Pov Ahmad.
Ingin rasanya membawa diri lari dari dunia sejauh mungkin. Menjauh sejauh-jauhnya hingga tak ada yang hinggap kembali. Aku kini telah larut dalam transaksi aneh, kesedihan yang kubayar dengan senyum pura-pura.
“Bersabarlah,” mereka cuman bisa berbicara seperti itu.
“Apa mereka sadar atau sudah gila, apa arti bersabar jika dia tidak ada lagi. Bersabar bisa menghentikan pendarahan itu? Emangnya bersabar bisa mengembalikan nyawanya?”. Gumam Ahmad
“ikhlaskan saja,” kata mereka yang kembali berseru.
“Bagaimana mengikhlaskan dia yang pergi tanpa pamit, menjauh tanpa pesan, dan ditambah lagi dia tak pernah mengajariku arti mengikhlaskan” hati Ahmad yang kembali bergumam dengan air mata yang mulai menetes
“Ini sudah takdir,” kembali lagi dengan kata-kata mereka yang kini semakin memelas.
“Bagaimana ini sebuah takdir? Apa tuhan menciptakanku untuk segera mati menderita?” kinu dengan suara yang lantang tersuarakan bersama isak tangis.
Keberadaan jiwa yang sudah menghilang membawa perih seribu tusukan. Hati yang mencintai kini membenci takdir yang memisahkan. Jarak, bukan perkara tentang jauh dekatnya. Tapi, sudah tidak dapat bertemu lagi. Rasa terpukul kuat, sungguh berasa betul.
Ayah Ahmad, seorang penjual sayur-mayur di pasar. Gardu yang sempit menemani hari mengadu nasib. Ragu melangkah, ada apa ini? Kekhawatiran, logika, dan rasa mulai terkoyak-koyak tak henti,
Tubuh kekar itu, tergeletak terbanting diatas aspal. Semua orang ketakutan. Simbahan darah yang berceceran deras. Ada apa ini tuhan?