Awalnya aku berpikir kematian Giran adalah salahku, tapi ternyata tidak. Aku menyimpulkan ini, karena kematian pria itu juga pernah terjadi di kehidupan sebelumnya. Kematian Himam menjadi pemicu orang-orang mulai membenci Aru. Jika saja aku menyadari bahwa Giran memiliki hubungan darah denganku, mungkinkah kematiannya bisa dicegah? Rasa bersalah seketika menyelimuti hatiku.
“Rasanya menyedihkan, saat kita tidak bisa ditakdirkan dengan orang yang kita cintai,” ujar Nana membuyarkan lamunanku. Gadis itu dengan kecewa menatap sampul buku yang berwarna biru.
“Meski tidak Bahagia, cinta mereka tetap abadi,” komentarku tersenyum padanya.
“Kamu benar,” sahut Nana. Aku dengan Nana hanya terpaut usia satu tahun, karena kecelakaan itu, ia koma selama bertahun-tahun. Berarti separuh hidupnya hanya dihabiskan berbaring di rumah sakit. Siapa yang mengira, bahwa ia adalah adikku, sama seperti Arai.
Semenjak mengetahui kebenarannya, aku sering mengunjungi rumah sakit untuk menemui Nana. Gadis itu selalu menyambut dengan hangat kedatanganku. Aku tidak mengerti, rasanya aku tidak bisa mengabaikannya. Sejak kapan aku menjadi begitu peduli pada orang lain? Apa karena ia punya hubungan darah denganku?
“Padahal aku sudah bangun, tapi Abang malah ninggalin aku,” ujarnya, dengan suara yang bergetar menahan tangis.
“Nana, mau enggak tinggal sama kita?” tanya Arai seakan memiliki pikiran yang sama denganku.
“Eh?” Nana terlihat terkejut.
“Maksudku jika kamu tinggal bersama kami, aku bisa menunjukkan banyak hal padamu,” jelas Arai.
Nana terlihat sungkan, ia tersenyum kikuk,”kurasa tidak perlu, aku merasa tidak enak, kalian datang kesini pun sudah cukup, lagi pula aku tidak bisa bergantung pada orang lain,”
Tentu saja Nana akan berpikir begitu, tidak mungkin bagi seseorang untuk hidup di keluarga orang lain tanpa melakukan apapun. Kecuali jika aku mempekerjakannya, mungkin saja ia tidak akan keberatan untuk tinggal denganku.
“Kalo begitu, kamu mau bekerja untukku? Aku akan membayarmu,”
Mata Nana melongo, menatapku dengan bingung.
“Tapi bekerja sebagai apa? Maksudku aku tidak bisa melakukan apa-apa, untuk urusan dapur pun aku tidak terlalu mengerti," tutur Nana ragu-ragu.
“Sebagai pengawalku di sekolah, semacam teman makan siang?”
…..
“Kamu tidak bisa biarkan orang asing tinggal di rumah ini,” Kakek terlihat keberatan. Nana menunggu di mobil Akarin, sementara aku berbicara dengan Kakek di ruang kerja Akarin.
“Dia bukan orang asing, dia adikku,” tekanku, Kakek terlihat terkejut ketika mendengar ucapanku. “Kebakaran blok A, menewaskan satu keluarga. Berita itu menjadi pemberitaan dimana-mana, tapi tidak ada yang tahu bahwa pelakunya adalah Ibu. Karena Kakek melindunginya,”
“Ibu berniat balas dendam kan? Pada pria itu, lebih tepatnya Ayahku,” lanjutku.
“Lesi, dengarkan Kakek. Ibumu tidak salah, mentalnya hanya tidak stabil, untuk itu Kakek melindunginya,” jelas pria paruh baya itu.
Aku terkekeh,”Aku pikir Kakek berbeda dengan Ibu. Tapi, kalian sama saja, selalu seenaknya menutupi sesuatu. Mungkin pelecehan yang dilakukan Nenek pada Ibu, Kakek juga menutupinya,”
Kakek mengernyitkan dahinya, “Apa maksudmu Lesi? Darimana kamu mendengarnya? Pasti Ginting yang menghasutmu ya. Nenekmu tidak pernah melakukan itu pada Ibumu,” Kakek berusaha untuk menyangkalnya.
“Itulah kenyataannya Ayah, Ibu yang melecehkan Kakak,” timpal Akarin
Kakek mendengus kesal,”Rupanya kamu masih terpengaruh dengan pria itu. Pikirkan perasaan Kakakmu, Akarin,”
Kemudian Kakek beralih menatap padaku,”Jika kamu mencari tahu sejauh ini, karena kamu marah dengan Ibumu. Kakek mengerti, tapi kumohon hentikan. Kakek tidak mau melihatmu terluka,” Pria paruh baya itu, mengelus kedua pundakku,”Tenri memang bukan ibu yang baik untukmu. Tapi ia tetap Ibumu,”
Air mata menggenang dipelupuk mataku,”Egois sekali,” kutepis kedua tangan Kakek.”Semua itu bohong kan? Kakek hanya peduli dengan diri sendiri, Kakek tidak pernah benar-benar peduli dengan Ibu bahkan aku. Untuk itulah Kakek tidak menghadapi Ibu dengan benar,”
“Lesi,” panggil Kakek dengan suara lirih.
