POV Lesi
“Tertawa saja, kamu enggak perlu menahannya,” sindir Atu. Gadis itu sama saja seperti Sita, selalu menyimpulkan sembarangan, sebenarnya apa yang mereka pikirkan tentangku selama ini?
Aku mendengus kesal, “Aku tidak pernah berpikir seperti itu, meski membencimu, asal tahu aja, aku juga punya masalah sendiri, jadi aku tidak punya waktu untuk menertawakan masalah orang lain,” jelasku padanya. Lalu aku berkeliling untuk mencari barang-barang yang bisa kugunakan. Tentu, keluar dari tempat ini pasti akan menimbulkan kerusuhan, kemungkinan terjadi perkelahian.
“Sebenarnya apa yang kamu cari? Aku sudah membebaskanmu, bukankah kita harus keluar dari tempat ini?”
Atu memegang lenganku, hingga aku menoleh kepadanya.
Aku mengambil bom asap dan senjata tajam seperti pisau saku. Atu tampak bingung dengan begitu banyak barang di tanganku.
“Kamu pasti bercanda, untuk apa membawa barang semua ini? ini bukan penjarahan, ayo pergi,” Atu mendesakku dan menarikku. Namun aku menahannya.
“Tunggu dulu,” Aku menghempaskan lengannya,”tentu saja ini dibutuhkan, ada banyak penjaga disana, “ aku menaruh bom asap disakuku, sementara pisau saku di saku satunya.
Atu mendelik, “Apa lagi?”
“Emm, boleh aku ambil itu?” Aku menunjuk ke salah satu alat bela diri yang berbentuk cakaran harimau. Benda itu tampak sangat praktis, tidak memakan tempat. Aku selalu ingin memilikinya. Namun karena Akarin melarangnya, jika aku menggunakan benda tersebut, hanya karena anak SMA. Meski apa yang wanita itu memang benar adanya.
Atu menghela nafas, “Iya, tapi cepatlah, kita tidak punya banyak waktu,” Aku lalu mengambilnya. Ternyata sedikit berat tapi cukup ringan untuk digunakan, berat benda ini sepertinya sekitar 200 gram.
Aku dan Atu pun keluar, melihat kesana kemari memastikan ada penjaga atau tidak. Meski begitu, tetap saja keberadaan kami ketahuan oleh salah satu penjaga. Namun melihat anak tuannya sendiri, mereka tampak ragu.
“Biarkan kami pergi, ini perintah!” titah Atu. Para penjaga tampak bertukar pandang, namun mereka sama sekali tidak menganggap ucapan Atu sebagai perintah. Aku pun berdiri di depan Atu. Kupasang Knuckle besi yang kuambil tadi, kepercayaan diriku entah kenapa meningkat drastis.
Salah satu penjaga menyerang padaku, tubuhku melesat berayun ke arah kanan, Dengan cepat aku memukul bagian dadanya, pria tersebut meringis. Kemudian serangan kedua dari arah belakangku, aku berhasil menangkisnya. Kupukul ia di bagian pipi dan perutnya.
Satu persatu aku berhasil mengalahkan mereka, tapi para penjaga terus bangkit lagi. Nafasku mulai pendek, jika terus seperti ini maka bisa-bisa aku tumbang duluan. Tiba-tiba satu penjaga membawa senjata api, mengarahkannya padaku. Namun, seseorang menyerangnya dari arah belakang. Ternyata adalah Gills, pelayan Atu.
“Apa nona baik-baik saja?” Gills dengan raut khawatir bertanya pada Atu.
Atu mengangguk, “syukurlah kamu datang tepat waktu, sudah siapkan apa yang aku minta?” Gills mengangguk, lalu ia menyerahkan sebuah flasdisk pada Atu.
“Semua bukti tentang tuan Sebastian ada disini,” jelas Gills.
“Kalo begitu, antarkan kami berdua ke suatu tempat sekarang,”
“Baik Nona—”
Aku menyela pembicaraan Gills, “tidak perlu, serahkan kuncinya, aku dan Atu yang akan kesana,” ucapanku disambut oleh tatapan Atu yang melongo tidak percaya. Aku tahu ini pasti membuatnya bingung, seorang siswa dibawah umur membawa kendaraan, itu jelas pelanggaran.
“Sebagai gantinya, kamu tahan penjaga itu untuk kami,” Aku menarik tangan Atu dan berlari menuju mobil milik Gills. Begitu kutekan remote, mobil itu berbunyi. Atu duduk disebelahku.
“Kenapa kita tidak sekalian mengajak Gills? Biar dia yang menyetir,” Atu masih ragu denganku.
“Tidak ada waktu, ayolah cepat! Jangan banyak tanya,” ujarku dengan geram. Atu hanya pasrah, ia memasang seatbell. Aku menyetir dengan kecepatan tinggi, Atu tampak ketakutan, gadis itu terus mengoceh padaku.
“Pelan-pelan bawa mobilnya, aku tidak mau mati muda!” jeritnya.
“Jika pelan, orang-orang suruhan Ayahmu akan mengejar kita,” tekanku tanpa mengalihkan pandangan.
