POV Atu
Suara ketikan terdengar begitu keyboard laptop itu di klik, jemarinya yang lincah terus menelusuri setiap huruf di dalamnya, mata sayunya seakan terhipnotis oleh layar yang sudah tiga jam menyala.
“Sudah lama kamu menulis, kenapa engga istirahat aja dulu?” Aku yang sedang bermain game, melepaskan headphoneku dan menghampiri Hana.
“Sedikit lagi, lagi pula aku tidak bisa membuat pembacaku menunggu,” Hana menatapku sebentar sambil tersenyum tipis, lalu kembali melihat laptop.
Kemudian Hana beranjak berdiri, menyeret kaki kanannya menghampiri mading yang sudah dipenuhi oleh catatan-catatan kecil, dan ditandai dengan benang merah. Ia akan melihat outlinenya, setiap kali pikirannya mulai buntu.
Meski saudara kembar, kami berdua sangat bertolak belakang. Hana lebih berbakat dibandingkan denganku, ia memenangkan banyak penghargaan karena kemahirannya dalam menulis karya fiksi, bahkan ia punya suara yang punya bagus ketika bernyanyi. Semua bakatnya, sudah sejak lahir ia bawa dan wariskan dari Ibu dan Ayahku, yang merupakan seorang penyanyi dan aktor terkenal. Anehnya, aku tidak pernah iri dengan Hana, aku malah mengaguminya.
Seandainya Ibu tidak meninggal begitu melahirkan kami berdua, mungkin bakat Hana tidak akan terus disembunyikan oleh Ayah. Gills bilang padaku bahwa Ibu mirip dengan Hana, punya sifat yang baik hati dan pengertian dengan orang sekitar.
“Sebaiknya kita hentikan saja, aku akan bilang ke Ayah agar mengembalikan kepemilikan novel itu menjadi milikmu,” usulku menatap Hana dalam. Gadis itu menoleh padaku tercengang.
“Sudah kubilang aku tidak masalah, jika karyaku ditulis dengan namamu, selama aku bisa melakukan apa yang kusukai, itu sudah cukup bagiku,” Hana mencoba menenangkanku. Aku meremas tanganku, aku tidak tahan dengan ini. Lagi pula aku tidak pernah suka menulis. Menyadari kekesalanku, Hana mengenggam tanganku lembut dan menyingkap rambutku ke belakang telinga.
“Aku baik-baik saja, jadi kamu tidak perlu mencemaskanku, aku malah merasa senang bisa berguna untuk Ayah, mungkin dengan ini ia akan mencintaiku,” tutur Hana tersenyum. Hatiku seperti dihantam dengan sesuatu, terasa sesak dan menyakitkan. Pria yang Hana sebut Ayah itu, tentu tidak akan pernah mencintainya. Seseorang yang tergila-gila dengan kesempurnaan, akan selamanya hidup dengan merendahkan yang dianggapnya berbeda.
Menyadari fisik Hana yang tidak sempurna, Ayahku menyembunyikan keberadaan Hana dari dunia. Orang-orang hanya mengetahui bahwa satu-satunya putri Sebastian Sikka adalah Aku.
Hana dibiarkan hidup dalam bayanganku, ia tidak sekolah dan tidak disekolahkan. Meski begitu, Hana ternyata punya semangat dan rasa penasaran yang lebih besar dariku, ia selalu diam-diam ke perpustakaan di rumah, hanya untuk sekedar membaca buku. Gadis itu bahkan meminta Gills untuk mengajarinya membaca. Namun, Ayah memergokinya dan menghukum Hana dengan mengunci di ruang rahasianya. Suara teriakan karena dipukul itu, tentu tidak akan terdengar sampai luar.
Hana masih bisa tersenyum meski sekujur tubuhnya dipenuhi luka lebam.
“Ini bagus kan? Seperti motif bunga dari buku yang kubaca,” itulah yang Hana selalu katakan, ia menyembunyikan rasa sakitnya dengan melontarkan beberapa candaan.
Hana mulai mengembangkan bakatnya dalam menulis buku dan bernyanyi, jadi ia membuat semacam akun YT agar bisa berinteraksi dengan penggemarnya. Namun, sekali lagi itu ketahuan oleh Ayah. Melihat potensi Hana yang bisa dimanfaatkan, Ayah membiarkannya, pria itu menyuruh Hana tetap melakukannya dengan syarat semua bakat yang ia miliki harus mengatasnamakan diriku. Jelas aku keberatan, tapi Hana mengatakan itu tidak masalah baginya.
