sebaiknya segera hentikan itu, berhenti mendekatiku, orang-orang akan berpikir kalian juga terlibat denganku,” Aku tersenyum getir.

“Tidak masalah kan? Aku memang sudah terlibat sejak awal, saat aku memutuskan untuk menyusulmu,” Aru mengatupkan bibirnya,”karena di saat seperti ini lah, peranku dibutuhkan sebagai seorang teman,”

Damar menepuk tangan, membuyarkan keheninganku, lalu ia merangkul Obi dengan senyum ceria yang terbentuk dibibirnya, “Kamu tidak bisa melarang kami, karena kami semua akan tetap bersamamu, mau tidak mau,”

Aku terkekeh, selama sesaat kehangatan itu begitu terasa dalam tekad mereka bertiga.

“Begitu ya,” ujarku pelan sambil tersenyum tipis pada mereka.

 

…..

Suara berisik dari para wartawan terdengar dari luar, tempat tinggal Akarin bocor ke publik, ini pasti ulah Atu. Jendela yang biasanya terbuka ketika menjelang pagi, kini tertutup oleh tirai-tirai. Sementara itu Kakek, aku tidak tahu dimana pria tua itu berada. Mungkin saja, sekarang ia sedang berusaha mencari cara agar bisa menolong Ibu. Aku tidak mengerti, mengapa wanita itu tetap dilindungi sampai akhir.

Sangat menakutkan, itulah yang kupikirkan. Aku merasa seluruh dunia sedang menghakimiku, aku tidak mengira bahwa bernafas pun bisa menjadi sesulit ini. karena kasus itu juga keluargaku mendapatkan surat ancaman dari orang-orang tidak diketahui. Demi keselamatanku dan Arai, Kakek meminta kami berdua agar tetap di rumah sementara waktu.

“Apa kamu baik-baik saja di sekolah?” tanya Arai, “di sekolahku sebagian penganggu itu mulai mengambil kesempatan, tapi karena kamu mengajariku cara melawanku, aku bisa mengatasinya,” gelak tawa terdengar dari bibirnya. Aku tahu Arai berusaha mencairkan suasana, sikap tenang yang ia tunjukkan tersebut agar aku tidak terlalu memikirkan masalah saat ini.

“Aku baik-baik saja,” Ini salahku karena tidak bisa melakukan apa-apa, seandainya aku lebih tegas pada diriku sendiri, untuk menjauhi semua orang, maka akhir seperti ini tidak akan terjadi, andai saja waktu yang kuulang tidak terjadi dan aku tetap mati pada saat operasi. Mungkin kebencian semua orang hanya mengarah padaku, “Maaf Arai, ini salahku,” gumamku mengatupkan bibirku dengan pandangan yang mengarah pada kalung kupegang.

Arai menghampiriku, memelukku dari belakang tanpa banyak bicara. Mungkin ia mengerti, apa yang paling butuhkan bukan hanya sekadar kalimat baik-baik saja. Alih-alih begitu, aku justru lebih tenang saat seseorang bisa memelukku, meski sebentar.

Tok.

Tok.

Suara ketukan pintu terdengar, terlihat Akarin yang membawa tiga gelas susu strawberry dan kue kering. Ia tersenyum padaku dan Arai.

“Aku baru membeli ini karena ada diskon besar-besaran, aku ingin menikmatinya bersama kalian berdua,” ujar Akarin lalu duduk di lantai.

Begitu kue kering masuk ke mulutku, aku bisa merasakan sensasi gurih dari kacang yang dipadukan rasa manis dari madu.

Arai terus menganggukkan kepalanya, saking enaknya.

“Sepertinya mereka masih di luar ya,” karena sedih, aku menyinggung para wartawan yang meliput rumah kami.

“Kurasa begitu, tapi aku sudah memasang sesuatu di jendela, dengan begitu jika mereka bersikap kurang ajar, setidaknya rumah ini tetap aman,” Akarin terlihat santai, “rasanya ini seperti dalam film perang saja, dimana kita bersembunyi di suatu tempat dari kejaran musuh,” wanita tertawa sambil membersihkan remah kue dari sudut bibirnya.

Mendengar ucapan Akarin, Arai sontak tertawa,”benar juga, ini tidak terlalu buruk, selama kita bertiga bersama-sama,”

Aku hanya tersenyum getir, ketika aku tidak bisa mengatakan apa-apa, Akarin berkata,”semua akan baik-baik saja, ini bukan salahmu, seharusnya yang lebih pantas minta maaf adalah orang dewasa, karena menempatkanmu di posisi ini,” katanya.

Aku bodoh karena berpikir bahwa Akarin adalah sosok yang tidak bisa diandalkan, tapi justru aku lah yang lebih layak disebut seperti itu.

“Terima kasih, Akarin,” ujarku. 

Kami pun lanjut menikmati kue bersama, membicarakan banyak hal dan selama beberapa saat kami lupa tentang masalah yang dihadapi sekarang.

“Ah kalung ini, sudah lama tidak kulihat,” celetuk Akarin saat mengamati meja belajarku. Ia mengambil kalung itu dan memakaikan di lehernya.

“Kalian tahu, aku selalu ingin memakainya, bahkan aku merengek ke Kakek kalian untuk membelikanku satu yang sama dengan Kak Tenri, tapi pria itu benar-benar pelit,” gerutu Akarin.

“Kamu tahu kalung itu?” Aku yang terkejut lalu bertanya.

Akarin menoleh padaku, “tentu saja, ini milik Tenri, lihat bahkan ada ukiran tanda tangannya di kalungnya,” Akarin menunjukkan sebuah tanda tangan yang berinisial TH.

“Aku memang berniat menghentikannya, tapi aku tidak tahu bahwa pria itu juga bermasalah dengan orang lain,”

Aku pun teringat ucapan Atu, mungkinkah orang yang bermasalah dengan Giran adalah Ibu? Jika benar itu berarti Ibu yang menghabisi Giran, tapi apa masalahnya?

“Kamu baik-baik saja? wajahmu pucat,” Arai menggoyangkan tangan di depanku.

Aku beranjak berdiri, mengejutkan Akarin dan Arai, “tolong antarkan ke rumah Ibu,”

 

Lihat selengkapnya