Hati yang Tak Seharusnya Singgah

Risti Windri Pabendan
Chapter #4

Chapter 4 Benih di Hati yang Salah

Nadia berdiri di depan jendela kamar lamanya, memandangi kebun belakang yang dipenuhi suara jangkrik. Udara malam di Kampung Suryaningrum terasa sejuk, jauh berbeda dari udara pengap apartemen di kota. Di kejauhan terdengar suara motor tua yang akrab di telinganya motor milik Raka. Entah sejak kapan suara itu selalu membuat jantungnya berdetak sedikit lebih cepat.

Sudah tiga hari terakhir Nadia punya “alasan” untuk lewat depan Bengkel Raka. Awalnya hanya ingin mengantar makanan ringan untuk Ardi dan Dimas. Lalu pura-pura bertanya soal sepeda motor ayahnya yang mogok. Semuanya terasa wajar di permukaan hanya seorang tetangga yang perhatian. Tapi di hatinya sendiri, Nadia mulai gelisah.

, Kenapa aku selalu ingin melihat dia? Kenapa aku merasa lebih dihargai di desa yang sunyi ini daripada di kota bersama Bayu? pertanyaan itu terus berputar di kepalanya.

Bayu memang mengirim uang setiap bulan, tapi kehadirannya semakin jarang. Jika pun pulang, lelaki itu lebih sering sibuk dengan telepon genggamnya ketimbang mengobrol. Nadia sudah terbiasa sendirian di kota, sampai-sampai ia merasa lebih hidup di desa bersama orang-orang yang bahkan tidak mencoba bersikap manis padanya.

Sore itu Nadia membawa dua kotak makan berisi kue lumpur dan pisang goreng hangat. “Untuk Ardi dan Dimas,” katanya pada dirinya sendiri, seolah mencari pembenaran. Jalan desa masih basah setelah hujan siang. Aroma tanah bercampur wangi daun pisang yang tumbang membuat langkahnya terasa ringan.

Di depan bengkel, suara ketukan palu terdengar nyaring. Raka jongkok di dekat ban motor, tangannya berlumur oli. Ardi dan Dimas duduk di kursi kayu reyot, mengayun-ayunkan kaki kecil mereka. Melihat Nadia datang, wajah Ardi langsung berseri.

“kak Nadia!” seru Ardi sambil berlari kecil. Dimas ikut menyusul, wajahnya belepotan sisa es lilin.

“Wah, ini apa?” tanya Nadia pura-pura rahasia, mengangkat kantong plastik berisi kotak makan.

“Pisang goreng?” tebak Dimas, matanya berbinar.

“Tebakan bagus. Nih, buat kalian berdua,” kata Nadia sambil membagikan kotak makan.

Namun, langkah kakinya terhenti ketika Raka berdiri. Tatapan pria itu tegas, bahkan agak dingin. “ibu Nadia, nggak usah repot-repot bawain makanan. Mereka nggak kekurangan.”

Nadia tersenyum kecut. “Ah, saya cuma lewat, kebetulan bawa lebih dari rumah.”

Raka menggeleng, wajahnya keras seperti baja. “Saya nggak mau anak-anak terbiasa dikasihani.”

Kata-kata itu menancap dalam hati Nadia. Bukan karena ia tersinggung, tapi karena nada Raka begitu tulus. Ia bukan menolak kebaikan ia hanya ingin menjaga harga diri keluarganya. Dalam diam, Nadia justru semakin kagum. Dia benar-benar berbeda dari Bayu... pikirnya lirih.

“Ya sudah, kalau begitu saya titip saja di sini. Kalau tidak dimakan, ya sudah,” ucap Nadia, berusaha tetap tersenyum. Ia meletakkan kotak makan di kursi dekat pintu bengkel dan melangkah pergi.

Ardi dan Dimas menatap ayah mereka, berharap ada izin untuk membuka kotak itu. Raka hanya mendengus, melanjutkan pekerjaannya. Tapi setelah Nadia menghilang di tikungan, ia diam-diam membuka kotak itu, mencicipi sepotong pisang goreng. Wajahnya yang dingin sedikit melunak.

“Lumayan juga…” gumamnya pelan, tak ingin anak-anaknya mendengar.

Lihat selengkapnya