Pagi itu langit Kampung Suryaningrum tampak jernih, angin berembus ringan membawa aroma tanah basah dari kebun di belakang rumah. Nadia berdiri di teras sambil memandangi jalan tanah yang membentang ke arah bengkel kecil di ujung tikunganBengkel Raka. Tangannya memegang rantang berisi sayur sop dan ayam goreng kesukaannya dulu saat masih kecil, buatan tangan ibunya.
“Cuma ingin berbagi,” Nadia membatin, mencoba meyakinkan dirinya sendiri. “Tidak ada salahnya, kan?”
Ia melangkah pelan menuju bengkel. Dari kejauhan, terdengar suara ketukan logam dan deru mesin motor. Di depan bengkel, Ardi dan Dimas duduk di kursi kayu reyot, sibuk memainkan mobil-mobilan dari kaleng bekas. Senyum Nadia mengembang secara alami.
“Pagi, Ardi… Dimas…” sapa Nadia lembut.
Kedua bocah itu sontak mendongak. Dimas, yang paling kecil, tersipu malu sementara Ardi menyambut dengan antusias, “Pagi, Kak Nadia! Wah, wangi banget tuh… bawa makanan, ya?”
Nadia terkekeh. “Iya, buat kalian. Udah sarapan belum?”
Sebelum Ardi sempat menjawab, Raka muncul dari balik pintu bengkel, kaosnya basah oleh keringat, tangannya kotor oleh oli. Wajahnya datar seperti biasa. “Tidak usah repot-repot, Bu Nadia. Mereka sudah makan.” Nada suaranya dingin, jelas ingin menjaga jarak.
Nadia menatapnya sebentar, lalu tersenyum seolah tidak terpengaruh. “Tidak apa-apa, Raka. Cuma sedikit makanan. Anak-anak kan pasti senang kalau ada yang berbeda.”
Raka mendekat, mengambil lap untuk mengelap tangannya. Tatapannya tajam, tapi ada kilatan bingung di balik sorot mata itu. “Saya tidak suka berutang budi. Tolong jangan sering-sering ke sini.”
Ucapan itu terdengar kasar, membuat Ardi dan Dimas saling pandang gelisah. Nadia menahan napas sejenak, kemudian meletakkan rantang di meja panjang dekat pintu bengkel. “Ini bukan utang budi, Raka. Anggap saja salam pagi dari tetangga lama.” Senyumnya tak pudar sedikit pun.
Raka mendengus pelan, tidak membalas. Tapi saat ia berpaling, Nadia menangkap sekilas tatapan yang berbeda ada sesuatu di balik dinginnya, mungkin rasa terima kasih yang enggan diucapkan.
“Kalau begitu, Kak Nadia main sebentar, ya?” pinta Ardi dengan mata berbinar.
Nadia duduk di kursi dekat mereka, ikut mengamati mobil-mobilan kaleng buatan Ardi. “Bagus sekali ini. Kamu bikin sendiri?”
“Iya, Kak! Ayah cuma kasih kaleng sama paku bekas. Aku sama Dimas yang nyusun rodanya.” Ardi terlihat bangga.
Raka pura-pura sibuk mengecek mesin motor, tapi telinganya jelas menangkap percakapan itu. Ada perasaan aneh di dadanya, seperti terusik oleh kehadiran Nadia yang begitu ramah pada anak-anaknya. Bukannya tidak senang… hanya saja, ia takut. Takut kalau wanita ini mulai masuk terlalu jauh ke dalam hidup mereka.
Saat Nadia pamit, Dimas spontan berteriak, “Makasih, Kak Nadia!” Raka langsung menatap tajam anak bungsunya, tapi Dimas hanya nyengir.
Nadia melangkah pergi, meninggalkan aroma masakan rumahan yang membuat perut dua bocah itu keroncongan lagi. Raka hanya menghela napas panjang, mengelap keringat di dahinya. Dalam hati, ia ingin membuang rantang itu tanpa menyentuh isinya. Tapi ketika melihat wajah anak-anaknya bersinar penuh harap, hatinya luluh ia membiarkan mereka menyendok sop hangat itu dengan lahap.
“Sekali ini saja,” gumamnya pelan, meski hatinya sendiri tidak yakin bisa benar-benar mengusir bayangan Nadia yang semakin sering mengusik pikirannya.
Matahari sudah mulai condong ke barat ketika Nadia kembali melewati jalan desa. Udara sore terasa hangat dan damai, jauh dari bising kota yang selalu membuat dadanya sesak. Namun entah kenapa, setiap langkah kakinya terasa lebih berat mungkin karena perasaan campur aduk setelah pertemuan paginya di Bengkel Raka.
“Kenapa dia selalu bersikap dingin begitu?” Nadia menggumam dalam hati. “Padahal aku cuma ingin membantu… apa salahnya?”