Hati yang Tak Seharusnya Singgah

Risti Windri Pabendan
Chapter #1

Chapter 1 Pulang untuk Menenangkan Diri

Mobil travel berhenti di depan gapura kayu bertuliskan “Desa Suryaningrum.” Udara kampung langsung menyapa Nadia sejuk, bercampur aroma tanah basah dan padi yang baru menguning. Sudah tiga tahun ia tidak pulang, dan kali ini tanpa Bayu, suaminya. Katanya pada orang tua, ia hanya ingin “kangen-kangenan.” Padahal, kenyataannya Nadia lelah. Lelah dengan rumah besar di Jakarta yang sunyi, lelah dengan janji pulang suami yang selalu tertunda.

Ia menarik napas panjang, menyeret koper ke jalan desa yang lengang. Di pinggir jalan, beberapa anak berlarian sambil tertawa. Suara ayam berkokok bersahutan dengan gemericik air dari parit kecil. Semua terasa begitu hidup kontras dengan kesepian yang terus menggerogotinya.

Saat melewati tikungan dekat pohon asam tua, Nadia hampir terserempet motor bebek tua yang melaju pelan. Rem berdecit, motor berhenti.

“Lain kali hati-hati kalau jalan,” suara berat itu datar, tanpa menoleh lama.

Nadia mendongak. Seorang pria tinggi dengan kemeja kerja kusam turun sebentar, lalu langsung memeriksa barang bawaannya. Tangan dan lengannya penuh noda oli, wajahnya teduh tapi dingin, sorot matanya tak menyimpan basa-basi.

“Maaf, Mas… saya nggak lihat tadi,” Nadia mencoba tersenyum, tapi pria itu hanya mengangguk singkat.

Tanpa sepatah kata lagi, ia kembali men-starter motor, pergi meninggalkan Nadia yang berdiri termangu.

Orang-orang desa yang lewat sempat berbisik, “Itu Raka, sekarang punya bengkel sendiri. Istrinya kabur bawa anak cewek, ninggalin dua anak cowok sama utang segunung.”

Nama itu berputar di kepala Nadia sepanjang perjalanan ke rumah orang tuanya. Entah kenapa, pertemuan singkat yang dingin itu membekas. Ada sesuatu di balik tatapan Raka yang membuat jantung Nadia berdegup lebih kencang dari seharusnya.

Suara gemericik air sumur bercampur aroma kayu bakar menyambut Nadia ketika melewati halaman rumah masa kecilnya. Rumah kayu bercat hijau itu berdiri teduh di bawah rindang pohon mangga tua. Di beranda, Ibu sudah menunggu sambil memegang sapu lidi, wajahnya sumringah meski kerutan makin jelas di pelipisnya.

“Nadiaaa! Akhirnya pulang juga, Nak!” seru Ibu sambil memeluk putrinya erat, seolah takut Nadia akan menghilang lagi.

“Iya, Bu… kangen banget sama rumah ini.” Nadia tersenyum, walau di balik senyumnya ada rasa getir. Bayu bahkan tidak sempat mengantarnya, hanya sekadar transfer ongkos travel dan pesan singkat: ‘Jaga diri baik-baik, ya. Aku sibuk rapat.’

Bapak keluar dari dalam rumah, membawa cangkul. “Lho, anak kota pulang kampung sendirian? Bayu nggak ikut?”

“Kerjaannya lagi banyak, Pak,” jawab Nadia cepat, menghindari tatapan penuh tanya.

Bapak mengangguk pelan, meski jelas terlihat ada kekecewaan yang disembunyikan. Mereka duduk bertiga di beranda, bercakap-cakap soal kabar tetangga, sawah yang panennya tertunda hujan, dan rencana kenduri bulan depan.

Namun telinga Nadia menangkap sesuatu ketika tetangga lewat membawa ember. “Itu Raka lewat nggak?” tanya si tetangga ke Ibu. “Tadi aku lihat dia bawa motor penuh onderdil lagi. Kasihan anaknya ditinggal, ya.”

Ibu hanya menjawab datar, “Iya, dia memang keras hidupnya.”

Lihat selengkapnya