Hati yang Tak Seharusnya Singgah

Risti Windri Pabendan
Chapter #5

Chapter 5 Diam-Diam Berharap

Pagi itu desa masih diselimuti embun tipis, suara ayam berkokok bersahut-sahutan. Nadia duduk di beranda rumah orang tuanya, menggenggam ponsel dengan jari gemetar. Ia sudah menulis pesan berkali-kali lalu menghapusnya lagi.

Apa kabar, Raka?

Lagi sibuk nggak?

Semoga harinya lancar, ya.

Tiga kali ia mengetik, tiga kali pula ia tekan tombol hapus.

“Kenapa jadi kayak anak SMA?” gumamnya sambil tersenyum kecut. Tapi jari-jarinya kembali menari di layar:

Selamat pagi, Lagi banyak servis di bengkel?

Pesan terkirim. Seketika jantung Nadia berdetak lebih cepat. Ia tahu ini bukan sekadar basa-basi. Ada dorongan halus untuk tahu kabar pria itu setiap saat.

Di bengkel kecil yang cat dindingnya mulai pudar, Raka baru saja selesai mengganti oli motor tetangga ketika ponselnya bergetar. Ia mengusap tangannya yang berminyak sebelum mengambil ponsel di meja.

Membaca pesan itu, Raka terdiam. Bibirnya tanpa sadar membentuk senyum tipis senyum yang langsung ia hapus ketika Dimas berlari mendekat.

“Pak, lapar,” rengek anak bungsunya.

“Bentar ya, Masak mie dulu,” jawab Raka, meletakkan ponsel begitu saja tanpa membalas pesan. Tapi pikirannya terus terusik.

Sekitar setengah jam kemudian, setelah anak-anak kenyang dan bengkel agak sepi, Raka akhirnya mengetik balasan:

Pagi, Nggak banyak, cuma servis biasa.

Nadia yang sejak tadi tak lepas dari layar ponsel hampir menjatuhkannya ketika balasan itu masuk. Wajahnya spontan tersenyum lebar. Ia membalas cepat:

Syukurlah. Jangan lupa sarapan ya, Biar nggak sakit.

Pesan sederhana itu membuat dada Raka hangat. Kenapa perhatian sekecil ini terasa beda? batinnya. Ia meletakkan ponsel, mencoba sibuk bekerja. Tapi tiap beberapa menit, matanya melirik layar, berharap ada pesan lagi.

Hari-hari berikutnya, pesan singkat itu menjadi kebiasaan baru. Awalnya hanya salam pagi atau ucapan hati-hati saat hujan turun. Lalu berkembang menjadi obrolan ringan tentang cuaca, harga bensin, bahkan tentang Ardi yang menang lomba menggambar di sekolah.

Namun di balik percakapan yang tampak biasa, keduanya tahu ada sesuatu yang lebih.

Suatu sore, ketika Nadia sedang duduk di teras sambil membaca buku, ponselnya berbunyi.

ibu Nadia, makasih kemarin sudah bawain jajanan buat anak-anak. Mereka senang banget.

Nadia tertegun. Ini pertama kalinya Raka mengirim pesan lebih dulu. Senyum tipis muncul di bibirnya, tetapi juga ada rasa bersalah yang menyelip.

Lihat selengkapnya