Aku akhirnya sampai di tempat Gatta. Namun, sayangnya Ibu datang lebih dulu menemuinya. Bahkan Om Gi juga ada disana. Miwa beserta gengnya yang kusuruh menjaga keluarga Gatta, dibuat tidak berkutik. Wanita itu menyewa banyak orang hanya untuk menemui Gatta. Aku yakin, ia sudah memperkirakannya.
“Selamat datang, mengejutkan sekali bisa bertemu denganmu,” Ibu melontarkan sindiran padaku, “Aku ingin bertamu kesini, tapi ada wanita tua dan orang-orang kasar yang menghalangiku, sangat tidak sopan,”
Aku menatap Om Gi, mempertanyakan pada siapa ia berpihak. Namun pria itu hanya memalingkan wajahnya dariku.
“Menyadari Gi mengkhianatiku, itu sangat menyakitkan, aku berpikir haruskah aku membunuhnya? Tapi untungnya Gi tetap mau bersamaku, aku pun memberi ia kesempatan,” Ibu tersenyum tipis, lalu menyeruput teh hijau yang berada di meja.
Aku mengepalkan tanganku, “Sebenarnya apa yang Ibu rencanakan? Apa ibu puas hanya hidup untuk ini?” tanyaku dengan suara gemetar menahan amarah.
Ibu menaruh kembali gelasnya, ia menoleh padaku,”karena kamu menghalangiku, ikut campur dan membuat semuanya berantakan, aku tidak bisa membiarkanmu lebih jauh lagi, aku cukup menahan diri karena pria tua itu melindungimu,” ia menyenderkan diri ke sofa, sambil melenggangkan kedua tangannya, Ibu beralih menatap Atu. Ia tampak tidak terkejut, seolah sudah lama mengenalnya.
“Aku tidak mengira bahwa kamu mengkhianati Ayahmu, padahal Sebastian sangat membanggakanmu. Pasti anakku membawa pengaruh buruk bagimu ya, aku sudah menduganya, memang kita tidak bisa mengharapkan hal baik dari anak yang terlahir dari cara yang kotor,” Ibu mengatakannya dengan santai, seperti tidak peduli apa perkataannya tersebut akan menyakitiku atau tidak.
“Kamu benar dia memang gadis yang kotor karena sering terlibat dengan perkelahian, ia bahkan tidak peduli seragamnya rusak, tapi aku bersyukur ia tidak seperti Ibunya, ia tidak membunuh orang atau pun merenggut kehidupan orang lain,” senyum miring terlihat dari bibir Miwa, dengan santai ia mengucapkan sesuatu yang jelas menodai harga diri Ibu, “Kebaikannya hanya terlalu terus terang, tidak bisa diatur atau dikekang, ia berdiri sendiri dengan kakinya, tidak hanya gagal sebagai manusia, kamu juga gagal sebagai seorang Ibu, yang memahami putrimu saja tidak bisa,”
Aku merasa senang ketika Miwa membelaku, rasa hangat seakan menjalar dalam hatiku. Wajah Ibu menegang dengan sorot mata penuh kemarahan, ia menghampiri Miwa dan menamparnya. Aku terkejut.
“Hanya karena lebih tua, bukan berarti aku tidak bisa melukaimu dengan tanganku sendiri, padahal aku sudah memperingatkanmu, jika melawanku maka aku bisa menghancurkan panti asuhan kebanggaanmu itu,” ancam Ibu terdengar mengerikan.
Aku berharap bahwa monster didepanku bukan Ibuku. Sejauhmana kegelapan itu membawanya pergi dari dirinya sendiri. Mungkin sejak awal jiwa wanita itu sudah mati. Sosok yang ada didepanku ini hanya mengikuti kebenciannya.
Kemarahan itu perasaan yang kuat, aku bahkan tidak menyadari bahwa emosi semacam itu menuntun tubuhku bergerak, aku sangat ingin memukulnya sekali saja. Itulah yang kupikirkan, tapi Om Gi berdiri menghalangiku. Lebih tepatnya, ia melindungi Ibu, seseorang yang tidak seharusnya ia bela.
Aku tersenyum getir, “Apa ini? ingin melindunginya lagi?! Mengapa orang dewasa suka sekali melakukan hal picik seperti ini? Jangan halangi aku, biarkan aku memukul wanita itu,” aku menatap tajam pada Ibuku, tanganku mengepal. Kemarahan itu seperti memenuhi dadaku, sampai aku tidak bisa menahannya.
Om Gi hanya terdiam, ia menatap nanar padaku. Aku tidak mengerti mengapa ia harus sejauh ini melindungi Ibuku.
“Maafkan aku, kumohon hentikan ini,” Om Gi menahan suaranya yang gemetar.
Aku terkekeh, “Aku tidak tahu bahwa cinta bisa membuat seseorang menjadi begitu bodoh seperti ini, jika Om pikir dengan melindungi, mengabdi, dan membiarkan ia bertindak sesukanya disebut cara yang tepat untuk mencintainya,…Maka Om tidak ada bedanya dengan Nenekku,” mendengar ucapanku, Ibuku sontak menoleh padaku.