Pagi itu, Nadia duduk di teras rumah orang tuanya, menatap sawah yang mulai menguning. Embun masih menggantung di ujung daun padi, udara segar menusuk paru-paru dengan cara yang menyenangkan. Tak ada deru mesin, tak ada klakson bersahut-sahutan seperti di Kota Pradipa. Hanya suara ayam berkokok dan desir angin.
Namun, ketenangan itu tidak sepenuhnya bisa menghapus kegelisahannya. Bayu, suaminya, tak menghubungi sejak kemarin sore. Pesan singkatnya hanya dijawab dengan “lagi rapat, nanti telepon” telepon yang tak kunjung datang.
Nadia menghela napas, menyeruput teh hangat buatan ibunya. Namun pandangannya tak fokus. Yang terbayang justru wajah Raka Santosa, pria yang ditemuinya kemarin di jalan desa. Tatapan mata dingin yang seolah tembus pandang. Sikapnya yang cuek membuat Nadia justru makin penasaran.
“Kenapa wajahnya terus muncul sih?” Nadia mendesis pelan, menggelengkan kepala.
Sementara itu, di sisi lain Kampung Suryaningrum, Raka sudah sibuk sejak subuh. Bengkelnya yang kecil, mulai ramai pelanggan motor-motor warga desa yang butuh servis sebelum dipakai ke sawah atau ke pasar. Dengan tangan penuh oli, ia bekerja tanpa banyak bicara.
“Pak Raka, ini rantainya putus lagi,” kata seorang petani yang membawa motor tuanya.
“Taruh saja di pojok, nanti saya perbaiki,” jawab Raka singkat.
Damar dan Adit duduk di kursi kayu dekat pintu bengkel. Damar membantu membersihkan peralatan, sedangkan Adit asyik menggambar di buku tulis lusuh.
“Mas, sarapan dulu,” suara Bu Broto, tetangga yang sering mengantar makanan, terdengar dari luar. Wanita separuh baya itu menyodorkan rantang berisi nasi uduk. “Nggak baik kerja pagi-pagi belum isi perut.”
“Terima kasih, Bu,” kata Raka datar. Ia tak menoleh lama, hanya sekadar sopan.
“Kapan Mas Raka nikah lagi? Sayang masih muda, sendirian ngurus anak begini,” goda Bu Broto dengan nada setengah bercanda.
“Tidak usah, Bu. Saya masih bisa urus anak-anak,” jawab Raka dingin, membuat si ibu tetangga terdiam canggung.
Begitulah Raka. Sejak istrinya pergi meninggalkan rumah bersama anak bungsunya empat tahun lalu dan menyisakan hutang-hutang menumpuk hatinya seolah terkunci rapat. Banyak janda muda dan gadis desa mencoba mendekat, tapi ia selalu menolak, tanpa ragu, tanpa basa-basi.
Menjelang siang, Nadia lewat di depan bengkel sepulang dari pasar. Ia menahan langkah, pura-pura melihat-lihat sayuran di warung kecil seberang jalan. Pandangannya tak sengaja menangkap pemandangan yang membuat dadanya hangat: Raka tersenyum kecil pada Adit, mengelus rambut anaknya yang belepotan debu. Senyum itu tipis, jarang muncul tapi Nadia melihatnya.
“Dia bisa tersenyum juga rupanya,” gumam Nadia.
Raka yang menyadari pandangan itu hanya mengangguk sekilas, tanpa bicara, lalu kembali fokus ke motor di depannya. Sikap cuek itu justru membuat Nadia semakin ingin tahu. Apa yang membuat pria itu menutup diri sedingin baja? Apa yang membuatnya enggan tersentuh cinta lagi?
Malamnya, di kamar Nadia, rasa penasaran itu makin menjadi. Wulan, sahabat lamanya, yang datang berkunjung membawa gosip kampung, tak sengaja menambah bahan pikirannya.
“Kamu tahu nggak, Di? Sejak ditinggal istrinya, Raka nggak pernah kelihatan deket sama siapa-siapa. Padahal banyak yang naksir. Ada biduan dangdut, ada janda anak satu, semua mentok ditolak,” kata Wulan dengan suara setengah berbisik.
Nadia pura-pura tak tertarik, tapi jantungnya berdetak lebih cepat. “Oh, ya? Kenapa gitu ya?”