“Lebih baik Ayah pulang saja. Biar aku yang menemani Lesi,” ujar Akarin.
Kakek pun pergi tanpa berkata apa-apa.
….
Pada awalnya Nana terlihat canggung untuk tinggal bersamaku, tapi semakin lama gadis mulai terbiasa. Seperti yang kujanjikan, ia akan bekerja sebagai pengawalku, meski pekerjaannya hanya sebatas menemaniku jika keluar. Aku masih belum mengajak ia ke sekolah, aku tidak ingin menarik perhatian banyak orang. Ditambah dengan masalahku dan Atu yang belum selesai.
“Apa seperti ini akan baik-baik saja?” tanya Akarin. Saat ini aku sedang di ruang kerjanya. Sementara itu Arai menemani Nana.
“Tentu, ini pasti baik-baik saja,” ujarku sambil menatap jemariku.
“Kamu masih kepikiran itu?” Akarin mengingatkanku pada masa lalu Ibu. Aku hanya terdiam tanpa menjawabnya. Menyadari hal itu, ia duduk disampingku sambil mengenggam tanganku.
“Mungkin Kak Tenri tidak sepenuhnya salah, tapi bukan berarti kamu tidak berhak membencinya, kamu tahu, aku tidak bisa menyelamatkan Kak Tenri, karena ia memaksaku untuk tidak melakukannya, dengan kata lain ia berkorban untukku,” suara Akarin bergetar seperti menahan tangis, “Jujur saja, aku sangat takut saat itu,”
Aku memeluk Akarin,”Aku mengerti Akarin, itu pasti sulit,” seketika air matanya mengalir begitu saja, ia terus mengatakan ucapan penyesalan padaku. Padahal ia tidak perlu merasa bersalah.
“Kita tidak bisa menghukum seseorang yang sudah mati,” celetukku.
“Kamu benar,” ujar Akarin.
“Aku masih belum mengerti, kenapa Ibu menuduh Om Ginting. Padahal pelakunya adalah Nenek,”
“Itulah yang sampai saat ini, belum kupahami dari Ibumu, ia sama sekali tidak mau menceritakan alasannya,”
Aku menghela nafas panjang, membenamkan wajahku dengan tangan. Sesekali aku memijit pelipisku, rasanya kepalaku seakan mau meledak. Aku berpikir kehidupan keduaku malah jauh lebih buruk daripada sebelumnya. Namun, jika aku berpikir seperti itu, sama saja aku tidak mensyukuri kesempatan yang tidak semua orang bisa alami. Oleh karena itu, aku menepis jauh-jauh pikiran tersebut.
Aku bisa saja melaporkan Ibuku, tapi itu pasti akan memberikan dampak besar pada orang sekitar. Termasuk Akarin dan Arai, setelah kebenaran itu diketahui semua orang. Aku yakin, mereka pasti tidak akan membiarkan kehidupan keluargaku tenang. Selalu ada celah, yang bisa masyarakat manfaatkan untuk membuat berita itu semakin naik, bahkan bisa-bisa menimbulkan perlakukan tidak baik pada Arai dan Akarin.
Seketika perasaanku menjadi dilema, tentang apa yang harus kupilih, “Menyebalkan,” gumamku yang tanpa sengaja didengar oleh Akarin.
“Benar, ini menyebalkan,” timpalnya.
Tiba-tiba aku teringat dengan flasdisk yang Om Gi berikan padaku. Aku masih belum memeriksanya, rasanya menakutkan karena mungkin saja yang ada di dalam benda tersebut, adalah kebenaran yang tidak ingin kuketahui.
Namun aku memberanikan diri untuk membukanya, Akarin penasaran dengan apa yang akan kulakukan pun mendekat. Ada begitu banyak dokumen seperti video dan foto. Aku melihat satu persatu, entah berapa kali aku terperangah dengan yang kulihat.
Giran tidak hanya menyelidiki tentang Ibuku, tapi juga orang-orang yang terlibat dengannya serta bukti kejahatan. Aku tidak mengira bahwa Ibu punya kerja sama bisnis dengan keluarga Sikka. Bahkan keduanya mendirikan Bar Katarsis bersama-sama.