Aku meminjam bakatnya dan Hana yang melakukannya. Kami berdua seperti bulan dan matahari, cahaya dan bayangan, saling melengkapi dalam perannya masing-masing. Namun, aku tidak pernah menginginkan cara hidup yang seperti ini.
Novel yang menjadi debut pertamaku adalah “Penari dan Gadis Hujan,” karya ini mendapatkan perhatian banyak orang.
Ayah dan Anak luar biasa, komentar akun george12
Benar, mereka seperti cerita mitologi balas 88Edwind.
Pujian-pujian yang tertuju padaku dan Ayah menjadi jejak di internet. Namun, kadang kala ucapan negatif kudapatkan dari orang-orang yang membenci Ayahku.
Pria itu tampak arogan, anaknya juga sama, aku menemuinya di fans meet, ia sama sekali tidak tersenyum, benar-benar jelek komentar Bellaanggel12.
Ketika membacanya bukan kekesalan yang kurasakan, melainkan rasa bersalah. Bertemu banyak orang memang membuatku lelah, rasanya seperti sebagian jiwaku ikut hilang, aku tidak mengerti mengapa ada orang suka dengan keramaian, ditambah sulit bagiku untuk mengekspresikan apa yang kurasakan. Melihat aku yang dihina, Hana membalas komentar tersebut dengan ketus dengan akun lain.
Kamu hanya menemui Atu sekali, bagaimana bisa menyimpulkannya seperti itu, dasar konyol, bahkan kamu lebih jelek karena bersembunyi dibalik akun palsu. Balas HSK12.
Aku sontak terkekeh, itulah sisi lain dari Hana. Ia sama sekali tidak takut menantang orang yang berani menghinaku. Bahkan saat kecil, Hana selalu menjadi garda paling depan untuk menolongku. Saat anak-anak lain mulai merundungku, ia akan berpura-pura bersikap seperti zombie hanya untuk menakuti mereka.
Suatu hari Hana jatuh sakit, Ayah menolak untuk membawanya ke rumah sakit. Aku berusaha untuk membujuknya, tapi pria itu tetap dalam pendiriannya.
“Membawanya ke rumah sakit, hanya akan membuat orang mengetahui bahwa ia putriku, aku tidak bisa membiarkan itu terjadi,” ujarnya dengan tegas.
Aku bersujud padanya, berharap ada sedikit nurani dalam hatinya, “Aku mohon tolong Hana, ia benar-benar sekarat,” Air mataku menggenang, rasanya perih. Aku tidak ingin kehilangannya, itulah yang aku pikirkan saat ini. Ayah menghiraukan permintaanku.
Pria itu tidak bisa diharapkan, kemudian aku terpaksa membawa Hana sendiri ke rumah sakit, aku tidak peduli jika seluruh dunia mengetahuinya.
“Ayo Gills, kita pergi ke rumah sakit sekarang,” pria itu hanya terdiam, menundukkan wajahnya.
“Maaf, saya tidak bisa, tuan melarangnya,” tutur Gills. Kemarahanku memuncak, aku membenci Ayahku.
“Aku baik-baik saja Atu, hanya perlu istirahat sebentar,” wajah Hana memucat dan ia terlihat lemas.
“Apa yang kamu katakan? Tentu kamu tidak baik-baik saja, aku tidak bisa membiarkannya,” ujarku dengan lirih.
Kemudian aku menggendong Hana, menatap Gills dengan tajam,”Jika kamu tidak bisa mengantarku ke rumah sakit, aku mohon jangan menghalangiku, aku mohon padamu Gills,” isakku di tengah keputusasaanku. Pria itu terlihat merasa bersalah, ia pun membiarkanku pergi.
Aku pergi ke rumah sakit dengan taksi. Sepanjang jalan Hana bersandar dibahuku. Gadis yang biasanya ceria, kini hanya terkulai lemas. Aku tidak suka dengan Hana yang seperti ini, aku ingin segera melihat Hana yang biasa kulihat setiap hari.
“Atu, maaf merepotkanmu,” lirihnya.