Seandainya aku bisa melakukan sesuatu, mungkin kejadian semalam tak akan pernah menjadi putaran memori menyedihkan di dalam kepala. Aku terlalu tak kuasa melakukan apa-apa, selain menangis sendirian. Pertengkaran hebat Ayah dan Ibu semalam, membuat seluruh ketakutan menghantam sudut-sudut kekuatan. Rasanya seperti mimpi buruk yang tak pernah diinginkan. Ayah menalak Ibu di sela pertengkaran mereka, padahal yang kutahu selama ini, rumah tangga mereka baik-baik saja.
Penjelasan dosen berusia 40 tahunan itu sama sekali tidak menarik minat belajarku kali ini. Pikiranku malah sibuk melompat ke segala kejadian yang begitu mengentak rasa. Aku tidak mengerti, mengapa Ayah berubah menjadi seperti itu. Sosoknya yang penyayang tiba-tiba menakutkan, apalagi masih jelas kulihat tangannya menampar Ibu dengan keras. Ayah banyak berubah dalam sekejap.
Ah, hatiku sakit setiap kali mengingat-ingat betapa bahagianya memiliki keluarga harmonis. Kami saling menyayangi satu sama lain tanpa ada pertengkaran sama sekali. Namun, keharmonisan itu sudah tak berlaku sejak semalam. Cih! Masih jelas terbayang bagaimana Ibu menangis sambil memohon-mohon agar Ayah menarik ucapannya, tetapi itu sama sekali tidak mengubah apa pun. Ayah bersikukuh ingin berpisah dan memilih angkat kaki dari rumah.
“Saya rasa, kalian hanya perlu waktu dua minggu untuk mengerjakan tugas wawancara ini. Jangan lupa kirimkan dalam bentuk softcopy dan hardcopy. Saya tunggu, ya.” Dosen yang sejak tadi betah berada di kelas, mengejutkanku dengan suaranya. Teman-teman yang lain terlihat mengangguk-angguk, sedangkan aku tidak mengerti apa pun mengenai tugas yang baru saja dibicarakan.
***
Sedotan di dalam gelas kumainkan sembari memikirkan tugas wawancara yang tidak dipahami sepenuhnya. Aku melihat sekeliling kantin dengan beberapa kesibukan yang terjadi. Para mahasiswa sibuk mengantre memesan makan siang atau hanya sekadar membeli camilan ringan. Kantin memang selalu dipenuhi para mahasiswa setiap kali jam-jam tertentu. Tak terhitung ada berapa jenis makanan yang dijual di sini, tetapi yang jelas sangat beragam.
“Boleh duduk di sini?” tanya seseorang, menatapku ramah. Laki-laki dengan membawa mangkuk dan satu botol minuman dingin. Terlihat dari titik-titik air yang muncul pada botol itu.
“Oh, boleh. Silakan.” Aku membenahi cara duduk agar tidak terlihat menyedihkan di hadapan laki-laki yang wajahnya cukup asing. Tidak terlalu familier di kampus.
“Semester berapa?” Setelah duduk, dia bertanya dengan tangan yang sibuk mengaduk mi ayam.
“Semester lima,” jawabku singkat, karena tidak terlalu suka berbicara dengan orang asing. Ketika di kampus pun aku selalu menyendiri dan tidak memiliki teman dekat.
“Ternyata sama. Tapi kok aku jarang lihat kamu, ya?” Dari sudut mata, aku bisa melihat keningnya mengerut keheranan.
“Eh? Kurang tahu.” Senyum kecutku tersungging, lalu buru-buru pergi dari sana tanpa ingin meneruskan obrolan lain lagi.
“Lho, mau ke mana? Aku bukan orang jahat, kok. Emang tampangku kelihatan tampang penjahat sampai-sampai kamu takut gitu?” Mi ayam yang hendak masuk ke mulutnya, mendadak diurungkan.
Bukan jahat, tapi asing, aku membatin dan terus berjalan tak menghiraukan ucapannya.
Getaran ponsel menghentikan langkah yang seperti didorong cepat oleh kehadiran laki-laki “asing” di kantin tadi. Aku terpaku di depan salah satu ruang perkuliahan, berniat mengecek ponsel. Nama Kak Bara terpampang jelas di sana dengan ikon WhatsApp.
Pulang kuliah, mampir ke supermarket dulu, ya. Belikan susu cair putih sama keju. Nanti uangnya Kakak ganti. Hati-hati adikku sayang.
Tapi bohong. Haha.
Chat itu berhasil menyunggingkan senyumku. Kakak selalu bisa membuat pipiku merona dengan pujian-pujiannya, meski tak jarang aku kesal karena Kakak sering berisik menanyakan sampo dan pasta gigi. Dia juga hobi masuk ke kamarku hanya dengan mengenakan singlet dan celana pendek selutut, seperti kelakuan bocah.
Tanpa menunggu lama, aku kembali memasukkan ponsel pada tas kain yang disampirkan di bahu kiri. Pagi tadi aku sengaja membawa motor sendiri karena Kakak tak bisa mengantar ke kampus. Langkahku sedikit dipercepat menuju parkiran, menerobos para mahasiswa yang berjalan di sekitar koridor. Seharusnya, aku masih ada jam kuliah pukul dua nanti, tetapi rasa malas malah menyeretku ke parkiran.
Kunci motor dirogoh dari tas yang sama, lantas memakai helm sekaligus menstarter motor meninggalkan satpam penjaga kampus dengan menyengir. Kakak bilang, satpam itu sudah ada sejak dia masih kuliah di sini, sekitar tiga tahun yang lalu.
“Hei, mau ke mana? Hei, tunggu!”
Samar-samar terdengar teriakan seseorang saat aku berhasil keluar gerbang kampus. Dari kaca spion, orang itu melambaikan tangan seraya terus berteriak. Orang yang sama dengan yang kutemui di kantin tadi.
“Dasar orang aneh! SKSD banget!” gerutuku, terus memacu motor meninggalkan kampus.
***
Semua pesanan Kakak sudah didapatkan, tinggal membayarnya di kasir. Untungnya antrean di kasir tidak terlalu banyak, jadi hanya perlu sepuluh menit aku sudah bisa keluar dari supermarket. Tujuan selanjutnya adalah kedai Kakak yang tentu saja jalan menuju ke sana tidak asing lagi bagiku. Jalan itu juga yang menjadi saksi masa-masa putih-abu yang terasa menyenangkan.
Hanya sekitar dua puluh menit, akhirnya sampai di kedai milik Kakak. Kedainya sedang ramai dan didominasi para gadis SMA. Satu dua orang terlihat menikmati jajanan mereka dengan ditemani buku bacaan. Kakak benar, novel-novel itu memang menarik bagi mereka.
“Hai, Kak. Ini pesanannya.” Langkahku terhenti tepat di depan seorang laki-laki yang mengenakan celemek. Dia sibuk ke sana kemari untuk melayani para pembeli.
“Aku simpan di sini ya, Kak.” Kantong plastik belanjaan tadi kusimpan di bawah meja dan bergegas duduk di salah satu kursi yang masih kosong.
Pandangan mengedar ke sekitar, menilik satu per satu yang hadir di sana. Rasa-rasanya bagaikan kembali ke masa di mana aku harus memaksa kakak untuk mengantarkan ke sekolah karena sudah terlambat. Tidak terasa sudut-sudut bibirku membentuk senyuman.