Banyak artis yang terlibat, bahkan kebanyakanya adalah orang-orang yang aku ketahui. Aku merasa tidak nyaman ketika melihat video-video yang menampilkan dari para gadis tidak sadarkan diri, seperti halnya mainan, mereka dilecehkan dan dipermainkan. Aku terpaku pada salah satu video, memperlihatkan Sita yang diperkosa beramai-ramai. Sontak aku merasa mual, seluruh tubuhku gemetar.
Akarin mengelus punggungku dengan khawatir, bahkan ia sama terkejutnya denganku.
“Terlalu mengerikan, mereka tidak pantas disebut manusia lagi,” suara Akarin bergetar.
Di setiap bukti, Giran memberikan detail tanggal, waktu dan sumber. Tidak hanya artis-artis papan atas yang terlibat, bahkan polisi pun juga. Masuk akal jika klub itu tetap berdiri, karena dilindungi oleh seseorang yang punya kuasa dalam kepolisian.
“List orang-orang ini sepertinya adalah jurnalis yang berniat memberitakannya ke media, tapi aku tidak mengerti mengapa tidak ada media yang membicarakannya,” komentar Akarin. Hanya satu hal yang bisa menjawab semua itu.
“Kemungkinan mereka dibunuh atau dibungkam,” Aku menatap Akarin,”bukan tidak ada media yang mengangkatnya, tapi karena sejak awal berita ini memang tidak pernah diungkap,”
“Apa yang akan kamu lakukan? Jangan berpikir untuk mengungkapnya ke publik, kamu tidak tahu siapa yang kamu hadapi Lesi,” tukas Akarin seolah tahu apa yang kupikirkan.
Aku menghela nafas, “Tapi aku tidak bisa membiarkannya, hanya itu pilihannya,” jujur saja aku pun merasa takut, aku bisa memahami kekhawatiran Akarin padaku, seseorang bisa membunuhku jika aku menyebarkan kebenaran ini,“ mungkin aku juga harus memberitahu Nana,”
Mata Akarin melongo tidak percaya dengan yang kukatakan. Kemudian mengusap rambutnya ke belakang dengan frustasi, ia mondar-mandir seperti memikirkan sesuatu.
“Kamu yakin? Dia bisa membunuhmu, maksudku gadis itu pasti akan hancur kalo mendengarnya,” ujar Akarin.
“Jika menjelaskannya, mungkin dia akan mengerti,” aku bersikeras dengan tekadku.
Aku kemudian menghampiri Nana yang sedang bersama dengan Arai. Selama beberapa saat aku hanya terdiam tanpa mengatakan apapun, aku mengamatinya seolah menunggu waktu yang tepat untuk menjelaskannya.
“Apa terjadi sesuatu? Kamu tampak pucat,” tanya Nana.
“Aku baik-baik saja, bagaimana? Kamu betah disini?”
“Tentu, rasanya menyenangkan, ini tidak terlalu ramai. Soal pekerjaanku, kapan aku bisa memulainya?” Nana mulai bersemangat sampai membuatku tidak tega untuk mematahkannya. Mungkin reaksinya tersebut akan memudar begitu mendengar ceritaku. Aku tidak peduli meski harus dibenci olehnya, tapi rasanya menyakitkan jika melihat ia kehilangan harapan. Namun, sekarang atau nanti hasilnya sama saja, gadis itu pasti akan tersakiti pada ujungnya.
Aku menghela nafasku perlahan, “Aku ingin menceritakan sesuatu padamu, mungkin ini akan menyakitimu, tapi aku tidak bisa menyembunyikannya,”
“Tentu, apapun aku siap mendengarnya,” sahut Nana.
Menyadari ketegangan diantara aku dan Nana, Arai dan Akarin memilih untuk pergi ke ruang lain.
Aku pun mulai menceritakan semuanya, tanpa ada satu pun yang kusembunyikan darinya. Untuk beberapa saat, gadis itu hanya terdiam, tubuhnya gemetar.
“Maafkan aku, tidak biasanya aku begini,” Nana menyembunyikan air matanya, ”Tapi sejak awal aku sudah mengetahui perselingkuhan Ayahku dan untuk rencana Kakakku untuk balas dendam, ia memang tidak pernah membicarakannya, sampai seseorang memberitahuku soal itu,”
“Seseorang? Siapa?”
“Dia selalu memakai setelan bartender, meski tertutup jaket hitam, seingatku namanya Samir,”
Aku tidak mengira bahwa Om Gi juga mengunjungi Nana, mungkinkah hal itu dilakukan karena rasa kasihan.
“Kakak memperkenalkannya padaku, dia bilang orang itu adalah atasannya, tapi suatu hari atasannya datang padaku hanya seorang diri, lalu ia memberitahu semuanya tentang Kakakku,” Nana menghela nafas pelan,”aku berusaha mencegahnya, hanya dia satu-satunya yang kupunya saat itu, tapi Kakakku keras kepala, ia berbohong padaku, diam-diam balas dendam itu tetap dilakukan,”
Aku hanya mendengarkannya, membiarkan gadis itu mengeluarkan apa yang ia pikirkan dalam pikirannya.
“Aku tidak mengira bahwa wanita yang Ayahku lecehkan adalah ibumu, aku minta maaf atas masalah yang keluargaku timbulkan,” Nana menatap getir padaku. Alih-alih membenci dan merutukiku, gadis itu malah meminta maaf padaku.
“Sudahlah, keluarga kita berdua berada di posisi yang salah, meski Ibuku korban, tetap saja membunuh orang tidak pernah dibenarkan,” Aku tersenyum getir, “rasanya menggelikan megatakan ini, tapi aku ingin kamu tahu, bahwa kamu tidak sendirian, aku disini bersamamu, karena kita sedarah, andalkan aku sesukamu,”
Nana tertegun, ia mengatupkan bibirnya. Kemudian tersenyum padaku, air mata yang tidak bisa ia tahan, keluar begitu saja. Apa aku mengatakan sesuatu yang salah sehingga menyakitinya? Sepertinya begitu, gadis itu semakin menangis. Aku yang merasa bersalah, memeluknya untuk menenangkan Nana.
Akhirnya setelah beberapa saat, Nana merasa tenang. Akarin dan Arai yang semula di kamar pun, langsung menghampiriku. Mengintrogasiku dengan tatapan penuh selidik.
“Sudah kubilang memberitahunya tiba-tiba seperti itu, pasti menyakitinya,” keluh Akarin dengan mengerucutkan bibirnya. Tatapanku beralih pada kedua mata Arai yang sembab seperti habis menangis.
“Kamu menceritakannya juga pada Arai?” tanyaku.
“Tentu saja, tapi karena itu dia menangis tadi,” jawab Akarin merasa bersalah.
“Aku lebih aneh melihat kamu enggak menangis sedikit pun, aku jadi khawatir memikirkannya,” keluh Arai menatapku. Mendengar hal itu membuatku tersadar, bahkan ketika Om Gi menceritakan masa lalu Ibuku aku tidak menangis, meski saat itu dadaku seperti dihantam sesuatu. Bahkan tadi ketika melihat isi flasdisk, aku hanya merasa mual saja. Meski begitu, aku masih merasakan sakitnya dalam hatiku. Hanya saja air mataku tidak mau keluar.
“Aku baik-baik saja,”
“Jadi apa rencanamu selanjutnya? Kamu masih ingin melakukannya?” Akarin penasaran.
Aku mengangguk,”tentu, aku ingin mengakhiri semuanya, aku yakin Giran juga menginginkan ini,”
Nana yang tertunduk mendongak menatap padaku,”kenapa sampai sejauh itu? maksudku kamu tidak perlu melakukannya demi—”
“Ini bukan tentang balas dendam Giran, tapi aku memang ingin memberi pelajaran pada Ibuku, mungkin lebih tepatnya pada semua orang,” jelasku.
“Biarkan aku ikut,” Akarin mengenggam tanganku dengan sorot mata yang memohon,”Aku tidak bisa membiarkanmu menanggung ini sendiri, jadi biarkan aku ikut,”
“Aku juga,” timpal Arai.
Melihat tekad mereka membuat hatiku tersentuh, aku hanya mengangguk.
….
Aku datang ke sekolah seperti biasa, tepat hari ini aku harus membuat permintaan maaf di depan semua orang. Begitu aku ke lokerku untuk mengambil buku pelajaran, bau menyengat keluar dari kotoran yang menjejali lokerku, bahkan buku milikku sudah berceceran. Tulisan itu terpampang jelas dari kertas yang sengaja ditempelkan oleh seseorang. Aku tidak terganggu dengan hal semacam ini, mungkin karena aku sudah terbiasa menerimanya.
“Aku penasaran bagaimana caranya kamu tetap tenang di situasi sepert ini?” tanya Atu menghampiriku, mendorong kursi rodanya, “tapi sayangnya itu tidak akan bertahan lama, karena setelah permintaan maaf itu, hidupmu pasti menyakitkan, aku turut berduka cita untukmu,” ia memperlihatkan ekspresi prihatin lalu meninggalkanku begitu saja.
“Astaga, mereka melakukannya lagi,” Aru tampak kesal saat melihat lokerku.
“Sebaiknya laporkan saja ke Guru,” usul Obi yang datang setelah Aru, diikuti oleh Damar dan Sita.
“Tidak perlu, ini bukan masalah,” ujarku.
Kemudian aku menghampiri Sita, “Aku ingin minta maaf, karena hari ini mungkin aku akan menyakitimu,”
Sita mengerjapkan matanya, ia terlihat bingung,”Eh?”